Tempe adalah makanan yang banyak disukai dan memiliki permintaan yang besar di Indonesia. Hal ini membuat banyak timbulnya pengrajin yang mengambil peluang dari  banyaknya permintaan tersebut.Salah satu diantaranya adalah sebuah Kampung di Citeureup yang dikenal dengan nama Blok Tempe Citeureup.Blok Tempe Citeureup, Kabupaten Bogor ini berlokasi di area belakang ruko seberang Puskesmas yang tak jauh dari Pasar Citeureup. Blok Tempe ini, kini menjadi ladang ekonomi  lebih dari 400 kepala keluarga disana.
Apabila Anda ke Blok Tempe ini, Anda akan menyusuri jalan setapak yang sebagian aspal dan sebagian lainnya masih tanah yang akan becek saat hujan. Selama menyusuri kampung ini, Anda akan melihat pemandangan banyak tumpukan kayu serta drum yang biasa digunakan untuk pembuatan tempe.
Seperti yang telah disebutkan diatas, banyaknya tumpukan kayu dan drum karena proses pembuatan tempe disini yang masih menggunakan cara tradisional dalam pengolahannya. Para pengrajin menggunakan drum plastik sebagai tempat merendam, menggiling sekaligus mencuci kedelai, hingga pemberian ragi, drum besi untuk merebus kedelai dan kayu digunakan sebagai tempat untuk meletakkan kedelai yang telah dibungkus yang sudah diberi ragi hingga menjadi tempe. Kegiatan yang dilakukan disini berlangsung tanpa adanya batasan operasional atau selama 24 jam.
Kegiatan yang ada di blok tempe ini terjadi selama 24 jam karena siang digunakan untuk berjualan dan malam untuk produksi. Hal tersebut nyaris dilakukan oleh semua pengrajin, termasuk Agus. Agus adalah salah satu pemilik usaha tempe disitu, ia membagi sistem kerjanya menjadi dua shif. Shif pagi yang digunakan untuk mengantarkan, menunggu pelanggan langganan ataupun berjualan tempe di pasar. Sedangkan Shif siang atau sehabis ashar digunakan untuk proses produksi tempe.
Agus sendiri bukanlah orang asli Bogor, melainkan pendatang yang berasal dari Pekalongan. Profesi ini ia mulai ketika ibunya memberikan modal dan menyuruh ia dan tiga saudaranya untuk menjadi pengrajin  tempe di daerah  Bogor yang saat itu masih sedikit pengrajin yang ada. Usaha itu pun ia tekuni dan akhirnya bertahan hingga sekarang.
"Dulu awal Saya dan saudara disini, ini dulu rawa, empang bekas sawah, jadi warga asli sini tidak suka dan banyak menjual lahannya dengan harga murah. Akan tetapi, lambat laun usaha ini terus berkembang walaupun juga dari pendatang bukan warga asli. Sekarang sudah ada sekitar lebih dari 400 pengrajin tempe disini," kata Agus. Pertambahan yang cepat disebabkan, banyak yang dulunya karyawan pengusaha tempe kini membuka produksi sendiri. Jumlah pengrajin yang semakin cepat bertambah juga karena kebanyakan karyawan adalah saudara yang berasal dari daerah Pekalongan.
Tak hanya Agus, tempe juga menjadi mata pencaharian dari Putra. Menurutnya usaha ini sangat bagus dan cukup menjanjikan. " Tempe itu enak, pasti laku terus tidak mungkin merugi."Pembeli banyak, apalagi seperti pecel lele gitu yang selalu menggunakan tempe di usahanya." timpal Agus.
Dari usaha ini, Agus berhasil menghidupi keluarganya. Ia yakin usahanya akan terus maju. Sebab, menurut pengalamannya, tempe banyak peminatnya bahkan permintaannya akan selalu ada dan meningkat ketika menjelang hari raya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI