Mohon tunggu...
shintaayu
shintaayu Mohon Tunggu... Mahasiswa S2 Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia

Saya adalah seorang mahasiswa magister prodi linguistik di Universitas Pendidikan Indonesia. Selain menjadi mahasiswa, saya adalah freelancer dalam bidang affiliate online shop. Menulis menjadi bagian dari hidup saya, dengan menuangkan pikiran dalam bentuk tulisan membuat hati saya senang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Galau, Terjebak Hoaks, dan Bosan Politik: Gimana Gen Z Bertahan Hidup?

25 September 2025   18:33 Diperbarui: 25 September 2025   18:33 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hei para Gen Z, ingatlah bahwa politik bukan hanya tentang pemilu dan partai. Politik itu tentang hal-hal yang ada di sekitar kita. Tegaskan bahwa aktivisme di media sosial, membeli produk lokal, atau bahkan diskusi seru dengan teman adalah bentuk partisipasi politik kontemporer. Mulai alihkan perhatian dari drama politisi ke isu spesifik yang berdampak langsung ke lingkungan seperti HAM, kesetaraan gender, dll.

  1. Bikin konten sebagai media untuk menyalurkan suara

Gen Z punya cara unik dalam menyalurkan aspirasinya. Cukup dengan bikin meme politik, video parodi, atau karya seni digital. Humor jadi salah satu senjata Gen Z dalam melawan kebosanan dan ketidakpastian. Syukur-syukur viral katanya. Kreativitas ini bukan sekadar hiburan, tapi juga cara survive dari rasa powerless menghadapi kenyataan.

            Gen Z memang hidup di masa yang unik, sebuah era dimana banjir informasi bukanlah berkah semata, melainkan juga medan pertempuran naratif yang penuh jebakan. Tantangan yang dihadapi bukan lagi sekadar kurangnya informasi, tetapi bagaimana menyaringnya di tengah pusaran hoaks yang dengan lihai memanipulasi pathos atau emosi. Narasi-narasi palsu dirancang untuk menimbulkan kemarahan, ketakutan, atau rasa iba yang mendalam, membuat kita terkadang membagikannya tanpa sempat mengaktifkan nalar kritis. Di sisi lain, dunia politik kontemporer seringkali gagal membangun identification---ikatan emosional dan kepercayaan---dengan generasi muda. Alih-alih menawarkan visi yang inspiratif dan solusi yang konkret, politik sering disajikan sebagai drama kekuasaan yang jauh dari kehidupan nyata, yang justru memicu apati dan kelelahan emosional. Akibatnya, kesehatan mental pun menjadi taruhannya; rasa cemas, galau, dan terasingkan menjadi semacam epidemi bayangan yang menggerogoti ketahanan psikologis generasi ini.

Namun, di tengah semua tantangan ini, senjata terkuat Gen Z justru terletak pada pengembangan kesadaran retoris. Ini bukanlah ilmu yang rumit, melainkan kemampuan untuk melihat "di balik layar" sebuah pesan. Dengan kesadaran ini, Gen Z dapat melatih diri untuk bertanya: Siapa yang berbicara? Apa tujuannya? Teknik bahasa apa yang digunakan untuk membujuk saya? Apakah pesan ini didukung oleh data (logos) atau hanya mengandalkan emosi belaka (pathos)? Apakah pembicaranya kredibel (ethos)? Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini adalah tameng yang membuat kita lebih kritis dan selektif. Kita menjadi mampu membedakan mana informasi yang layak dipercaya dan mana yang hanya permainan kata-kata kosong, mana argumen yang berdasar dan mana yang sekadar sofisme. Pada hakikatnya, retorika bukan hanya tentang seni berbicara yang persuasif, tetapi lebih dalam lagi, ia adalah tentang bagaimana kita sebagai audiens memilih untuk merespons. Setiap kali kita menjumpai sebuah konten, kita berada pada persimpangan: apakah kita akan bereaksi dengan emosi negatif seperti marah dan menyebarkan kebencian, atau memilih respons positif dengan melakukan verifikasi, berdiskusi secara sehat, atau bahkan mengabaikannya sama sekali karena mengenalinya sebagai umpan (bait).

Oleh karena itu, perasaan galau dan lelah adalah hal yang manusiawi dan boleh saja dirasakan, asalkan tidak membuat kita lumpuh. Yang terpenting adalah tetap menjaga kesadaran dan kepedulian di tengah segala kegalauan tersebut. Dengan membekali diri dengan kesadaran retoris ini, Gen Z tidak akan lagi menjadi korban pasif dari arus informasi dan narasi politik yang menyesatkan. Sebaliknya, mereka dapat bertransformasi menjadi agen aktif yang tidak hanya sekadar bertahan hidup, tetapi juga mampu mengubah arah percakapan publik ke arah yang lebih substantif, empatik, dan berbasis fakta.

Perubahan besar selalu dimulai dari langkah-langkah kecil yang konsisten. Mulailah dari hal yang paling sederhana dan personal yang bisa kamu kendalikan sepenuhnya: kurasi timeline media sosialmu. Luangkan waktu beberapa menit hari ini, buka aplikasi medsomu, dan lakukan audit kecil. Gulir perlahan, dan pilih satu akun yang secara konsisten membuatmu merasa tidak percaya diri, cemas, atau sekadar "bete" setiap kali kontennya muncul. Akun ini mungkin menyebarkan perbandingan sosial yang toxic, hoaks, atau sekadar energi negatif. Tindakan unfollow atau mute bukanlah bentuk penghindaran, melainkan sebuah pernyataan tegas bahwa kamu berhak atas kedamaian digitalmu. Itu adalah bentuk self-care yang sangat praktis. Selanjutnya, cari dan follow satu akun baru yang benar-benar memberimu nilai tambah---akun yang edukatif, yang sejalan dengan hobimu, atau yang menyajikan konten inspiratif tanpa tendensi manipulatif. Tindakan sederhana ini ibarat membersihkan kamar sendiri; kamu menciptakan ruang yang sehat dan mendukung untuk pertumbuhan pribadimu.

Langkah ini mungkin terlihat sepele, tetapi ia sangat powerful. Karena setiap keputusan kecil untuk secara aktif mengendalikan aliran informasi yang masuk---bukan sekadar menjadi konsumen pasif---adalah sebuah kemenangan besar. Ini adalah kemenangan untuk kesehatan mentalmu, yang kini terlindungi dari racun digital. Ini juga adalah kemenangan untuk masa depanmu, karena kamu mulai melatih otot kritisisme dan membiasakan diri dikelilingi oleh konten yang membangun, bukan merusak. Proses ini memberdayakan kamu untuk mengambil alih kendali narasi hidupmu sendiri. You've got this. Percayalah, kemampuanmu untuk memulai dari hal kecil inilah yang pada akhirnya akan membentuk ketahananmu dalam menghadapi dunia yang kompleks.

.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun