Mohon tunggu...
shintaayu
shintaayu Mohon Tunggu... Mahasiswa S2 Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia

Saya adalah seorang mahasiswa magister prodi linguistik di Universitas Pendidikan Indonesia. Selain menjadi mahasiswa, saya adalah freelancer dalam bidang affiliate online shop. Menulis menjadi bagian dari hidup saya, dengan menuangkan pikiran dalam bentuk tulisan membuat hati saya senang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Galau, Terjebak Hoaks, dan Bosan Politik: Gimana Gen Z Bertahan Hidup?

25 September 2025   18:33 Diperbarui: 25 September 2025   18:33 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

           Bayangin aja kamu lagi enak-enaknya scroll tiktok buat cari hiburan, eh malah yang muncul video debat politik yang penuh huru-hara. Scroll down dikit, muncul konten tentang skincare murah yang entah sudah ber BPOM atau belum, banyaknya konten motivasi yang justru bikin tambah galau. Switch sosial media lain seperti Instagram dipenuhi berita clickbait tentang artis atau pejabat. Lama-lama bikin mood berantakan, hati jadi galau, muncul insecurity dan lain-lain. Namun pernahkah kalian bertanya-tanya, "Kenapa timeline medsos lebih cepet bikin stres ketimbang bikin ketawa?".

            Inilah kenyataan yang sedang dihadapi para Gen Z yang lahir di tengah-tengah kemajuan teknologi, sangat mudah mendapatkan informasi, tapi juga rentan tenggelam di dalamnya. Generasi yang lahir di antara tahun 1997 hingga 2012 ini juga memiliki tantangan yang cukup besar. Nggak hanya soal sekolah, kerja, atau percintaan. Tapi juga soal bagaimana bertahan dari berita hoaks, menghadapi rasa bosan pada politik, dan menjaga kesehatan mental di tengah derasnya arus informasi.

            Meskipun secara teori mereka adalah generasi yang paling melek teknologi, bukan berarti otomatis paling bijak dalam menyaring sebuah informasi. Survei Kementerian Kesehatan mencatat meningkatnya angka stres, anxiety dan depresi pada Gen Z bukan karena tekanan akademis atau pekerjaan saja, salah satunya juga dari media sosial. Melihat teman posting pencapaian, liburan, atau sekadar mengikuti tren yang membuat dirinya FOMO alias ingin ikut-ikutan agar gak dibilang ketinggalan zaman. Saking banyaknya mereka menerima informasi-informasi inilah yang membuat mereka overwhelmed. Kebayang nggak sih kalau fenomena ini membuat otak jadi penuh dan akhirnya ngerasa bingung sendiri.

            Menariknya, generasi yang paling akrab dengan internet malah sering terjebak hoaks. Coba tebak, kenapa bisa begitu? Yaaa salah satunya karena mereka mendapatkan informasi yang begitu banyak dan cepat. Dalam sehari, para gen Z bisa akses ratusan konten dari Tiktok, Instagram, Youtube Shorts, dan aplikasi lain yang memuat tentang video-video pendek. Karena kapasitas waktunya terbatas, terkadang banyak konten yang hanya diambil sebagian agar lebih cepat viral karena dibungkus dengan gaya dramatis dan penuh emosional. Hal ini sesuai dengan teori retorika klasik Aristoteles. Bagaimana tidak? Pasti konten kreator menggunakan judul yang sensasional, kata-kata bombastis yang bikin panik dan marah (Pathos/Emosi). Lalu didukung oleh (Ethos/Narasumber semu) yang kebanyakan hanya akun bodong dengan banyak pengikut saja.  Apalagi isi kontennya hanya data setengah matang atau kutipan yang dipotong. Dari sinilah hoaks akhirnya berhasil masuk karena sesuai dengan rasa penasaran dan keresahan yang ada. Terjebaklah di labirin hoaks dan misinformasi. Fenomena yang membuat seseorang kesulitan dalam membedakan fakta dan opini dan mudah terseret narasi yang provokatif.

            Belum lagi mengenai persepsi bahwa politik itu kotor, penuh dengan bualan dan janji palsu, dan para pejabat elite yang tidak mewakili suara anak muda. Suara anak muda dibungkam dan mereka merasa tidak didengar hingga dibungkam. Kalau ngomongin politik, banyak gen Z langsung otomatis: "Aduh, males sudah, ribet bangett, isinya huru hara mulu". Tak heran jika banyak dari mereka memilih untuk golput karena merasa "Ngapain cape-cape milih kalo hasilnya begitu-begitu saja".

            Tapi jangan buru-buru menilai bahwa para Gen Z ini apatis, bisa jadi karena mereka menganggap bahwa bahasa para elite terlalu kaku, penuh jargon, dan jauh dari realitas anak muda. Hasilnya? Ya para gen Z memilih cuek dan bodoamat. Padahal, ketika politisi atau aktivis berhasil memakai bahasa yang relate, cukup hanya lewat humor, meme, dan konten-konten ringan di media sosial akan membuat gen Z lebih terbuka. Maka bisa disimpulkan bahwa kejenuhan ini bukan karena Gen Z apatis semata, tapi karena retorika politik yang tidak mampu menyentuh keseharian mereka. Hal ini sejalan dengan teori retorika modern Kenneth Burke, ia menjelaskan bahwa kunci persuasi ada di identification yakni mengidentifikasi diri. Lihat saja Bapak Menteri Keuangan yang baru, Purbaya Yudhi Sadewa. Ia mendapat banyak sekali perhatian dari Gen Z karena cara dia beretorika mampu mengikuti anak muda zaman sekarang. Dampak dari Pak Purbaya menggugah minat para anak muda agar semangat dalam mengelola keuangan, membuat mereka jadi optimis bahwa setiap orang memiliki kesempatan untuk sukses.

            Di luar hoaks dan politik, Gen Z juga menghadapi masalah yang cukup serius yaitu mental health/kesehatan mental. Data dari Kementerian Kesehatan (2023) mencatat bahwa 1 dari 10 remaja Indonesia mengalami gejala depresi. Seni berretorika berlebihan di medsos, misalnya kalimat-kalimat politik atau teori konspirasi kesehatan yang menambah beban mental. Belum lagi dengan pesan-pesan yang didesain untuk memancing pathos (kekuatan, kemarahan dan kecemasan) yang menumpuk di kepala Gen Z yang efeknya jadi burnout, anxiety berlebihan, insecurity, dan overthinking.

            Nah, ketika semua hal dirasa gelap dan hanya ada jalan buntu, bukan berarti nggak ada jalan keluar. Nih tips-tips dalam menghadapi fenomena ini dan berpotensi besar untuk jadi sebuah perubahan. Beberapa strateginya ialah:

  1. Pentingnya literasi digital

Setiap mendapatkan informasi, cobalah untuk kritis dengan siapa yang menyampaikan atau siapa yang berbicara? Lalu apakah ada evidence atau buktinya? Coba pikir-pikir lagi tentang emosi apa sih yang sedang dimainkan dalam konten-konten tersebut? Jikalau susah untuk membedakan apakah informasi tersebut hoaks atau fakta, gunakan tools seperti AI atau sumber-sumber akuratnya. Jangan gampang percaya akun viral, hanya karena likes dan komennya banyak membuat kamu jadi ikut terprovokasi. Siapa tahu mereka yang berkomentar hanya buzzer bayaran semata. Oopss hehe.....

  1. Pilah-pilih informasi

Ingat teori Burke, identification. Kalau nggak merasa nyambung dengan politik yang formal, ciptakan identifikasi lewat komunitas sekitar. Ya meski hanya sebatas isu sampah yang tidak begitu penting. Mulailah berdiskusi dengan orang disekitarmu agar kamu mendapatkan insight lain yang tentunya berbeda dengan apa yang ada di pikiranmu.

  1. Munculkan Self-Awareness

Mulailah sadar bahwa banyak sekali retorika dalam konten-konten online memang dirancang bikin kita galau. Mulai batasi konten yang toxic. Unfollow akun-akun yang menyebarkan negativity, hoaks, dan ujaran kebencian. Follow akun yang edukatif, inspiratif, dan sesuai minat. Tak cukup dengan itu, kalian juga harus pandai dalam hal self-care digital. Mungkin dengan tidak membuka instagram seminggu, atau berhenti sementara scroll tiktok. Tujuannya itu sederhana: biar otak punya space dari banyaknya informasi-informasi yang masuk ke pikiran kita. Tren mindfullness dan meditasi makin populer, seolah menjadi penyeimbang dunia digital yang serba cepat.

  1. Redefinisi Politik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun