Suasana berbeda tampak menyelimuti lantai 1 fakultas ilmu sosial dan humaniora (fishum) universitas islam negeri (uin) pada suatu siang yang hangat. Ruang interaktif center (ic), yang biasanya menjadi tempat mahasiswa bersantai atau berdiskusi ringan, berubah menjadi ruang penuh semangat dan kreativitas. Melalui inisiatif dosen inspiratif, bapak alip yog kunandar, sebuah kegiatan bertema "pokoknya bikin film: saatnya karya yang bicara" digelar dengan antusias tinggi dari mahasiswa, khususnya angkatan 2024. Acara ini tidak hanya menjadi ajang berbagi ilmu, tetapi juga menjadi ruang reflektif bagi mahasiswa untuk melihat potensi film sebagai media ekspresi sosial dan personal. Dalam sambutannya, bapak alip menekankan pentingnya mendorong mahasiswa untuk tidak sekadar menjadi penonton, tetapi menjadi pelaku dalam produksi pengetahuan melalui media kreatif.
Hadir sebagai narasumber utama, mulia alif, seorang kreator muda yang telah aktif di dunia perfilman independen. Dalam sesi pemaparannya, ia membagikan proses kreatif dalam membuat film dengan keterbatasan alat dan sumber daya. Namun justru dari keterbatasan itu, lahir banyak karya kuat dan penuh makna. "kalian tidak harus menunggu kamera mahal atau studio besar. Cerita kalian jauh lebih penting dari teknologinya," ucapnya, menumbuhkan semangat para peserta yang hadir. Sorotan utama dalam acara ini adalah sesi berbagi pengalaman dari narasumber kita mulia alif, sosok yang dikenal sebagai sutradara video musik berjudul bunga gala matahari. Dengan gaya penyampaian yang hangat dan jujur, mulia alif mengungkap kisah di balik layar yang penuh tantangan namun penuh pelajaran. Ia menggarap proyek tersebut dengan perlengkapan seadanya dengan kamera mirrorless, pencahayaan dari lampu darurat, dan lokasi syuting yang harus disiasati dengan keterampilan serta kreativitas.
Mahasiswa yang awalnya hanya berniat "numpang hadir" mulai mengeluarkan catatan. Beberapa dari mereka, termasuk anak komunikasi dan sosiologi angkatan 2024, mulai bertanya tentang bagaimana memulai proyek film dari kampus. Mulia alif menjawab dengan sederhana, "mulai aja dari apa yang kalian tahu. Kampus ini penuh cerita, kadang kita terlalu fokus pada alat dan lupa bahwa yang paling penting adalah rasa". Ia juga menekankan bahwa film, termasuk video musik, adalah ruang yang bisa merekam emosi, memaknai kehilangan, dan menyuarakan harapan. Cerita-cerita semacam inilah yang jarang diangkat di ruang akademik, tapi begitu hidup di dunia nyata.
Kemudian satu per satu nama pemenang diumumkan. Sorakan dan tepuk tangan menggema saat juara diumumkan, sebagai bentuk dukungan antar teman seangkatan. Saat tiba giliran juara 2, bapak mahfud menyebut dengan lantang, "juara dua diraih oleh kelompok dari kelas c, yang diwakili oleh obit, dengan karya berjudul lagu terlarang. Sebagai bagian dari kelompok tersebut, saya mahasiswa kelas c merasa sangat bangga. Kami tidak menyangka karya kami, yang digarap dengan segala keterbatasan namun penuh cinta, bisa mendapatkan apresiasi setinggi itu. Lagu terlarang bukan sekadar film pendek ia adalah refleksi dari keresahan kami terhadap narasi yang kerap dibungkam tentang keberanian, cinta, dan kebebasan berekspresi di lingkungan sosial yang penuh batas.
Setelah nama kelompok dari kelas kami disebut, obit melangkah maju ke depan, menerima piagam penghargaan dengan senyum yang sulit ditahan. Di antara tepuk tangan dan sorakan teman-teman angkatan, saya merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar juara, ini adalah validasi bahwa suara kami didengar, bahwa film yang kami buat benar-benar punya makna.
Acara hari itu ditutup dengan foto bersama, diiringi tawa dan rencana untuk membuat film selanjutnya. Bapak alip, bapak mahfud, mulia alif berdiri di tengah mahasiswa, menciptakan momen yang penuh semangat kolaboratif. Tidak ada jarak antara dosen dan mahasiswa yang ada hanya semangat bersama untuk terus berkarya. Menutup rangkaian acara, bapak alip menyampaikan apresiasi dan harapan. Ia menyebut bahwa kegiatan ini bukan akhir, melainkan awal dari gerakan mahasiswa yang ingin menjadikan film sebagai sarana perubahan. "selama ini kita banyak membaca dan berdiskusi, sekarang saatnya kita menciptakan dan menyuarakan," tegasnya.
Semangatnya sederhana tapi dalam memberi ruang untuk mahasiswa berkarya dan mengenal dunia film lebih dekat, bukan hanya dari teori, tapi dari kisah nyata para pembuatnya. "hari ini bukan soal belajar rumus atau skrip baku," kata pak alip saat membuka acara, "tapi soal bagaimana karya bisa jadi alat bicara yang paling jujur."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI