Mohon tunggu...
Shendy Adam
Shendy Adam Mohon Tunggu... Dosen - ASN Pemprov DKI Jakarta

seorang pelayan publik di ibu kota yang akan selalu Berpikir, Bersikap, Bersuara MERDEKA

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama FEATURED

"Pekerjaan Rumah" dari Ahok untuk Anies

21 April 2017   16:06 Diperbarui: 14 Oktober 2017   02:46 9774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertemuan Ahok dan Anies di Balai Kota (tribunnews.com)

Warga Jakarta sudah menentukan pilihan. Anies Baswedan dan Sandiaga Uno akan menjadi gubernur dan wakil gubernur Jakarta periode 2017 sampai 2022. Pekerjaan rumah yang tidak sedikit sudah menanti mereka sejak pelantikan yang dijadwalkan pada Oktober nanti.

Di samping masalah-masalah klasik seperti kemacetan dan banjir, ada beberapa hal yang juga perlu mendapat perhatian. Izinkan saya membantu Mas Anies dan Bang Sandi untuk menginventarisasi beberapa di antaranya, sesuai dengan expertise saya dalam bidang pemerintahan.

Reformasi Birokrasi

Suka ataupun tidak, birokrasi masih menjadi ‘mesin’ utama bagi gubernur dalam menjalankan dan menyukseskan programnya. Sebagus apapun ide gubernur, pada akhirnya kualitas implementasi kebijakan akan dipengaruhi oleh sebaik apa birokrasi menjalankannya. Menjadi penting bagi gubernur baru untuk melanjutkan agenda reformasi birokrasi yang sudah dimulai dengan baik oleh Basuki (dan Jokowi sebelumnya).

Salah satu kebijakan reformasi birokrasi yang paling ‘hot’ di periode 2012-2017 adalah seleksi terbuka alias lelang jabatan. Pro dan kontra yang menyertai kebijakan ini tidak membuat gubernur saat itu (Jokowi) surut. Ia mengawalinya dengan seleksi terbuka camat dan lurah. Pola ini dilanjutkan saat hendak mengisi jabatan eselon yang lebih tinggi (kepala dinas, kepala badan dan walikota/bupati).

Sekilas kebijakan ini sudah baik, namun masih menyisakan kelemahan mendasar. Seleksi terbuka hanya mengubah mekanisme awal rekrutmen menjadi lebih transparan. Semua pegawai yang memenuhi syarat bisa mendaftar dan mengikuti tes untuk menduduki jabatan tertentu. Sayangnya, tahap lanjutan dari pengisian jabatan ini masih menggunakan pola lama yaitu melalui Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat).

Alih-alih menjamin penerapan sistem merit, Baperjakat terkadang tidak bisa melepaskan diri dari subyektivitas. Apalagi di level eselon 3 dan 4 maupun pejabat wilayah yang tidak mungkin dikontrol langsung oleh gubernur. Faktanya, ada loh pejabat yang mendapat jabatan bahkan tanpa mengikuti seleksi terbuka!

Anies dan Sandi harus bisa merancang mekanisme yang memastikan penempatan pejabat sesuai dengan prinsip the right man on the right place. Dengan begitu, mereka sekaligus akan terhindar dari rongrongan oknum birokrasi yang sejak masa kampanye kemarin sudah merapat ke dalam barisan.

Struktur birokrasi Pemprov DKI Jakarta saat ini juga perlu ditinjau kembali, kendati sebetulnya baru saja terjadi restrukturisasi oleh Plt. Gubernur per awal tahun ini. Penyusunan struktur dan organisasi perangkat daerah yang terakhir ini masih terselip kepentingan pribadi dan kelompok.

Selama birokrat masih takut kehilangan jabatan, sulit melakukan perampingan birokrasi yang efektif. Sebagai contoh, ada satu struktur baru di tingkat kota administrasi untuk mengakomodir pejabat yang jabatan sebelumnya dihapus. Padahal tugas dan fungsinya sangat absurd dan tumpang tindih dengan yang sudah ada.

Kebijakan penting terkait reformasi birokrasi yang agak sensitif adalah soal remunerasi alias tunjangan pegawai. Sudah jadi rahasia umum kalau pejabat dan pegawai di Provinsi DKI Jakarta menerima Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) yang nilainya cukup fantastis. Kebijakan ini boleh jadi akan jadi perhatian karena rekam jejak Mas Anies selama ini yang sangat concern dengan pemborosan anggaran.

Dilihat dari proporsinya terhadap keseluruhan APBD, belanja pegawai di Provinsi DKI Jakarta mencapai 33,85%. Angka Rp 18 triliun untuk kebutuhan belanja pegawai tentu tidak bisa dibilang sedikit.

Menurunkan nominal TKD pegawai dan pejabat pasti akan jadi kebijakan tidak populis bagi gubernur baru. Maka, jika itu tidak mungkin dilakukan maka perlu dipastikan bahwa keluarnya anggaran sebesar itu dibarengi dengan performa terbaik dari setiap pegawai.

Gubernur Basuki sudah menginisiasi penggunaan aplikasi penilaian kinerja melalui website. Setiap pegawai harus mengisi apa saja aktivitas hariannya ke dalam sistem e-tkd, sebagai dasar perhitungan pemberian TKD. Sistem ini sudah lebih maju ketimbang sebelumnya yang hanya berbasis absensi, namun belum cukup berhasil dalam memastikan bahwa kinerja pegawai tersebut pada tataran praktek sama baiknya dengan yang diisi ke dalam sistem.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Birokrasi Pemprov DKI Jakarta saat ini diisi oleh tak kurang dari 70 ribu Pegawai Negeri Sipil (PNS). Selain PNS, ada juga Penyedia Jasa Lainnya Perorangan (PJLP) yang dulu biasa dikenal dengan istilah Pegawai Harian Lepas (PHL) ataupun tenaga kontrak.

Dari segi jumlah, PJLP saat ini justru lebih besar dari PNS yakni mencapai 81.469 orang. Mereka tersebar ke berbagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Kelurahan, seperti Pasukan Biru (Dinas Sumber Daya Air), Pasukan Oranye/PPSU (Kelurahan), Pasukan Hijau (Dinas Kehutanan), dan masih banyak lagi.

Besarnya jumlah PJLP ini yang perlu menjadi perhatian Anies-Sandi. Apakah jumlahnya rasional dan sesuai kebutuhan riil. Jangan sampai terjadi pemborosan karena ternyata PJLP tersebut mengerjakan urusan administrasi yang seharusnya dikerjakan oleh PNS.

Anggaran dan Perencanaan Pembangunan

Mas Anies dan Bang Sandi baru akan menduduki kursi DKI 1 dan 2 pada Oktober. Dengan jeda waktu yang cukup lama, mereka punya kesempatan untuk mulai merancang detail program dan kebijakan yang akan dilakukan.

Tim Anies-Sandi sudah harus mulai menjalin komunikasi dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi DKI Jakarta untuk menyusun draf Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2018-2023. Waktu enam bulan seharusnya cukup untuk menuangkan gagasan yang sempat terlontar pada saat kampanye ke dalam dokumen perencanaan.

Selain rencana kerja, penyusunan anggaran juga mulai dipikirkan. Gubernur Basuki sendiri saat ini menyatakan membuka kesempatan bagi tim Anies-Sandi untuk duduk bareng dalam penyusunan anggaran. Dalam pernyataannya ke media, Ahok tak ingin ada pokok pikiran (pokir) DPRD yang bisa menghambat kesepakatan mengenai APBD.

Sejak penerapan e-budgeting, Ahok memang sangat ketat dalam mengawal penyusunan anggaran. Ia tak segan mencoret pokir yang tidak jelas juntrungannya. Model seperti ini yang membuat hubungan eksekutif dan legislatif menjadi tidak harmonis.

DPRD merasa kewenangannya dalam hal budgeting dikebiri gubernur. Di sisi lain, Ahok merasa dirinya wajib menjaga amanah uang rakyat dari niat buruk wakil rakyat yang mau menggarong melalui proyek-proyek titipan.

Tantangan bagi Anies-Sandi saat ini adalah untuk tidak kembali ke jaman jahiliah dengan membiarkan APBD menjadi bancakan oknum DPRD maupun birokrat nakal. Gubernur terpilih tak perlu segan mengikuti cara yang digunakan petahana dalam mengawal anggaran. Dengan menjamin transparansi proses penyusunannya, Anies-Sandi tak perlu gentar apabila ada oknum DPRD yang coba bermain dengan anggaran seperti kasus pengadaan UPS beberapa tahun lalu.

Perdebatan yang sempat ramai pada saat kampanye kemarin terkait anggaran adalah soal penggunaan budget dari kewajiban pengembang atas kompensasi Koefisien Lantai Bangunan (KLB), serta Corporate Social Responsibility (CSR).

Untuk yang disebut pertama, ada baiknya dilakukan kajian mendalam karena dampak ekologis yang seharusnya diperhitungkan. Sedangkan untuk CSR, saya tidak sependapat kalau harus dimasukkan dulu ke pos pendapatan di APBD. Mengapa?

Mas Anies pasti sudah merasakan bagaimana rigid dan kakunya mekanisme anggaran saat menjadi menteri. Alokasi dari CSR lah yang seharusnya bisa memfasilitasi pelaksanaan program dan/atau kegiatan yang mendesak tetapi belum terakomodir dalam APBD. Kalau CSR harus masuk dulu ke APBD, ruang gerak terhadap kebijakan-kebijakan yang inovatif menjadi semakin sulit. Bahwa penggunaan dana CSR berpotensi menimbulkan penyelewengan dan perlu ada kontrol bersama, mungkin Anies-Sandi bisa membuat Peraturan Daerah bersama DPRD. Perda tersebut akan menjadi pedoman dalam mekanisme perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban penggunaan dana CSR.

Struktur Pemerintahan Wilayah

Dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang relatif besar, serta kompleksitas persoalan yang tinggi, mustahil seorang gubernur bisa menjadi problem solver atas semua masalah perkotaan di Jakarta. Padahal, tuntutan dan ekspektasi masyarakat terhadap gubernur semakin tinggi pascapenerapan pilkada langsung. Oleh karena itu, gubernur mutlak membutuhkan bantuan dari struktur di bawahnya.

Kota dan kabupaten di Jakarta bukanlah daerah otonom melainkan hanya daerah administratif. Kota dan kabupaten adalah bagian dari perangkat daerah seperti halnya dinas dan embaga teknis daerah. Kelemahan cukup mendasar di UU Nomor 29 Tahun 2007 adalah dalam memaksimalkan peran kota dan kabupaten, kecamatan serta kelurahan sebagai ‘kepanjangan tangan’ gubernur di enam wilayah administrasi.

Kebijakan Gubernur Basuki menetapkan lurah sebagai estate manager sebetulnya merupakan salah satu terobosan baik. Dengan dilimpahkannya sebagian kewenangan serta keberadaan petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum PPSU (atau biasa dikenal Pasukan Oranye), membuat kelurahan bisa menindaklanjuti permasalahan warga dengan cepat.

Apabila kelurahan bisa menjalankan peran dengan optimal, lalu bagaimana dengan kecamatan dan kota/kabupaten administrasi? Apakah keberadaannya masih relevan?

Dengan pembagian wilayah yang terdiri dari tiga level di bawah provinsi (kota/kabupaten administrasi, kecamatan dan kelurahan) membuat rentang kendali kurang efektif. Apalagi jumlahnya pun sangat besar (44 kecamatan dan 267 kelurahan). Restrukturisasi selama ini sebatas hanya mengurangi struktur dinas, lembaga teknis, ataupun jabatan-jabatan struktural di kota/kabupaten, kecamatan dan kelurahan.

Belum pernah terpikir sesuatu yang out of the box, misalnya mengeliminasi salah satu jenjang pemerintahan dengan cara melebur kecamatan dan kelurahan lalu membentuk sebuah struktur baru. Melalui cara itu, akan kita dapati struktur pemerintahan yang lebih ramping dan jarak kontrol yang tidak terlalu panjang dan besar.

Apakah itu memungkinkan? Sebagai daerah khusus yang menerima desentralisasi asimetris seharusnya sih bisa saja. Syaratnya, Pemerintah (dan DPR) harus merevisi dulu UU 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia. 

Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat

Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW) selalu jadi komoditas politik di periode pemilihan kepala daerah di Jakarta. Pasangan Agus-Sylvi sebelum tereliminasi sempat menebar janji bagi-bagi duit Rp 1 M per RW.

Wakil Gubernur petahana bahkan langsung mengeluarkan kebijakan menaikkan uang penyelenggaraan tugas dan fungsi RT/RW per April 2017 ini. Sedangkan Anies-Sandi dalam beberapa kesempatan juga menyatakan ingin memperkuat peran RT/RW, di antaranya melalui pernyataan Mardani Ali Sera saat mengomentari perang wacana soal open government.

Anies-Sandi harus sedikit waspada dalam mengelola isu ini. Keberadaan RT/RW dan lembaga kemasyarakatan lainnya di Jakarta saat ini tidak berbanding lurus dengan skenario peran penguatan partisipasi masyarakat. Dalam beberapa hal, keberadaan tokoh masyarakat di lembaga-lembaga bentukan pemerintah tersebut justru menghambat penguatan dan perluasan partisipasi masyarakat.

Secara ekstrim, bisa dibilang keberadaan RT/RW dan LMK di level kelurahan, hanya menciptakan kelompok elite baru di tengah-tengah masyarakat. Ditambah lagi dengan kondisi kedekatan mereka dengan struktur birokrasi, bahkan diberikan akses terhadap anggaran tertentu.

Birokrat sendiri dibuat malas dan tidak kreatif, dengan terus-terusan mengandalkan orang-orang ini sebagai obyek kegiatannya yang bertajuk pemberdayaan masyarakat. Maka yang terjadi adalah membuat segelintir orang terpedaya, di saat bersamaan sebagian besar tidak mendapat apa-apa.

Soal uang penyelenggaraan tugas RT/RW sendiri sudah kadung salah kaprah dianggap sebagai gaji/penghasilan. Sulit bagi gubernur baru untuk bisa meluruskan logika yang keliru soal ini. Menghapus uang penyelenggaraan tugas sepertinya tidak akan menjadi opsi bagi Anies-Sandi. Berarti yang harus dilakukan adalah memastikan uang tersebut digunakan sebagaimana mestinya, yaitu untuk menunjang operasional lembaga RT/RW.

Anies-Sandi harus memikirkan bagaimana caranya agar warga yang selama ini apatis mau terlibat (engage) dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga open government tidak sekadar konsep yang cuma indah di atas kertas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun