Mohon tunggu...
Sheila Firda
Sheila Firda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Human Empowerment Enthusiast

Sheila Firda adalah mahasiswa manajemen marketing yang menggemari pengamatan terhadap perilaku konsumen dan psikologi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejauh Mana Makna Sukses Generasi Z Dibentuk Literasi Media Sosial?

14 Juli 2021   22:00 Diperbarui: 14 Juli 2021   22:03 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Generasi Z, yang lahir setelah era internet dimulai, memiliki preferensi berbeda dengan generasi- generasi sebelumnya mengenai pilihan pekerjaan. Kisah Rafi Fadillah, murid kelas VI SDN 36 Pekanbaru yang mengatakan ingin menjadi youtuber saat ditanya cita-citanya oleh Presiden Joko Widodo pada Hari Anak Nasional 2017 menjadi suatu perhatian terhadap perubahan preferensi ini. Generasi terdahulu ingin menjadi dokter atau insinyur, namun generasi Z atau Gen Z saat ini menunjukkan minat lebih pada industri kreatif dan teknologi. Menurut riset mandiri yang dilakukan Tirto.id pada 1021 responden Gen Z di Pulau Jawa dan Bali pada 2018, menyatakan 7,1% pelajar SD dan SMP bercita-cita menjadi pemain gim (gamer), sedangkan 2,9% lainnya ingin menjadi youtuber. Meskipun relatif kecil, riset ini menunjukkan kehadiran sosial media turut memengaruhi preferensi cita-cita Gen Z yang tergolong baru.

Perubahan pilihan cita-cita pada Gen Z yang diprediksi menduduki 68% populasi Indonesia pada 2035, patut diperhatikan karena generasi inilah yang tengah menjadi bagian dari pergerakan Indonesia menghadapi Bonus Demografi. Yakni, ketika rasio perbandingan usia produktif (15-64 tahun) lebih tinggi terhadap usia non-produktif (65 tahun keatas) yang menyebabkan rasio ketergantungan menurun.

Berita baiknya, menurunnya rasio ketergantungan dari 49,6   yang telah berlangsung sejak 2012 (BPS, 2010) dan akan mencapai titik terendahnya pada 2028-2031 pada 46,9 secara tidak langsung meningkatkan suplai angkatan kerja, tabungan, dan kualitas Sumber Daya Manusia. Dengan rentang waktu 2020-2030 sebagai masa Bonus Demografi (BKKBN, 2018), momen ini akan berangsur kembali ke titik normal dan hanya terjadi sekali dalam sejarah pembangunan bangsa.  Berita buruknya, Bonus Demografi tersebut akan berakhir pada 2036-2037 (KPPPA & BPS, 2018). Waktu yang dimiliki oleh generasi ini tidak banyak.

Menjawab tantangan ini, kebebasan beraspirasi Gen Z sebagai pemuda untuk menggerakkan perubahan memiliki keistimewaan karena didukung dengan ekspos teknologi informasi dan komunikasi yang dinikmati sejak Gen Z lahir. Internet pertama di Indonesia, Indonet, hadir pada 1994, sehingga mereka yang lahir pada pertengahan 1995 hingga medio 2000 mengalami penetrasi internet yang tak terhindarkan sepanjang hidupnya. Era dimana seseorang dilahirkan dan peristiwa yang dialami selama masa hidupnya menuju kedewasaan, atau "coming-of-age", akan mempengaruhi perilaku, sikap, dan nilai yang diyakininya. Nilai dan perilaku pada tahapan hidup berikutnya cenderung akan tetap selama masa hidupnya dan akan membuat perbedaan pada generasi sebelum dan sesudahnya (Rani & Samuel, 2016). Jika Gen Z tertua saat ini berusia 24 tahun yang telah memasuki "coming-of-age", bagaimana mereka akan menghadapi masa kepemimpinan di depan akan dipengaruhi dengan perilaku dan nilai yang dibawanya dari era ini.

Generasi Z adalah Sebenar-benarnya Generasi Teknologi

Istilah millennial yang telah sering digunakan membuat generalisasi untuk sebutan bagi generasi yang lahir setelah dimulainya era internet dan juga mereka yang hidup dalam era millennium peralihan sebelum internet hadir. Millenial adalah mereka yang lahir pada 1982-2000 (Howe & Strauss, 2000) yang juga disebut sebagai generasi Y (Lancaster & Stillman, 2002). Lantas dimana Gen Z? menurut sosiolog Manhheim (1927) dari esainya yang berjudul "The Problem of Generation" menyatakan bahwa manusia akan saling memengaruhi dan membentuk karakter yang sama karena mengalami masa sosio-sejarah yang sama. Para sosiolog---yang bias Amerika Serikat memberikan penggolongan generasi mulai dari masa sebelum Perang Dunia hingga generasi berinisial tiga alphabet terakhir X,Y,Z. Dengan tidak adanya perbedaan signifikan dari berbagai selisih rentang usia yang digunakan untuk mendefinisikan Gen Z, mereka sepakat bahwa Gen Z adalah sebutan bagi generasi yang menikmati keajaiban setelah teknologi internet lahir dan sebenar-benarnya generasi internet (Grail Research, 2011).

Mereka yang dikategorikan Gen Z memiliki karakter yang menggemari teknologi, fleksibel, lebih cerdas, dan toleran terhadap perbedaan budaya. Meskipun, mereka menyukai budaya instan dan serba cepat. Menurut Tulgan (2013), terdapat lima kunci yang membentuk generasi Z. Pertama, media sosial adalah masa depan. Kedua, koneksi dengan orang lain adalah hal yang penting. Ketiga, kesenjangan keterampilan. Dibutuhkan upaya lebih untuk mentransmisikan keterampilan seperti komunikasi interpersonal, budaya kerja, berpikir kritis, dan keterampilan teknis. Keempat, pola pikir global, realitas lokal. Kelima, keragaman yang tak terbatas. Pola pikir Gen Z yang terbuka menerima perbedaan dari berbagai sisi sehingga membuat mereka kesulitan mendefinisikan dirinya sendiri. Generasi ini lebih memercayai selebgram, pengguna Instagram yang terkenal, sebagai pemberi pengaruh atau influencer untuk belajar mendefinisikan dirinya. (Rastati, 2018). Karena keberagamannya, mereka tidak menempatkan identitas mereka pada agama, gender, atau ras. Mereka menggabungkan banyak hal seperti komponen identitas dan pandangan yang dianggap menarik untuk mendefinisikan identitasnya sendiri. Mereka lebih suka didefinisikan sebagai unik, ketimbang asli.


Bahasa Digital dan Konvergensi Simbolik Sosial Media di Kalangan Gen Z

Pengaruh teknologi yang terlihat jelas dalam pilihan masa depan Gen Z tak luput dari peran literasi media sosial yang menjadi santapan sehari-harinya. Menurut IDN Millenial Report 2019, Gen Z menghabiskan 4-6 jam sehari untuk beraktivitas daring dan 74,6%-nya untuk berjejaring sosial. Mengacu pada perilaku Gen Z yang mendefinisikan dirinya melalui aktualisasi diri dan menyerap pengaruh dari berbagai influencer, selebgram, atau youtuber dan pengguna sebaya yang mereka temui di media sosial, hal ini merupakan bukti dari keterkaitan bahasa literasi dalam media sosial dan pengaruhnya pada pikiran. Diperkuat oleh teori Whorf & Sapir (Abdul Chaer, 2003:51), bahwa kehidupan suatu masyarakat "didirikan" di atas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa itu. Bahasa yang digunakan ini sendiri menurut teori Mediamorfosis Fiddler (1997) merupakan suatu kode dalam transisi proses komunikasi.

Mengaitkannya dengan perkembangan media, Bahasa telah berubah dari bahasa lisan dan tulisan menjadi bahasa digital. Bahasa digital ini penting dalam interaksi sosial Gen Z yang dibangun melalui simbol, Bahasa, dan perspektif sentral kehidupannya. Bagian penting yang digarisbawahi disini adalah bagaimana komunikasi melalui bahasa digital telah berdampak di dunia nyata berupa konstruksi sosial yang berbeda dari generasi sebelumnya yang memicu pergeseran nilai dan makna baru di masyarakat saat ini.

Proses komunikasi yang terjadi pada Gen Z melibatkan konsep "berbagi" atau "sharing" yang membuat perubahan konstruksi sosial terjadi. Gen Z memiliki pola pikir 'berbagi' sebagai sarana menjaga eksistensi dirinya terhadap dunia sosial. Berbagi kisah aktivitas sehari-hari, tips, dan konten lain yang juga menjadi konsep 'berbagi' dalam dunia nyata seperti berbagi kendaraan dengan layanan taksi daring dan berbagi ruang sewa dalam aplikasi AirBnB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun