Mohon tunggu...
Sheibasari Sheibasari
Sheibasari Sheibasari Mohon Tunggu... karyawan swasta -

@ sheibasari\r\n\r\n\r\n\r\ndalam keriuhan hidup, ada sisi lain yang tak terbaca oleh hati yang tak menatap

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Obsesi Mudik

21 Juni 2016   12:35 Diperbarui: 21 Juni 2016   12:42 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sampai dengan saat ini kata "mudik" selalu berhasil membuat saya frustasi. Mudik adalah semacam adrenalin atau mungkin candu. Entahlah.

Sudah lama saya tak mudik, karena tak punya kampung buat di mudik-i. Dari Lahir sampai dengan bekerja, Bandung adalah tempat saya mudik. Maklum Nenek dan keluarga besar saya tinggal di Bandung. Setelah Nenek meninggal, saya, kakak, dan adik saya yang mudik ke Banyuwangi, tempat Ayah dan Ibu tinggal.

Jaman dulu, belum ada pemesanan online seperti sekarang, semuanya harus mengantri dan itu dilakukan setelah sahur dengan membawa alas koran sebagai alas duduk agar tak pegal berdiri berjam-jam di pintu loket stasiun kereta api. Semua dilakukan demi selembar tiket mudik. Biasanya  setelah sahur saya sudah standby di depan loket, karena jam 8 pagi saya harus masuk kantor. Sekitar jam 7 pagi, kakak saya datang menggantikan posisi mengantri karena saya harus langsung bekerja.

Perjuangan tidak selesai sampai disitu. Mendapatkan tiket ataupun tiket tak bernomer alias berdiri, sama menderitanya. Kereta sesak tak terkira. Tidak ada kenyamanan sedikitpun. Untuk ke toilet perlu perjuangan extra melewati penumpang yang menumpuk di koridor, penumpang yang tak mempunyai tiket bernomer. Belum lagi penjual asongan saling berteriak memenuhi ruangan menjajakan dagangan, tangisan bocah yang rewel karena kipas angin yang mendadak macet dan barang bawaan yang memenuhi semua ruang.

Lupakan soal pesawat, waktu itu harga tiket pesawat tidak  terjangkau untuk kami yang baru saja lulus kuliah dan gaji yang tidak seberapa. Tiket kereta pun hanya mampu untuk di kelas bisnis dengan kipas angin yang kadang sekarat lalu mendadak sumuk atau tak bisa dimatikan dan menyisakan masuk angin yang hebat setelahnya.

Semuanya terlihat menyedihkan, tapi saya tak pernah membenci mudik. Waktu itu bagi saya mudik selalu menyenangkan, bertemu Ayah dan Ibu, teman sekolah, dan tentu makanan enak maklum anak kost.

Sampai kemudian Ayah dan Ibu pindah ke Bandung, mudik menjadi seperti sebuah kerinduan yang mendera-dera.Tak tergantikan. Saya selalu mendadak frustasi dengan kata mudik setiap bulan Ramadhan tiba. Semua berita selalu mengerucut pada silaturahmi yang berujung dengan mudik.

Untuk mengatasi rasa frustasi, ada beberapa hal yang saya lakukan:

1. Informasi mudik di televisi mendadak menjadi acara favorit di H-7 dan H+7.

2. Sesekali saya nongkrong di jalan-jalan yang sering dilewati para pemudik sepeda motor hanya untuk memandang mereka lalu sedih.

3. Secara khusus mendatangi terminal bis dan stasiun kereta api hanya untuk mengenang cerita lalu saat mudik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun