Mohon tunggu...
Shaleh Muhammad
Shaleh Muhammad Mohon Tunggu... PMII Maros / Wanua Masennang

Merasa perlu menulis untuk mencatat jejak zamannya, merekam kegelisahan hatinya, serta menyuarakan hal-hal yang selama ini luput dari perhatian. Berbekal sedikit pengetahuan, kepekaan rasa, dan dorongan iman serta akal, ia berusaha menjadikan tulisan sebagai jembatan antara pikirannya dan dunia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya Bukan Hanya Masa Lalu yang Dilestarikan, Tetapi Tentang Masa Depan yang Sedang Dibentuk

24 September 2025   18:34 Diperbarui: 24 September 2025   18:38 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ( Gen AI )

Budaya bukan hanya tentang masa lalu yang dilestarikan, tetapi tentang masa depan yang sedang dibentuk. Sayangnya, dalam praktiknya, pelestarian budaya sering kali direduksi menjadi seremoni simbolik tahunan. Tari-tarian di atas panggung, parade adat, atau festival yang megah hanya berlangsung sesaat dan jauh dari kehidupan sehari-hari masyarakat.

Jika pelestarian hanya dimaknai sebagai pertunjukan yang terjadwal, maka yang kita ciptakan sebenarnya bukan pewarisan nilai, tetapi budaya panggung yang hidup dalam kalender pemerintah, bukan dalam jiwa rakyat. Budaya semacam ini ibarat memetik buah dari pohon yang ditanam oleh nenek moyang, tanpa pernah menanam kembali. Ketika pohonnya mati, kita pun kehabisan warisan. Lebih dari itu, ketika budaya tahunan terpusat pada struktur kekuasaan dan tidak melibatkan masyarakat sebagai pelaku aktif, maka yang terjadi bukan pelestarian, tetapi jebakan budaya sebuah kondisi yang mirip dengan konsep welfare trap dalam kebijakan sosial.

Dalam welfare trap, penerima bantuan kehilangan insentif untuk mandiri karena sistem bantuan justru membuat mereka takut kehilangan apa yang sudah mereka terima. Begitu pula dalam cultural trap, masyarakat diwarisi simbol budaya yang megah, tetapi kehilangan ruang partisipasi dan kepemilikan atas budayanya sendiri.

Panggung budaya dikuasai oleh segelintir elit yang menentukan bentuk, isi, dan waktunya, sementara masyarakat akar rumput yang leluhurnya adalah pemilik sah warisan itu hanya menjadi penonton, bukan pelaku.

Maka dari itu, menata budaya yang luhur sebagai aset masa depan tidak cukup dengan menjadikannya agenda tahunan. Pelestarian sejati menuntut langkah konkret membangun kembali partisipasi masyarakat, mentransmisikan nilai-nilai budaya dalam kehidupan harian, dan membuka ruang agar budaya tumbuh secara organik, bukan hanya terjadwal secara administratif.

Dengan begitu, budaya tidak hanya menjadi kenangan masa lalu yang dibingkai indah di atas panggung, tetapi menjadi kekuatan hidup yang menuntun arah masa depan bangsa.

Jebakan Ekonomi Budaya


Namun dalam kenyataan di lapangan, pelibatan masyarakat dalam kegiatan budaya sering kali hanya bersifat simbolik dan seremonial. Masyarakat tidak diposisikan sebagai subjek budaya yang memiliki kuasa menentukan arah dan makna tradisi, melainkan hanya sebagai objek perayaan yang ditonton, diarahkan, atau dimobilisasi. Inilah yang dapat kita pahami melalui teori partisipasi Arnstein bahwa pelibatan semacam ini berada pada tingkat tokenisme atau bahkan manipulasi, di mana masyarakat tampak hadir, tetapi tidak benar-benar didengar atau diberdayakan. Adanya komodifikasi budaya, sebagaimana dijelaskan oleh John Urry dan Dean MacCannell, di mana tradisi dijadikan barang tontonan untuk konsumsi wisatawan dan kepentingan citra, bukan sebagai bagian dari kehidupan yang
bermakna dan dijalani.

Komodifikasi semacam ini bukan terjadi secara kebetulan, melainkan merupakan bagian dari konstruksi yang dikendalikan oleh struktur hegemoni budaya, sebagaimana diuraikan oleh Gramsci. Kalangan elit baik itu bangsawan, "darah biru", pejabat, maupun aktor formal lainnya memiliki kontrol atas narasi budaya. Mereka menentukan tema acara, siapa yang tampil, bagaimana tradisi
diatur, bahkan makna yang boleh ditampilkan kepada publik. Masyarakat tidak hanya dikendalikan secara ekonomi, tetapi juga secara
simbolik dan kultural.

Dengan kata lain, pelestarian budaya yang dikendalikan dari atas justru menciptakan jebakan ekonomi budaya budaya yang tampil megah di permukaan, tetapi sesungguhnya meminggirkan rakyat dari akarnya. Tradisi yang semestinya menjadi ruang ekspresi, justru berubah menjadi ruang eksklusi. Maka pertanyaannya, untuk siapa budaya ini dipentaskan? Dan siapa yang sesungguhnya sedang kita rayakan warisan leluhur itu?

Jika pola ini terus dibiarkan, maka akan terjadi keterputusan antara generasi hari ini dengan warisan budaya mereka sendiri. Budaya hanya akan hidup dalam brosur pariwisata, dokumentasi foto, atau agenda protokoler, tapi mati dalam kehidupan sosial masyarakat. Oleh karena itu, pelestarian budaya harus diarahkan pada model partisipatiftransformatif. Masyarakat lokal harus ditempatkan sebagai subjek penentu, pelaku, sekaligus pewaris makna. Panggung budaya harus dibuka, bukan hanya
untuk ditonton, tetapi untuk dihidupi dan ditumbuhkan bersama.

Dinding Bisu dalam Museum Terbuka

Leang-Leang di Maros misalnya, ia bukan hanya situs arkeologi. Leang-leang  adalah bagian dari narasi awal manusia dan saksi keberadaan peradaban kuno yang tinggal di wilayah Sulawesi Selatan ribuan tahun yang lalu. Namun, dalam konteks pelestarian modern, situs ini menghadapi tantangan serius bagaimana menjadikan warisan budaya sebagai ruang hidup bersama, bukan hanya objek wisata yang dikomersialkan. Pengelolaan Leang-Leang cenderung menunjukkan gejala komodifikasi budaya, sebagaimana dijelaskan oleh John Urry dan Dean MacCannell. Alih-alih menjadi ruang edukasi partisipatif yang melibatkan masyarakat sekitar sebagai penjaga dan pencerita nilai sejarahnya, Leang-Leang lebih sering diposisikan sebagai destinasi visual tempat untuk berfoto dan dikunjungi sebentar oleh wisatawan.

Lukisan tangan purba itu dijadikan latar dokumentasi, bukan lagi simbol peradaban yang menghubungkan manusia masa kini dengan leluhur mereka. Lebih dari itu, masyarakat lokal kerap tidak dilibatkan dalam pengelolaan strategis situs tersebut. Peran mereka dibatasi sebagai penjaga informal, pedagang kecil, atau bahkan hanya sebagai penghuni wilayah yang terkena dampak wisata. Inilah bentuk jebakan ekonomi budaya, masyarakat berada di dalam lanskap warisan, tetapi tidak menikmati posisi sebagai pewaris yang berdaulat atasnya. Akses terhadap manfaat ekonomi, pengetahuan, hingga ruang narasi dikendalikan oleh pemerintah, akademisi luar, atau swasta.

Jika pelestarian seperti ini terus berlangsung, maka yang diwariskan kepada generasi berikutnya bukanlah nilai luhur dari Leang-Leang, melainkan bentuk ketimpangan baru warisan yang dijaga dari luar, tapi dijauhkan dari masyarakat yang hidup di sekitarnya. Maka pendekatan pelestarian harus berubah dari sentralisasi struktur ke partisipasi komunitas, dari tontonan arkeologis menjadi dialog antargenerasi.

"Leang-Leang bukan sekadar gua dan lukisan tangan, ia adalah cermin peradaban. Tapi bila masyarakatnya tidak terlibat, maka yang tersisa hanyalah dinding bisu dalam museum terbuka."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun