Mohon tunggu...
shahril hasibuan
shahril hasibuan Mohon Tunggu... Guru - Suka Pedagogik

Lumen Naturale

Selanjutnya

Tutup

Politik

Satu China Melalui RUU Ekstradisi

15 Oktober 2019   03:37 Diperbarui: 15 Oktober 2019   12:03 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hongkong adalah wilayah yang terletak di tenggara Tiongkok, secara kultural Hongkong beretnis Kanton dengan berbahasa Kanton, dengan jumlah penutur sekitar 5% dari jumlah penduduk Tionkok, dan penggunan bahasa Mandarin dengan jumlah penutur 67 % dari jumlah penduduk Tiongkok. Dengan kata lain Cina terdiri dari berbagai suku dan etnis dengan memiliki penuturan bahasa yang berbeda. Namun bahasa Mandarin secara garis besar adalah beretnis suku Han, sebagai bahasa Nasional negeri Tirai Bambu. Hongkong sebagai kota Pelabuhan yang dibangun dan dikuasai Inggris sejak tahun 1889 hingga 1997 sebagai hasil dari Perjanjian Beijing.

Menjelang tahun-tahun penyerahan Hongkong kepada RRC, di tahun 1980an pimpinan PKC Deng Xiaoping mengusulkan konsep "One Country, Two Systems", yaitu Satu Negara dengan Dua Sistem. Dengan mengarahkan pandangan pihak Beijing mempersiapkan diri dalam mempersatukan wilayah Hongkong dan Macau yang akan kembali dikuasai oleh Beijing. Transaksi kekuasaan atas Hongkong pun terlaksana melalui kesepakatan antara Inggris-RRC di tahun 1984, sehingga resmilah pada 1 Juli 1997 Inggris menyerahkan Hongkong kepada RRC, berikutnya di tahun 1999 wilayah Macau diserahkan Portugis kepada pihak Beijing.

Pergolakan penyerahan terjadi secara terbuka adalah warga  Hongkong  menolak akan kehadiran Beijing, yang secara terstruktur dan sistematis warga Hongkong merasakan tidak adanya otonomi bagi wilayah Hongkong, Beijing senantiasa menentukan arah tindakan kebijakan Eksekutif Hongkong serta mempengaruhi Dewan Legislatif, sehingga baik Eksekutif dan Legislatif lebih mendekatkan politiknya pada kemauan Beijing.

Hongkong tidak memiliki pemilihan umum secara langsung, Kepala Eskutif dipilih oleh Anggota Komite Pemilu yang telah ditunjuk oleh Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional dikenal sebagai Standing Committee of the National People's Congress (NPCSC) sebagai lembaga Legislative Hongkong dibawah naungan National People's Congress (NPC), maka  sebagian besar anggota NPCSC adalah kepanjangan tangan dari Beijing. Dengan demikian pemilihan Kepala Eksekutif adalah pemilihan yang terwakilkan melalui NPCSC.

Sistem pemilihan Kepala Eksekutif inilah yang menjadi perdebatan bagi masyarakat Hongkong yang pro-demokrasi. Kepala Eksekutif yang dipilih oleh anggota Legislative yang sebagian besar pro-Beijing, digarisbawahi oleh Comintern Chinese Communist Party (CCP), menjadi penolakan bagi masyarakat Hongkong yang sudah lama menikmati demokratisasi semasa Kolonial Inggris. Anak-anak muda Hongkong ingin menikmati era keterbukaan demokratisasi terlebih pesatnya perkembangan Revolusi Industri 4.0 dan adanya dorongan dari Golongan Tua Hongkong dan Para Aktivis pro-demokrasi maka gelombang protes dan demonstrasi semakin mencuat, yang diawali dari gerakan pelajar dan diikuti gerakan mahasiswa dengan melakukan aksi protes yang dikenal dengan Revolusi Payung (Umbrella Revolution) 22 September 2014, aksi protes yang berlangsung hampir tiga bulan. Gelombang protes semakin berlanjut dari tuntutan pemilihan umum akan adanya perwakilan dewan rakyat dan pemilihan eksekutif yang dipilih secara langsung bagi warga Hongkong, menuntut adanya suprastruktur bagi Hongkong, yang  terbebas dari intervensi Pusat yakni Pemerintahan Tiongkok (People's Republic China).

Biro Keamanan Hongkong mengeluarkan draft RUU Ekstradisi pada Februari 2019, dengan dasar alasan merebaknya kejahatan di Hongkong dan yang utama adalah pembunuhan wanita hamil yang dilakukan suaminya di Taiwan, dan draft tersebut disetujui oleh Legislatif yang secara dominan dipengaruhi oleh Beijing. Dalam draft tersebut pelaku yang terbukti melanggar hukum pidana tidak diadili di Hongkong, melainkan di wilayah negara Tiongkok, sehinga pelaku akan diekstradisi ke Beijing untuk diadili, dengan alasan Hongkong memiliki system yuridiksi dan sebagai wilayah otonomi dan negara, maka perlu adanya ekstradisi. Rakyat Hongkong adalah juga dan atau memiliki kewarganegaran Tiongkok. Maka sebagai sesama hubungan antar bernegara Tiongkok menuntut Hongkong untuk mengekstradisi warga Hongkong yang telah melakukan tindakan kejahatan adalah adalah juga rakyat Tiongkok.

Pihak yang pertama kali memprotes RUU Ekstradisi adalah Kamar Dagang Amerika yang memiliki kepentingan di Hongkong, diikuti ribuan warga Hongkong turun kejalan. Gelombang protes dan aksi penolakan akan RUU Ekstradisi yang dimulai bulan Maret hingga berakhir pada akhir September. Amerika beranggapan Tiongkok melakukan manuver politik satu Cina, dengan menghapus yuridiksi Hongkong melalui RUU Ekstradisi, dan berupaya mempengaruhi Taiwan untuk ikut mematuhi yuridiksi Tiongkok atas Hongkong. Amerika Serikat melalui juru bicara Departemen Luar Negeri, Morgan Ortugus mengatakan bahwa Rancangan undang- undang  ekstradisi akan menjadi 'erosi berklanjutan yang beresiko terhadap status khusus Hongkong dalam hubungannya dengan dunia internasional. Tindakan Amerika diikuti oleh negara-negara Eropa Barat.

Kebangkitan negeri tirai bambu menjadi permasalahan bagi  Amerika dalam mempertahankan hegemoni pengaruhnya paska perang dingin,  di kawasan Asia-Pasifik. Dengan menolak kebijakan Tiongkok dalam satu China. Amerika mendukung kelompok pro-demokrasi untuk menolak RUU Ekstradisi yang dapat memperlemah yuridiksi Hongkong, sebagai daerah khusus. Serta adanya anggapan publik Hongkong, yang tidak mempercayai sistem pengadilan Hongkong.

Perlemahan yuridiksi Hongkong adalah upaya Beijing dalam melakukan politik Satu China. Legislative yang sebagian telah terformat kedalam pro-Beijing, dengan menghasilkan Kepala Eksekutif yang berporos pada Beijing. Dengan melakukan ekstradisi bagi pelaku kejahatan di Hongkong untuk diadili di Beijing, maka yurispudensi Hongkong di bawah wewenang sistem pengadilan Beijing. Tentu bagi pro-demokrasi Hongkong hal ini melanggar otonomi khusus Hongkong dan menjadikan Hongkong sebagai propinsi, dan Hongkong menjadi wilayah dalam otoritas Beijing yang dianggap menolak demokrasi. Bagi Amerika  Serikat ini mempengaruhi Taiwan, sebagai sekutunya dan dapat mengikis pengaruh Amerika Serikat yang menekankan kebebasan dan demokrasi di kawasan Asia Pasifik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun