Mohon tunggu...
Shafira ra
Shafira ra Mohon Tunggu... Mahasiswa UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Saya seorang mahasiswa yang menyukai musik, alam, novel dan olahraga

Selanjutnya

Tutup

Seni

Desa Sitiwinangun Penghasil Gerabah

19 Mei 2025   18:55 Diperbarui: 19 Mei 2025   18:57 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Studi Lapangan Kampung Gerabah

       Mahasiswa UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon khususnya Jurusan Sejarah Peradaban Islam, semester 6 kelas A, telah mengunjungi Desa Sitiwinangun, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon pada hari Kamis (8/5/2025) pagi. Kunjungan ini bermaksud untuk studi lapangan agar pembelajaran tidak hanya dilakukan di dalam kelas. Desa ini terkenal dengan pengrajin gerabah. Pada kunjungan ini mahasiswa diberi penjelasan tentang sejarah desa Sitiwinangun, cara pembuatan gerabah dan juga eksistensi gerabah pada saat dulu dan sekarang. Kami bertemu dengan narasumber yang bernama Pak Wastani.

      Menurut Pak Wastani, Sitiwinangun berasal dari kata "siti" artinya tanah dan "winangun" artinya dibangun atau dibentuk. Sejarah Desa Sitiwinangun terbagi menjadi tiga fase zaman.

     Pada abad 12 M, di abad ini belum adanya kerajaan Majapahit ataupun kesultanan Cirebon yang dipimpin oleh Syekh Syarif Hidayatullah, karena di abad ini berdirinya kerajaan Singosari. Diidentikan dengan Singosari karena adanya artefak gerabah yang sejenis dengan artefak gerabah peninggalan Singosari.

     Abad 14 M, hadirnya Syekh Abdurrahman untuk mengembangkan agama Islam. Pada awalnya Syekh Abdurrahman berdakwah dengan cara berdakwah seperti di Arab yang identik keras. Atas saran Mbah Kuwu, Syekh Abdurrahman mengubah dakwahnya dengan cara pendekatan kultural, yaitu mengakulturasikan dakwah dengan gerabah. Syekh Abdurrohman membuat dan mengenalkan gentong kepada masyarakat, yang berfungsi untuk berwudhu dan juga momolo yang digunakan untuk langgar. Karena dakwahnya yang menggunakan akulturasi, masyarakat menyebut Syekh Abdurrahman dengan sebutan Panjunan. Pada abad 16 M, agama Islam semakin meluas.

     Nama Sitiwinangun ini ada pada saat era kolonial Belanda karena adanya administrasi dan manajemen. Pada era 80-an, setiap rumah di Desa Sitiwinangun merupakan pengrajin gerabah. Perharinya mereka bisa menjual gerabah 4 sampai 5 truk, karena kejayaannya para pejabat dan turis mendatangi desa tersebut. Pada era 90-an kerajinan gerabah mulai menurun, "karena teknologi semakin berkembang, masyarakat mulai mengenal barang-barang yang terbuat dari plastik" kata Pak Wastani. Selain maraknya barang dari plastik, saat itu masyarakat juga beralih untuk memproduksi ban yang dimana penghasilannya lebih besar dari membuat gerabah.

     Pada era 2000-an ini kerajinan gerabah mulai berkembang kembali dengan mengikuti kemajuan zaman, bekerja sama dengan berbagai komunitas, lembaga dan juga forum bisnis. Diciptakannya juga rumah getak. Sampai pada tahun 2024, Desa Sitiwinangun resmi menjadi desa wisata. Penjualan tidak hanya dilakukan secara offline tetapi juga dilakukan secara online mengikuti arus zaman.

    Setelah mengetahui sejarahnya, mahasiswa diarahkan ke rumah produksi gerabah. Di sana mahasiswa diperlihatkan dan diajarkan cara membuat gerabah, ada yang membuat piring atau mangko, dan ada yang membuat topeng. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun