Mohon tunggu...
Shafia WindyNabila
Shafia WindyNabila Mohon Tunggu... Universitas Pendidikan Indonesia

Mahasiswa Ilmu Ekonomi dan Keuangan Islam

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pariwisata Indonesia: Kebangkitan Pasca-Pandemi dan Prospek Ekonomi

30 September 2025   08:00 Diperbarui: 30 September 2025   08:02 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pandemi COVID-19 menjadi guncangan terbesar bagi sektor pariwisata Indonesia dalam sejarah modern. Sejak 2020, jumlah perjalanan wisatawan domestik turun lebih dari 75 persen, sedangkan devisa dari wisatawan mancanegara merosot hingga 74 persen. Bali yang biasanya penuh turis internasional sempat lengang, hotel-hotel menutup pintu, dan ribuan pekerja pariwisata kehilangan mata pencaharian. Namun, seperti pepatah lama mengatakan, badai pasti berlalu. Kini, di penghujung 2024 menuju 2025, pariwisata Indonesia menunjukkan tanda-tanda kebangkitan yang mengesankan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah perjalanan wisatawan nasional pada 2023 mencapai 7,5 juta dan meningkat hampir 19 persen di tahun 2024. Tren positif ini juga tercermin dari lonjakan wisatawan mancanegara yang mencapai 13,9 juta orang pada 2024, naik lebih dari 19 persen dibanding tahun sebelumnya. Sektor pariwisata kembali menyumbang devisa negara hingga 16,71 miliar dolar AS dan memberikan kontribusi 4,01 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini belum setinggi masa sebelum pandemi, tetapi arah pemulihannya jelas: pariwisata kembali menjadi salah satu lokomotif ekonomi nasional.

Kebangkitan ini tidak datang begitu saja. Pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat bahu-membahu menciptakan strategi pemulihan. Program 5 Destinasi Super Prioritas---Danau Toba, Borobudur-Yogyakarta-Prambanan, Mandalika, Labuan Bajo, dan Likupang---menjadi motor penggerak. Infrastruktur, promosi internasional, dan pelatihan sumber daya manusia diperkuat. Tak hanya itu, digitalisasi juga mengubah wajah pariwisata Indonesia. Konsep smart tourism berbasis big data, Internet of Things, dan media sosial membantu mengelola arus wisatawan sekaligus memperluas jangkauan promosi ke pasar global.

Namun, kebangkitan pariwisata pasca pandemi tidak hanya soal angka dan statistik. Ada perubahan perilaku wisatawan yang tak kalah penting. Pandemi membuat masyarakat lebih peduli pada aspek kesehatan, keamanan, dan keberlanjutan. Wisatawan kini lebih selektif memilih destinasi, mengutamakan protokol kebersihan, serta cenderung mencari pengalaman yang autentik dan ramah lingkungan. Di sinilah peluang besar terbuka: membangun pariwisata yang lebih tangguh dan berkelanjutan.

Fenomena green tourism atau wisata hijau semakin relevan. Selama pandemi, alam sempat "beristirahat": laut lebih jernih, polusi berkurang, dan ekosistem pulih. Namun, ancaman overtourism-ketika jumlah wisatawan melebihi kapasitas lingkungan-masih menghantui. Oleh karena itu, strategi pembatasan pengunjung, pengelolaan sampah, serta promosi destinasi alternatif mutlak dilakukan. Indonesia kaya dengan ribuan destinasi, tidak hanya Bali atau Borobudur. Sebaran wisatawan yang merata akan menjaga keberlanjutan lingkungan sekaligus mendukung ekonomi lokal.

Selain itu, potensi pariwisata halal tidak boleh diabaikan. Dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia punya peluang emas menjadi pemimpin global dalam wisata ramah Muslim. Penyediaan makanan halal, fasilitas ibadah, dan akomodasi berbasis syariah menjadi daya tarik besar bagi wisatawan Muslim dari Timur Tengah, Asia Selatan, hingga Eropa. Beberapa daerah, seperti Lombok dan Aceh, sudah mulai dikenal sebagai destinasi halal unggulan. Ke depan, strategi pemasaran yang lebih terarah bisa menjadikan Indonesia pusat pariwisata halal dunia.

Yang tak kalah penting adalah peran UMKM lokal. Kehadiran wisatawan tidak hanya menguntungkan hotel berbintang, tetapi juga pedagang kecil, pemilik homestay, pengrajin, hingga pelaku kuliner tradisional. Efek pengganda pariwisata menjadikan UMKM sebagai tulang punggung pemulihan ekonomi. Inisiatif desa wisata yang melibatkan masyarakat semakin memperkuat posisi pariwisata sebagai instrumen pemberdayaan ekonomi rakyat.

Tentu, tantangan masih ada. Infrastruktur di beberapa destinasi masih terbatas, kualitas SDM pariwisata belum merata, dan kesadaran akan keberlanjutan masih perlu ditingkatkan. Namun, justru di titik inilah Indonesia bisa belajar dari krisis pandemi. Alih-alih kembali pada pola lama yang mengejar kuantitas wisatawan, kini saatnya membangun industri pariwisata yang menekankan kualitas, keberlanjutan, dan inklusivitas.

Dengan kombinasi digitalisasi, wisata halal, dan ekowisata, Indonesia memiliki modal besar untuk melesat. Bayangkan, 17 ribu pulau, ratusan etnis, dan ribuan tradisi bisa menjadi panggung dunia yang memperlihatkan kekayaan Nusantara. Bila dikelola dengan bijak, pariwisata Indonesia tidak hanya akan pulih, tetapi juga menjadi pilar utama ekonomi hijau, budaya, dan sosial yang berkelanjutan.

Pariwisata pasca pandemi bukan sekadar soal "kembali normal". Ia adalah kesempatan untuk menata ulang arah pembangunan. Jika semua pihak-pemerintah, swasta, dan masyarakat-dapat menjaga semangat kolaborasi, maka 2025 bisa menjadi tonggak lahirnya pariwisata Indonesia yang lebih tangguh, inklusif, dan mendunia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun