Shabirin Arga (Direktur Media dan Literasi Prodewa, Pengamat Sosial dan Politik)
Perdebatan dibalik panggung politik diantara elit pasca diumumkannya virus Corona atau Covid-19 pada tanggal 2 maret yang mulai mendarat di Indonesia terlebih Jakarta, begitu cepatnya dibaca dan disimpulkan sebagai panggung politik oleh lawan politiknya, sehingga menjadi perseteruan yang tiada habisnya meskipun babak pemilu 2019 telah berlalu. Persoalan inti atau masalah subtantif berlalu begitu saja sedangkan diruang politik dan media menjadi perselisihan dengan dasar bahwa masing-masing berada pada titik yang benar.
Kini korban kian hari semakin bertambah, wajah kepemimpinan Negara adalah wajah nasib Indonesia melalui kebijakan-kebijakannya. Tapi sayang, tampaknya Jokowi sedang tersandera atau kebingungan. Komunikasi politik yang disampaikan ke publik melalui kebijakan yang ditetapkan dihantui oleh kepentingan orang-orang yang berada di sekitarnya. Hal ini mudah saja untuk di baca karena terrefleksi dari tidak adanya kebijakan khusus dalam menangai kasus Covid yang begitu massif penularannya di seluruh Indonesia.
Faktanya beberapa kebijakan Presiden Jokowi menuai pro kontra dari internalnya sendiri, seperti kebijakan larangan mudik bagi masyarakat untuk mencegah penyebaran virus, namun tidak ada konsekuensi hukum yang ril dalam memaksa dan menekan hal tersebut dari pemerintah sendiri, sama halnya keputusan mengenai tunda tagihan atau kredit dalam tempo satuh tahun ke depan, namun diralat oleh jubir istana Fadjroel Rachma, kemudian keingin dan harapan Jokowi sering sekali tidak sesuai dengan langkah yang diambil terhadap penanganan Covid-19.
Sekarang coba diterawang setiap komunikasi publik yang disampaikan melalui pidato keperesidenan atau melalui juru bicaranya, Â komando yang tidak sejalan dengan pemerintah daerah, rencana-rencana atau kebijakan yang tidak sikron, dan kebijakan-kebijakan yang cenderung tidak konsisten. Sehigga berdampak pada psikologis publik yang selama ini merasa khawatir, panik, Â dan bahkan gangguan mental pada rakyat.
Sekarang pertanyaannya adalah apa kebijakan dan program unggulan Jokowi dalam menangani Covid-19 yang kini mulai merebak di seluruh Indonesia?
Negara terus berdebat dan berbicara mengenai hak dan kewenangan lockdown yang ada kesimpulannya, sedangkan situasi semakin darurat, beberapa Kepala Daerah yang semakin resah, akhirnya berhadapan juga dengan kasus covid-19. Bagaimana tidak resah di daerah resources tenaga medis tidak mencukupi dan infrastrutur juga tidak memadai. Akkhirnya salah satunya solusinya adalah dengan memutus rantai intraksi penyebaran virus dengan cara melakukan lockdown atau istilah lainnya karantina wilayah dibeberapa daerah.
Negara tidak mengambil tindakan lackdown sebagai alternatif solusi, pengadaan infrastruktur kesehatan secara skala besar-besaran juga tidak  dilakukan, sedangkan rumah sakit yang menjadi rujukan masih jauh dari kata memadai, dibalik himbaun Stay At Home namun pengadaan pangan untuk rakyat tidak difasilitasi, artinya Negara tidak mengambil peran besar dalam menangani persoalan yang melanda Indonesia, ujung-ujungnya Jokowi malah mengeluar darurat sipil, yang memnuai kontra dan dianggap tidak sinkron dalam situasi ini, objek sasaran dan auotputnya tidak jelas. Setidaknya ada beberapa point yang harus selalu dilakukan Negara dalam situasi genting dan sebelum keadaan semakin memburuk.
Pertama, seharusnya hasil kajian kepakaran mengenai dampak sosial, kesehatan, dan ekonomi dipublis secara transparan oleh Negara, sehingga publik bisa memahami setiap himbauan dan intruksi yang diedarkan oleh negara, yang merupakan menjadi instrument dalam membangun optimisme rakyat melawan virus Covid-19.
Kedua, Negara harus memberikan solusi yang ril, bukan sekedar slogan atau himbauan dalam menghadapi Covid-19. Jika perintah dan kebijakannya meminta rakyat untuk berdiam diri dirumah masing-masing, maka kewajiban Negara untuk senantiasa menjamin kesedian pangan rakyat yang menjadi kebutuhan masyarakat Indonesia. Karena saya yakin ini bukan sekedar masalah ada atau tidak adanya anggaran, namun dalam situasi sulit seperti ini Negara harus mengambil tindakan dalam skala prioritas.
Ketiga, Jokowi sebagai simbol Nagera diminta konsisten dalam mengambil keputusan, tidak plin plan dan berubah-ubah. Semangat dan rasa percaya diri terus dibangun melalui mimbar kepresidenan dalam bentuk keperhatinan Presiden kepada rakyatnya, sehingga tidak memicu kisruh seperti yang terjadi media sosial dan media lainnya.