Mohon tunggu...
Mesha Christina
Mesha Christina Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengumpul kepingan momen.

Menulis juga di blog pribadi www.shalluvia.com || Kadang jalan-jalan, kadang baca buku, kadang menulis, dan yang pasti doyan makan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sultan HB IX, Milik Kita Semua

5 November 2012   05:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:57 1231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13520933901591448629

Sebagai orang Yogyakarta, sudah seharusnya mengenal sosok Sri Sultan Hamengku Buwono IX―raja yang paling dicintai oleh rakyatnya. Saya memang tak mengenal secara langsung kiprah beliau semasa hidup, karena sampai beliau wafat pun saya masih berusia tiga tahun. Terlalu dini untuk memahami segala hal. Namun, saya mendengar banyak kisah tentang beliau dari banyak orang juga. Dan yang bisa saya tangkap dari kisah-kisah tersebut adalah Sultan HB IX merupakan sosok pemimpin yang sangat dekat dengan rakyatnya. Bahkan, saya seolah pernah mengenal beliau semasa hidupnya, karena itulah dalam semangat menjelang Hari Pahlawan, saya ingin sedikit berbagi hal untuk mengenang salah satu pahlawan yang dimiliki bangsa Indonesia ini. [caption id="attachment_214801" align="aligncenter" width="300" caption="foto Sultan HB IX yang terpampang di salah satu ruangan museum Keraton Yogyakarta (dok. pribadi)"][/caption] Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dilahirkan pada 12 April 1912 dengan nama kecil Bendoro Raden Mas Dorodjatun. Ketika revolusi kemerdekaan sedang hangat-hangatnya, beliau naik ke tahta tertinggi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, yaitu pada 18 Maret 1940 dengan gelar "Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana Senopati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga". Selain sebagai pemimpin Yogyakarta, beliau juga sangat peduli terhadap nasib Indonesia pada saat itu. Bersama Sri Pakualam VII, beliau adalah dua penguasa daerah yang sangat berani menentang kependudukan Belanda dan mengorganisir perlawanan untuk mendorong kemerdekaan Indonesia. Di masa penjajahan Jepang, kerja paksa romusha seolah merupakan hal yang lumrah di tanah air Indonesia, namun tidak bagi Sultan HB IX. Beliau sangat tegas melarang pengiriman romusha dengan mengadakan proyek lokal saluran irigasi Selokan Mataram. Terbukti, ide beliau cukup ampuh, warga Yogyakarta tidak ikut melakukan romusha melainkan sibuk sendiri dengan proyek yang diberikan Sang Raja, tentunya Sultan telah meminta ijin terlebih dahulu juga pada pemerintah Jepang. Sampai saat ini, hasil kerja tersebut masih bisa dilihat, yaitu sebuah saluran irigasi yang awalnya bernama Kanal Yoshiro membentang sepanjang 31,2 km dari Sungai Progo di sebelah barat hingga Sungai Opak di sebelah timur. Setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Sultan HB IX tanpa ragu menjatuhkan pilihan untuk bergabung dengan Republik Indonesia. Keputusan beliau ini merupakan sebuah langkah besar yang tak hanya bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi rakyat Yogyakarta dan seluruh bangsa Indonesia. Ketika Ibukota RI sementara berpindah di Yogyakarta pada 4 Januari 1946 hingga 28 Desember 1949, peran beliau dalam menopang RI sangat lah penting. Bahkan beliau rela mengeluarkan dana pribadi untuk membiayai pemerintahan RI dan keluarga Presiden serta para menteri selama ibukota di Yogyakarta. Sultan HB IX pun pernah menggunakan hartanya untuk membayar gaji pegawai republik yang tidak mendapat gaji semenjak Agresi Militer ke-2. Sultan HB IX juga merupakan inisiator dan konseptor Serangan Oemoem 1 Maret 1949 yang berdampak pada menguatnya dukungan internasional terhadap RI. Ketika serangan umum usai, pihak Belanda berkali-kali mendatangi Sultan di Keraton, dengan maksud meminta Sultan menghentikan bantuan pada pasukan gerilya. Namun Belanda gagal, keahlian diplomasi Sang Raja berhasil mengalahkan para Jenderal Belanda. Mereka pun menyerah untuk membujuk Sultan. Sebagai seorang raja, beliau sangat peduli dalam hal budaya. Berbagai komposisi tari beliau ciptakan, salah satunya adalah tari Golek Menak. Gerakan tarian tersebut patah-patah menyerupai boneka kayu yang menari, ceritanya bersumber dari Serat Menak, yang berasal dari negeri 1001 malam. Selain tarian, beliau juga gemar berkreasi dengan aneka resep masakan. Kebiasaan memasak tersebut menjadi bagian dari hidup ketika beliau menuntut ilmu di Universitas Leiden, Belanda.

"Setinggi-tingginya aku belajar ilmu barat, aku adalah dan bagaimanapun jua tetap Jawa." ~ Sultan HB IX

Walaupun bergelar raja, kehidupan Sultan HB IX terbilang sederhana. Jauh dari kemewahan dan selalu membaur dengan rakyat. Banyak kisah yang sangat membekas pada sanubari rakyatnya karena kedekatan dan kecintaan beliau. Sebagai salah satu contoh kedekatan beliau dengan rakyat ada dalam kisah berikut ini... Suatu hari terjadi kehebohan luar biasa di depan Pasar Kranggan (sebelah barat Tugu Yogyakarta), pada tahun setelah Indonesia merdeka. Saat itu ada seorang wanita pedagang beras yang tiba-tiba pingsan.  Wanita tersebut pingsan bukan tanpa sebab, karena sebelumnya sebelum sampai pasar, wanita itu menunggu kendaraan di tepi jalan. Lalu muncul lah jeep dari arah utara menuju selatan. Wanita itu menghentikan jeep bermerek Willys untuk ditumpangi, ia memang biasa menyetop kendaraan yang lewat dan membayar satu rupiah sekali jalan. Setelah jeep berhenti, pedagang itu lalu menyuruh sopir membantu mengangkut karung-karung beras. Entah berapa karung beras yang diangkut, yang jelas sopir itu membantu dengan senang hati. Setibanya di Pasar Kranggan, si sopir membantu menurunkan karung berasnya. Saat si pedagang hendak memberikan upah, sopir menolaknya. Sontak wanita pedagang itu marah, karena mengira sopir meminta uang lebih, si sopir lalu pergi begitu saja. Belum selesai marah, ada seorang polisi yang mendekatinya dan memberi tahu siapa sopir tadi. Pedagang beras itu pingsan dengan sukses setelah mengetahui bahwa sopir tadi adalah Sri Sultan HB IX. Selain kisah di atas, ada juga kisah yang sempat beredar dan menghebohkan beberapa waktu lalu, yaitu saat beliau ditilang oleh seorang Polisi di Pekalongan. Mungkin masih ada kisah-kisah lain yang tak dapat dilupakan oleh mereka yang mengalami pengalaman berharga dengan sang raja. Karena kedekatannya dengan rakyat tersebut, ketika beliau wafat pada 2 Oktober 1988, Yogyakarta terdiam membisu. Hanya tangis dan air mata yang mengiringi kepergian beliau ke peristirahatan terakhir di makam raja-raja Mataram, Imogiri. Mungkin patut diketahui juga, Sultan HB IX adalah gubernur terlama yang menjabat di Indonesia (1945-1988) dan Raja Kasultanan Yogyakarta terlama (1940-1988). Beliau mungkin juga merupakan satu-satunya gubernur di RI yang mampu menguasai enam bahasa dunia. Selain itu, beliau juga pernah mengemban tugas sebagai menteri di beberapa kabinet dari rentang tahun 1946 sampai dengan 1966 dan puncaknya menjabat sebagai Wakil Presiden (1973–1978). Beliau pun mendapat julukan sebagai Bapak Pramuka Indonesia. Oleh karena perjuangan dan jasa-jasa beliau semasa hidup tersebut, maka pemerintah RI melalui Presiden Megawati menyematkan tanda gelar pahlawan pada 8 Juni 2003, meski kita semua tahu, beliau tidak pernah mengharapkan pengahargaan tersebut. Ya, Sri Sultan HB IX bukan hanya milik rakyat Yogyakarta saja, beliau milik seluruh bangsa Indonesia, milik kita semua. Sri Sultan HB IX bukan hanya sebagai Raja di wilayah kekuasaannya, melainkan juga sebagai pemimpin politik nasional yang sifat-sifat teladannya diharapkan ada pada pemerintah-pemerintah kita di masa sekarang ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun