Di suatu pagi yang lembab di hutan tropis Kalimantan, kabut tipis masih menyelimuti pucuk-pucuk pohon. Udara berbau tanah basah bercampur dengan aroma dedaunan yang baru tersentuh embun. Dari kejauhan, terdengar suara burung enggang yang berat dan bergema, seperti genderang kecil yang dipukul berulang, memantulkan gema ke seluruh lembah.
Seorang anak laki-laki Dayak bernama Yanuar duduk di beranda rumah panjangnya, matanya menatap ke arah rimbun pepohonan yang seakan tak berujung. Ia teringat cerita neneknya, bahwa enggang bukan sekadar burung. Ia adalah simbol kehidupan, penjaga keseimbangan hutan, sekaligus penanda hubungan tak terputus antara manusia dan alam. βSelama enggang masih terbang di langit,β kata neneknya suatu malam, βhutan kita masih punya jiwa.β
Namun Yanuar tahu, di balik nyanyian alam itu ada kenyataan pahit. Jumlah burung enggang terus berkurang, sama halnya dengan orangutan yang kehilangan pohon rumahnya, atau gajah Sumatra yang kian terdesak karena hutan mereka berubah jadi perkebunan. Setiap tahun, kabar satwa yang hilang terdengar semakin sering, seolah harmoni yang diwariskan leluhur perlahan retak.
Kisah manusia dengan satwa terancam bukan sekadar catatan di laporan konservasi atau angka-angka dalam grafik. Itu adalah kisah tentang kehilangan: kehilangan teman, kehilangan guru, kehilangan cermin kehidupan.
Di Afrika, gajah diburu demi gading yang dipajang sebagai hiasan. Di Asia, harimau kehilangan ruang hidup karena hutan diubah menjadi perkebunan sawit dan akasia. Di lautan luas, paus biru tersangkut jaring nelayan modern, tak bisa lagi bernyanyi bebas di kedalaman. Setiap kehilangan itu bukan hanya tragedi satwa, tapi juga tragedi manusia, karena tanpa mereka, ekosistem menjadi pincang.
Sejarah juga menunjukkan, harmoni pernah nyata. Masyarakat adat di seluruh dunia sejak lama hidup berdampingan dengan satwa liar, bukan sebagai penguasa dan yang dikuasai, melainkan sebagai sesama penghuni bumi. Di Papua, cenderawasih dianggap jelmaan surga; bulunya hanya digunakan dalam upacara penting, dan tidak pernah diburu sembarangan. Di India, gajah diperlakukan sebagai makhluk suci, dihormati dalam festival dan ritual. Semua itu membuktikan bahwa harmoni bukan sekadar utopia, melainkan warisan yang kini terancam dilupakan.
Harmoni sejati lahir dari kesediaan manusia untuk belajar, bukan hanya memanfaatkan.
Orangutan, misalnya, dikenal sebagai makhluk yang sabar. Seekor induk orangutan mengajarkan anaknya membuat sarang, mengenali buah yang aman, bahkan cara mencari tanaman obat. Butuh waktu tujuh hingga delapan tahun bagi seekor anak orangutan untuk benar-benar mandiri. Bayangkan kesabaran seekor induk yang tak pernah lelah membimbing. Dari merekalah manusia seharusnya belajar tentang arti kesetiaan, ketekunan, dan cinta tanpa pamrih.
Saya pernah berbincang dengan seorang relawan konservasi di Taman Nasional Gunung Leuser. Ia bercerita tentang seekor orangutan betina bernama Suma. Suma ditemukan lemah di kebun sawit, jauh dari rumah alaminya. βAwalnya ia begitu takut,β katanya, βseperti kehilangan arah. Tapi ketika dilepasliarkan kembali, Suma menemukan jalannya lagi. Ia bukan hanya bertahan hidup, tapi juga membimbing anaknya dengan penuh kesabaran.β
Cerita itu menancap dalam pikiran saya. Jika seekor satwa bisa bangkit dari keterdesakan, mengapa manusia yang memiliki akal budi justru lebih sering merusak ketimbang menjaga?