Diam Seribu Basa
Ada yang aneh pada diri Pak Sukar akhir-akhir ini. Ia mendadak menjadi pendiam. Atau mungkin lebih tepatnya mengurung diri. Beberapa tetangga dekat, terutama sesama peternak sapi berulangkali membicarakan ini di Angkring pertigaan dusun. Bahkan Pak Niti, Pak Badrudin dan Mbah Par yang tergolong orang-orang yang jarang berkomentarpun kali ini angkat bicara. Selain-orang-orang diatas, orang supel seperti Pak Rokhiman, Mas Nanoto, Pak Ayubi tentu sudah lama merasa ada ketidak beresan itu. Hal itu pula yang menjadi topik perbincangan saat Sambatan, mendirikan gapura dan hiasan 17 Agustus di gerbang dusun.
“Kapan terakhir kali kau bertemu Pak Sukar?” Pak Ayubi memulai pembicaraan sambil memegang Ote-ote. Sementara tangan kiri sibuk memasukkan cabe hijau kedalam mulutnya.
“Kemarin, waktu cari Pucukan…” sahut Pak Niti lugas. Pak Ayubi manggut-manggut.
“Tiga hari lalu saat Tebang juga ketemu aku. Tapi dia buru-buru menjauh. Entahlah, dia seperti ketakutan…” giliran Pak Badrudin menimpali.
“Pak Man, kapan terakhir kali kau ke rumahnya?”
“Sudah agak lama. Aku biasa kerumahnya, langsung menuju kandang. Tapi sejak ia berubah begitu aku jadi segan…”
“Oh ya Lur, bagaimana di berita-berita HP anakku kok katanya ada penyakit mulut dan kuku?” Pak Man bertanya.
“Ah, Pak Man terlalu sering menonton berita. Jangan kuatir lah Pak. Tak akan sampai ke desa kita ini! Wong kita merawat sapinya baik-baik, bersih. Tak ada orang merawat sapi sebaik di tempat kita ini!” Pak Ayubi menanggapi sambil tersenyum simpul, yang juga diikuti derai tawa yang lain.
“Betul Pak Man! Kita selalu member makan sapi dengan rumput betulan, bukan di Combor . Sapi-sapi kita sehat, percayalah!” Mas Nanoto membesarkan hati Pak Man.
“Yah, semoga saja. Sapi-sapi di kampung ini tetap sehat, dan bisa untuk menyekolahkan anak. Ingin ngundang jaranan desa sebelah juga bisa kalau punya sapi. Pokoknya ada harapan lah!”