Mohon tunggu...
Setio Budianto
Setio Budianto Mohon Tunggu... Guru - Saya adalah seorang Praktisi dan Akademisi Pariwisata, juga Guide Berbahasa Inggris. Disamping itu menulis buku fiksi dan non fiksi

Saya menyukai Pariwisata dan kebudayaan, sejarah terutama masa klasik Hindu Buddha. Juga menyukai perjalanan wisata serta topik mengenai lingkungan hidup serta pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Diam Seribu Basa

18 Mei 2023   21:25 Diperbarui: 20 Mei 2023   05:52 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

                                                                                                         Diam Seribu Basa

Ada yang aneh pada diri Pak Sukar akhir-akhir ini. Ia  mendadak menjadi pendiam. Atau mungkin lebih tepatnya mengurung diri. Beberapa tetangga dekat, terutama sesama peternak sapi berulangkali membicarakan ini di Angkring pertigaan dusun. Bahkan  Pak Niti, Pak Badrudin dan Mbah Par yang tergolong orang-orang yang jarang berkomentarpun kali ini angkat bicara. Selain-orang-orang diatas, orang supel seperti Pak Rokhiman, Mas Nanoto, Pak Ayubi tentu sudah lama merasa ada ketidak beresan itu. Hal itu pula yang menjadi topik perbincangan saat Sambatan, mendirikan gapura dan hiasan 17 Agustus di gerbang dusun.

“Kapan terakhir kali kau bertemu Pak Sukar?” Pak Ayubi memulai pembicaraan sambil memegang Ote-ote. Sementara tangan kiri sibuk memasukkan cabe hijau kedalam mulutnya. 

“Kemarin, waktu cari Pucukan…” sahut Pak Niti  lugas. Pak Ayubi manggut-manggut.

“Tiga hari lalu saat Tebang juga ketemu aku. Tapi dia buru-buru menjauh. Entahlah, dia seperti ketakutan…” giliran Pak Badrudin  menimpali.

“Pak Man, kapan terakhir kali kau ke rumahnya?”

“Sudah agak lama. Aku biasa kerumahnya, langsung menuju kandang. Tapi sejak ia berubah begitu  aku jadi segan…”

“Oh ya Lur, bagaimana di berita-berita HP anakku kok katanya ada penyakit mulut dan kuku?” Pak Man bertanya.

“Ah, Pak Man terlalu sering menonton berita. Jangan kuatir lah Pak. Tak akan sampai ke desa kita ini! Wong kita merawat sapinya baik-baik, bersih. Tak ada orang merawat sapi sebaik di tempat kita ini!” Pak Ayubi menanggapi sambil tersenyum simpul, yang juga diikuti derai tawa yang lain.

“Betul Pak Man! Kita selalu member makan sapi dengan rumput betulan, bukan di Combor . Sapi-sapi kita sehat, percayalah!” Mas Nanoto membesarkan hati Pak Man.

“Yah, semoga saja. Sapi-sapi di kampung ini tetap sehat, dan bisa untuk menyekolahkan anak. Ingin ngundang jaranan desa sebelah juga bisa kalau punya sapi. Pokoknya ada harapan lah!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun