Mohon tunggu...
Paelani Setia
Paelani Setia Mohon Tunggu... Guru - Sosiologi

Suka Kajian Sosial dan Agama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Agama, Nasionalisme, dan Moderasi Beragama

29 Maret 2021   15:26 Diperbarui: 29 Maret 2021   16:17 1475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: seruji.co.id

Pan-Islamisme pada akhirnya berkembang menjadi gerakan politik untuk memperjuangkan pemerintahan Islam secara tunggal di dunia atau disebut kekhilafahan Islam. Gerakan ini kemudian banyak identik diperjuangkan oleh kelompok-kelompok radikal seperti Hizbut Tahrir (HT), hingga kelompok radikal ekstrem, ISIS, Taliban, dan Al-Qaeda.

Sementara di sisi lain, kebangkitan nasionalisme kembali menguat seiring meningkatnya pengaruh demokrasi di dunia. Fenomena ini bisa dilacak setelah berakhirnya Perang Dingin yang meruntuhkan Uni Soviet menjadi negara-negara kecil. Kebangkitan nasionalisme juga dianggap menolak analisis Francis Fukuyama tentang akhir dari sebuah sejarah yang hanya menyisakan demokrasi saja, termasuk prediksi Daniel Bell tentang akhir dari nasionalisme.

Dalam tatanan politik lokal, menguatnya pergolakan agama dan nasionalisme dipengaruhi oleh adanya momentum sejarah manis masa lalu, yakni mengguar kembali diskusi Islam vs Pancasila, dimana ingatan masa lalu pada 'Piagam Jakarta' kembali digaungkan oleh kelompok-kelompok yang menginginkan formalisasi syariah di Indonesia. Keinginan tersebut dilandasi masih buruknya berbagai pelaksanaan demokratisasi pasca reformasi.

Populisme dan Politik Identitas

Suka tidak suka, menguatnya kembali diskursus pertentangan agama dan nasionalisme dipengaruhi oleh kelompok populisme Indonesia. Lebih spesifik kelompok populis Islam dan populis nasionalis. 

Kasus Pilpres 2019 menjadi contohnya, dimana kelompok Islam konservatif pro terhadap pasangan calon 02, sementara kelompok populis nasionalis pro terhadap paslon 01. Bahkan, kedua kutub ini menciptakan polarisasi yang kuat dalam masyarakat, dan hampir saja berpotensi menyebabkan disintegrasi.

Padahal, jika ditilik ke belakang, kedua kelompok ini sebenarnya pernah berkoalisi untuk menumbangkan kelompok sayap kiri pada tahun 1965. Baik koalisi Islam maupun nasionalis awalnya kompak, sebelum akhirnya pecah karena perubahan tatanan politik nasional, hingga gerakan-gerakan Islam yang mencari jalan sendiri untuk tetap bertengger berkecimpung di ranah kekuasaan.

Menariknya, dalam perkembangan saat ini, kedua kelompok populis tersebut seringkali menggunakan praktik politik identitas. Misalnya, kelompok nasionalis yang menggunakan citra patriotisme yang sangat tinggi, dengan menumbuhkan kepentingan individu yang harus dikorbankan demi kepentingan bangsa. Dalam ciri lain, kelompok ini juga sangat ketat terhadap simbol-simbol negara, seperti Pancasila, dan NKRI.

Sementara di pihak lain, kelompok populis Islam selalu menyandarkan persoalan kepada kitab suci sebagai upaya pengorbanan kepada Tuhan, menggunakan doktrin Jihad, formalisasi syariah, hingga kepemimpinan Islam global (Khilafah).

Hal tersebut jelaslah merupakan bagian politik identitas sebagai sarana memperebutkan perebutan kekuasaan. Praktik ini sangat terlihat dalam kehidupan politik di Indonesia saat ini.

Sebagai contoh, dua gerakan populis Islam yang saat ini menguat adalah Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Keduanya di cap sebagai aktor dibalik kebangkitan populisme Islam di Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun