Di saat wabah seperti ini mengapa pemerintah tidak cetak uang sebanyak-banyaknya buat dibagi-bagi sekalian buat bayar utang negara.
Pertanyaan itu dilontarkan oleh istri saya, saat berbincang tentang pandemi Covid-19 yang tak hanya berdampak pada sektor kesehatan tapi juga ekonomi, termasuk dapur keluarga. Meskipun beberapa kali pernah mendengarkan pertanyaan yang sama, kali saya harus lebih hati-hati. Salah menjawab bisa berdampak sistemik, merembet ke persoalan-persoalan lain.
Sebenarnya saya tidak begitu paham masalah moneter, finansial apalagi keuangan negara. Menurut yang saya pahami, mencetak uang tidak bisa sembarangan, ada hitung-hitungannya. Nanti kalau terlalu banyak uang yang beredar, semua orang pegang uang banyak, uang malah tidak ada harganya. Alhamdulillah jawaban tersebut bisa dimengerti oleh istri saya.
Untuk meyakinkan diri sendiri kalau jawaban saya tidak melenceng, saya mencoba mencari referensi. Sebuah artikel di Kompas.com (5/5/2020) menyebutkan bahwa jika tak bisa dikendalikan, mencetak uang yang terlalu banyak bisa memicu inflasi yang tinggi yang pada akhirnya bisa merugikan masyarakat.
Uang yang beredar akan semakin banyak, membuat nilai uang terus-menerus berkurang yang membuat harga-harga barang melambung. Â Kondisi akan lebih parah jika negara tak berhenti mencetak uang, sementara permintaan maupun produksi barang/jasa berkurang, khususnya saat situasi krisis.
Hal itu sesuai dengan ajaran agama bahwa berlebihan dalam hal apapun jelas tidak baik. Salah satu contoh, saat pemerintah pada awal Maret mengumumkan ada dua Warga Negara Indonesia (WNI) yang positif mengidap virus corona, media massa mengabarkan adanya sejumlah toko obat dan alat kesehatan yang diserbu pembeli. Kepanikan dan ketakutan nampaknya melanda banyak orang.
Akibatnya harga masker melonjak drastis. Penyebabnya, banyak orang yang memborong masker untuk dipakai sendiri. Ada juga oknum yang memborong masker untuk ditimbun dengan harapan meraup keuntungan. Â Namanya aji mumpung, memanfaatkan situasi dan kondisi untuk kepentingan diri sendiri sewaktu ada peluang melakukah hal tersebut.
Mahalnya harga masker membuat banyak orang geram, meme-meme yang dibuat warganet pun beredar di media massa. Misalnya meme yang mirip judul sinetron hidayah: Semasa hidup suka menimbun masker, jenazah bersin sampai liang kubur atau Akibat jual masker harga selangit, pas mau dimandikan maskernya susah dilepas.
Nah, saat harga masker mulai normal dan tidak langka, di media sosial ada beberapa orang menjual masker dengan harga rugi. Bahkan diberitakan ada oknum penimbun masker yang merugi miliaran rupiah. Komentar warganet pun beragam, termasuk menginggatkan bahwa azab itu ada.
Saat mensikapi sesuatu, orang tua kita sering menasehati agar berpikir tenang dan cerdas sebelum bertindak, "Ojo grusa-grusu" atau jangan tergesa-gesa memutuskan sesuatu. Terutama di era medsos dimana berita simpang siur beredar tak kenal waktu. Dalam mensikapi sesuatu kita juga harus berpikir dan bersikap rasional, serta bertindak dengan cerdas. Begitu juga terkait pandemi Covid-19, banyak informasi dan hoax beredar yang jika tidak disikapi secara hati-hati bisa menimbulkan kepanikan. Karena itu, kita harus teliti dan mencari berita dan informasi dari sumber resmi dan terpercaya.
Sikap hati-hati (prudent) juga diterapkan Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam menjaga stabilitas sistem keuangan (SSK). Seperti pertanyaan istri saya tentang mencetak uang, ternyata beberapa media massa memberitaan bahwa legislator di DPR, pebisnis dan berbagai pihak berulang kali menyerukan agar Bank Indonesia (BI) melakukan cetak uang.  Dalam Bisnis.com (6/5/2020) Ketua Banggar DPR Said Abdullah  merekomendasikan kepada BI agar mencetak uang sekitar Rp 400 triliun -- Rp 600 triliun untuk mencukupi kebutuhan pembiayaan penanganan Covid-19 pemerintah dan LPS serta likuiditas perbankan.