Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)  mengambil peran menjadi aktor kunci dalam dinamika ekonomi nasional. Memasuki tahun 2025, sektor UMKM tidak hanya menjadi pahlawan dalam upaya bangkit dari keterpurukan pascapandemi COVID-19, tetapi juga berkembang menjadi pilar utama dalam membangun ekonomi yang lebih inklusif, tangguh, dan berbasis teknologi digital.Menurut data resmi Kementerian Koperasi dan UKM, hingga kuartal pertama tahun 2025, sektor UMKM menyumbang sekitar 62,3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, dan menyerap lebih dari 117 juta tenaga kerja, atau sekitar 97% dari total angkatan kerja nasional. Angka ini menunjukkan bahwa UMKM bukan sekadar penyokong ekonomi informal, melainkan tulang punggung ekonomi rakyat yang nyata. potensinya untuk mendorong pertumbuhan inklusif  kian terasa semakin vital di era digital. Namun, di balik peluang besar tersebut, tantangan seperti persaingan global, keterbatasan akses modal, dan adaptasi teknologi masih menghantui. Bagaimana UMKM dapat bertransformasi menjadi penggerak ekonomi rakyat yang tangguh di tahun 2025?
Gayung bersambut, hal ini tidak luput dari peran pemerintah  dalam mendukung pertumbuhan saha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan meluncurkan berbagai kebijakan strategis di tahun 2025 yang kian terasa. Dengan serangkaian kebijakan baru yang pro-UMKM, pemerintah menargetkan peningkatan kontribusi UMKM terhadap ekspor nasional dari 15% menjadi 20% pada akhir 2025, serta mendorong lebih banyak pelaku usaha mikro naik kelas menjadi kecil dan menengah.Langkah ini menjadi bukti bahwa sektor UMKM bukan hanya penyelamat ekonomi di masa krisis, tetapi juga penggerak utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang inklusif, berkelanjutan, dan berbasis potensi lokal. Pada 2025, perannya akan semakin krusial seiring dengan upaya pemerintah mendorong pemerataan pembangunan. Berbeda dengan korporasi besar yang rentan terhadap gejolak pasar global, UMKM memiliki ketahanan lebih tinggi karena operasinya yang fleksibel dan berbasis lokal. Misalnya, saat pandemi COVID-19 melanda, banyak UMKM yang mampu beradaptasi dengan beralih ke penjualan online, menunjukkan ketangguhannya sebagai economic shock absorber. Di tahun 2025, UMKM diharapkan tidak hanya menjadi pemain domestik, tetapi juga mampu menembus pasar global. Dengan dukungan kebijakan seperti e-commerce roadmap dan program KUR (Kredit Usaha Rakyat) yang diperluas, pelaku usaha kecil dapat meningkatkan skala produksi dan daya saing. Selain itu, tren konsumsi masyarakat yang semakin mengutamakan produk lokal dan berkelanjutan menjadi peluang emas bagi UMKM untuk berkembang.
Revolusi digital yang telah lama digaungkan diharapkan dapat merubah wajah bisnis UMKM. Terhubungnya UMKM dengan berbagai platform digital, e- commerce, pembayaran elektronik, maupun pemasaran berbasis social commerce. Capaian UMKM per hari ini disambut baik ditandai dengan mulai  masifnya pelaksanaan transformasi digital.  Batasan jangkauan pasar menjadi lebih luas dengan tidak hanya mengandalkan toko konvensional atau toko fisikm tetapi sudah memajang prodak di marketplace, media sosial, hingga mengikuti gaya layanan terbaru dengan pesan antar secara digital. Angin segar datang dari Bank Indonesia yang memberikan akses layanan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) kedalam bentuk QRIS tanpa pindai. Memungkinkan transaksi pembayaran cukup dengan mendekatkan perangkat, tanpa perlu kamera, yang mempercepat dan menyederhanakan proses transaksi digital. Ini menjadi jawaban atas keterbatasan SDM yang selama ini gaptek terhadap layanan digital. Menjadi titik dukung yang sangat bersinergi antara penjual, pembeli, dam pembuat kebijakan. Dicanangkan mampu menjadi perluru balik  untuk perkembangan ekonomi ditengah gempuran pihak asing dengan prodak -- prodak bawaanya.
Ekonomi global pada 2025 diprediksi masih diwarnai ketidakpastian, mulai dari resesi, konflik geopolitik, hingga fluktuasi harga komoditas. Bagi UMKM, hal ini berdampak pada kenaikan biaya produksi dan persaingan dengan produk luar negeri. Kemudian, Meski berbagai kemajuan telah dicapai, UMKM masih menghadapi sejumlah tantangan. Akses permodalan tetap menjadi persoalan utama. Tidak semua pelaku UMKM memenuhi syarat administratif perbankan, terutama mereka yang belum memiliki legalitas usaha. Selain itu, literasi keuangan dan digital yang rendah di beberapa daerah membuat proses adaptasi digital berjalan lambat. Kualitas dan konsistensi produk juga menjadi perhatian. Banyak UMKM belum mampu memenuhi standar kualitas dan kuantitas untuk masuk pasar ritel modern maupun ekspor. Dihadapkan dengan ancaman luaran lainya seperti kebanjiran prodak impor murah, hambatan pemenuhan standarisasi kualitas dan sertifikasi, bahkan memungkinkan ketergantuangan pada bahan baku impor.
Di tahun 2025, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia akan menjadi tulang punggung perekonomian, namun jalan mereka tidaklah mulus.Untuk menghadapinya, kolaborasi antara UMKM, pemerintah, dan BUMN menjadi kunci.Memperkuat rantai pasok lokal untuk mengurangi ketergantuangan impor dan bahan baku, proteksi dan insentif fiskal bagi UMKM, seperti tax holiday dan kemudahan ekspor, sertifikasi halal, hak kekayaan intelektual (HKI), dan standar internasional (seperti SNI dan ISO) harus didorong agar produk UMKM bisa diterima di pasar global. Contoh sukses seperti UMKM batik dan kopi Indonesia yang telah go internasional harus menjadi inspirasi. Peran inkubator bisnis, koperasi modern, dan kolaborasi dengan pelaku industri besar menjadi kunci untuk mendorong UMKM naik kelas.agar potensi tersebut terus berkembang, dibutuhkan komitmen jangka panjang, kolaborasi lintas sektor, dan keberpihakan nyata terhadap ekonomi kerakyatan. Dengan begitu, UMKM tidak hanya menjadi penyokong sementara, tetapi fondasi permanen bagi ekonomi Indonesia yang berdaulat, adil, dan berkelanjutan. Dengan strategi yang tepat, UMKM tidak hanya akan bertahan, tetapi juga menjadi penggerak utama ekonomi Indonesia di tengah ketidakpastian global. Mereka yang beradaptasi, akan menang.
UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) sering disebut sebagai tulang punggung ekonomi Indonesia, namun dalam perspektif ekonomi politik, sektor ini menghadapi tantangan struktural yang bersifat sistemik. Dominasi korporasi besar, kebijakan yang timpang, serta relasi kuasa antara aktor ekonomi dan politik menciptakan lingkungan yang tidak setara bagi UMKM. Indonesia terjebak dalam sistem ekonomi neoliberal yang mengutamakan perdagangan bebas, sehingga UMKM sulit bersaing tanpa proteksi. Negara-negara maju seperti China dan Amerika Serikat memberikan subsidi besar-besaran pada industri kecil mereka, sementara Indonesia tidak. UMKM sering diromantisasi sebagai "pahlawan ekonomi", padahal banyak yang hidup di sektor informal tanpa jaminan sosial.Pemerintah lebih fokus pada pertumbuhan ekonomi makro (PDB), sehingga mengabaikan ketimpangan produktivitas UMKM vs. korporasi.
Terakhir dari sudut pandang ekonomi politik, masalah UMKM bukan sekadar soal keterampilan atau modal, melainkan ketimpangan sistemik dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Selama kebijakan ekonomi masih didikte oleh kepentingan oligarki dan korporasi global, UMKM akan tetap terjebak dalam posisi subordinat.Perubahan hanya mungkin terjadi jika ada redistribusi kekuasaan ekonomi---baik melalui kebijakan protektif, pembangunan industri berbasis rakyat, atau gerakan kolektif UMKM untuk menuntut haknya. Tanpa itu, UMKM 2025 akan tetap menjadi "motor ekonomi" yang terus dikorbankan dalam permainan ekonomi politik global.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI