Angin laut berembus lembut, mengibarkan rambut Tania yang terurai bebas. Ia berdiri di atas dek kapal kecil yang melaju tenang di perairan Raja Ampat, Papua Barat. Gugusan pulau-pulau kecil dengan bukit karst yang menghijau terlihat di kejauhan. Air laut jernih bak kaca, memantulkan langit biru yang tanpa awan. Di bawahnya, terumbu karang berwarna-warni terlihat seperti permadani hidup, diiringi ikan-ikan kecil yang berenang riang.
"Luar biasa, ya, Tan, Seperti surga di bumi," ucap Aditya, sahabat sekaligus rekan fotografinya, yang sibuk membidikkan kamera ke segala arah. Tania mengangguk, matanya tak lepas dari keindahan alam di hadapannya. "Ini lebih dari sekadar luar biasa, Dit. Rasanya seperti mendengar alam berbicara."
Kunjungan ke Raja Ampat ini adalah puncak perjalanan mereka berdua, yang telah mengelilingi berbagai tempat di Indonesia dalam dua bulan terakhir. Sebagai jurnalis lingkungan, Tania dan Aditya telah menelusuri keindahan alam Nusantara untuk proyek dokumentasi yang bertujuan meningkatkan kesadaran akan pentingnya pelestarian alam. Perjalanan mereka dimulai dari Pulau Sumatra, tepatnya di Taman Nasional Kerinci Seblat. Di sana, mereka mendaki Gunung Kerinci, menikmati hamparan kebun teh yang terhampar hijau, dan mendengar kicauan burung langka seperti burung enggang. Tania masih ingat bagaimana mereka menemukan jejak harimau sumatra di jalur pendakian. Jejak itu membuatnya sadar betapa pentingnya melindungi habitat satwa liar yang semakin terancam. "Harimau ini mungkin tidak tahu kalau kita ada di sini," kata Tania saat itu, setengah bergumam. "Tapi mereka bergantung pada hutan ini. Dan kita bertanggung jawab untuk memastikan tempat ini tetap ada."
Dari Sumatra, mereka terbang ke Kalimantan, menjelajahi sungai-sungai besar yang menjadi nadi kehidupan masyarakat Dayak. Di atas perahu kecil, mereka menyusuri Sungai Kapuas, dikelilingi hutan hujan tropis yang memancarkan aroma tanah basah dan dedaunan segar. "Lihat itu!" seru Aditya, menunjuk seekor orangutan yang bergelantungan di antara pohon-pohon tinggi. Tania segera mengarahkan kameranya, mengabadikan momen itu. Dalam hatinya, ia teringat betapa banyak hutan yang telah hilang akibat penebangan liar dan pembukaan lahan untuk perkebunan.Â
Kini, di Raja Ampat, Tania merasakan bahwa keindahan Indonesia memang tak tertandingi. Tetapi di balik itu, ia juga menyadari bahwa keindahan ini bukan untuk dinikmati saja; ia harus dijaga. Sore itu, mereka berlabuh di sebuah pulau kecil. Tania dan Aditya bergabung dengan penduduk lokal untuk menanam bibit bakau di pesisir pantai. Seorang lelaki tua bernama Pak Dominggus, yang memimpin kegiatan itu, bercerita tentang pentingnya mangrove bagi kelangsungan ekosistem. "Bakau ini bukan cuma untuk mencegah abrasi, Nak," katanya sambil menusukkan batang bibit ke dalam lumpur. "Dia juga tempat tinggal ikan-ikan kecil. Kalau bakau hilang, laut kita ikut mati." Kata-kata itu menghujam hati Tania. Ia memandang hamparan laut biru di hadapannya, membayangkan kehidupan yang tersembunyi di dalamnya.
Malam itu, di bawah langit penuh bintang, Tania duduk di tepi pantai sambil mencatat pengalamannya di jurnal. "Dit, kamu pernah merasa bahwa kita ini hanya tamu di rumah alam?" tanyanya tiba-tiba. Aditya yang duduk di sebelahnya menoleh. "Maksudmu?" "Kita sering merasa punya hak atas semua ini. Hutan, laut, gunung... seolah semuanya milik kita. Padahal, kita hanya diberi kesempatan untuk menjaga dan menikmatinya, bukan merusaknya." Aditya mengangguk pelan. "Kamu benar. Tapi aku rasa, kalau orang-orang melihat keindahan ini seperti yang kita lihat, mereka akan lebih peduli."Â
"Dan itulah tugas kita," Tania menutup jurnalnya, senyumnya penuh keyakinan. "Menceritakan keindahan ini pada dunia, agar semua orang tahu apa yang harus dilindungi."Â
Pagi terakhir di Raja Ampat, mereka menyelam di perairan Wayag. Tania merasakan ketenangan luar biasa saat menyaksikan sekumpulan ikan pari manta melayang anggun di antara terumbu karang. Di sana, di bawah permukaan laut yang tenang, ia merasa seperti bagian dari alam itu sendiri harmonis, tak terpisahkan. Ketika mereka kembali ke kapal, Tania memandang gugusan pulau untuk terakhir kalinya. Dalam hatinya, ia berjanji akan terus memperjuangkan keindahan alam Indonesia, tak peduli seberapa sulit perjalanannya. Karena bagi Tania, keindahan ini bukan hanya warisan, tetapi juga amanah untuk masa depan.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI