Mohon tunggu...
Septian Bayu Kristanto
Septian Bayu Kristanto Mohon Tunggu... Educator

Saya bukan ahli, hanya ingin berbagi. Bukan pula ilmuwan, hanya seorang relawan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Akreditasi Unggul, Mahasiswa Tak Bertambah: Ironi di balik slogan Kampus Berdampak

13 Agustus 2025   09:45 Diperbarui: 13 Agustus 2025   09:45 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: AI ChatGPT (2025)

"Kampus Berdampak" menjadi salah satu slogan strategis Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Diktiristek) dalam beberapa tahun terakhir. Dalam berbagai kesempatan, Dikti mendorong perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, untuk memiliki akreditasi unggul sebagai bukti keunggulan mutu dan kapasitas institusional. Namun di lapangan, ironi justru terjadi: banyak Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang telah memperoleh akreditasi unggul, namun jumlah mahasiswa barunya stagnan, bahkan menurun.

Akreditasi Unggul: Harapan Tinggi, Realita Rendah
Secara normatif, akreditasi unggul menjadi tolok ukur utama dalam pemeringkatan mutu kampus. Ia menjadi prasyarat dalam mendapatkan hibah pemerintah, membuka prodi baru, hingga syarat administratif kerja sama luar negeri. Tidak sedikit PTS mengalokasikan sumber daya besar demi memenuhi borang dan indikator akreditasi unggul dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 bahkan menetapkan standar pendidikan tinggi berbasis akreditasi dan outcome learning. Semangatnya jelas: mendorong kampus lebih unggul dan berdampak. Sayangnya, capaian unggul secara administratif belum tentu berdampak signifikan dalam meningkatkan kepercayaan publik dan minat calon mahasiswa.

Data Tak Bisa Bohong: Akreditasi Tak Selalu Mengundang Mahasiswa
Sebuah studi kasus dari Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah III (LLDIKTI III) menunjukkan, sejumlah PTS di Jakarta yang berakreditasi unggul justru mengalami penurunan jumlah pendaftar dalam tiga tahun terakhir. Fenomena serupa juga terjadi di wilayah LLDIKTI IV (Jawa Barat dan Banten) dan LLDIKTI VII (Jawa Timur). Misalnya, salah satu kampus swasta ternama di Jakarta Barat mencatat penurunan mahasiswa baru sebesar 15% pada 2023 dibandingkan tahun sebelumnya, meski baru saja mendapatkan akreditasi institusi unggul. Ini membuktikan bahwa akreditasi bukanlah jaminan naiknya minat mahasiswa. Menurut data Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (https://pddikti.kemdiktisaintek.go.id), banyak PTS dengan akreditasi B bahkan mampu menarik lebih banyak mahasiswa dibanding kampus unggul. Ada faktor-faktor lain yang lebih menentukan: biaya, lokasi, branding, hingga prospek kerja lulusan.

Akreditasi: Dari Kewajiban Administratif ke Komodifikasi Mutu
Masalah utamanya, akreditasi masih lebih dipahami sebagai compliance process daripada value creation. Kampus berlomba memenuhi borang, mempercantik laporan, dan mendokumentasikan proses agar terakreditasi unggul. Sayangnya, transformasi ini sering berhenti pada dokumen, bukan pada pengalaman belajar mahasiswa atau penguatan koneksi kampus dengan masyarakat. Alih-alih memperkuat daya tarik kampus ke publik, akreditasi justru menjadi beban administratif yang membentuk semacam "ilusi mutu", tampak unggul di atas kertas, tapi belum tentu berdaya tarik di mata masyarakat. Lebih lanjut, masyarakat tidak memilih kampus hanya karena status akreditasinya. Menurut riset Kusumawati (2020) (https://www.ojed.org/index.php/jis/article/view/2712), pemilihan perguruan tinggi lebih dipengaruhi oleh reputasi publik, prospek kerja lulusan, kualitas dosen, dan relasi sosial. Akreditasi unggul belum tentu dikenal atau dipahami masyarakat luas, terutama di daerah.

Slogan "Kampus Berdampak" Harus Dikaji Ulang
Di tengah realitas ini, slogan "Kampus Berdampak" perlu dikritisi. Apa yang dimaksud dengan "dampak" dalam konteks ini? Apakah hanya unggul dalam dokumen, atau memang benar-benar menghadirkan perubahan bagi masyarakat? Jika indikator "dampak" hanya diukur dari capaian administratif, maka kampus bisa saja "unggul" tanpa "berdaya tarik". Slogan ini berisiko menjadi jargon kosong jika tidak disertai metrik yang jelas, berbasis keterlibatan sosial, ekonomi, dan budaya kampus dalam lingkungannya. Sementara itu, banyak PTS kecil yang justru lebih berdampak secara sosial, melalui pengabdian masyarakat, pemberdayaan ekonomi lokal, dan advokasi public, meski akreditasinya belum unggul. Sayangnya, peran semacam ini belum masuk radar utama sistem akreditasi nasional.

Rekomendasi: Akreditasi Harus Melampaui Dokumen
Untuk menjawab ironi antara status akreditasi dan kenyataan di lapangan, sistem akreditasi nasional perlu dievaluasi ulang secara menyeluruh. Penilaian mutu perguruan tinggi seharusnya tidak hanya terfokus pada aspek administratif dan tata kelola internal, tetapi juga mempertimbangkan sejauh mana kampus mampu memberikan dampak nyata kepada masyarakat. Artinya, indikator "unggul" harus diperluas dengan memasukkan dimensi keterlibatan sosial, kontribusi terhadap pembangunan lokal, serta partisipasi aktif dalam memecahkan persoalan publik seperti kemiskinan, pendidikan, lingkungan, dan pemberdayaan ekonomi.
Selain itu, pemerintah dan pemangku kebijakan perlu mendorong pengembangan metrik berbasis social impact yang dapat diukur secara sistematis dan adil. Kampus yang secara aktif berkontribusi pada pengembangan masyarakat seharusnya mendapat pengakuan dan insentif, misalnya dalam bentuk akses terhadap program hibah pengabdian, kerja sama lintas sektor, atau afirmasi pendanaan. Di sisi lain, kampus, khususnya Perguruan Tinggi Swasta, juga harus berupaya membangun reputasi dan kepercayaan masyarakat melalui pendekatan berbasis cerita dampak (impact storytelling), bukan hanya mengandalkan status akreditasi. Dengan perubahan pendekatan ini, diharapkan makna "kampus berdampak" tidak hanya menjadi slogan, melainkan benar-benar menjadi wajah baru pendidikan tinggi yang dekat dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Penutup
Mengharapkan kampus berdampak hanya lewat akreditasi unggul adalah strategi yang timpang. Dampak sejati bukan terletak pada status, tapi pada kontribusi nyata bagi masyarakat. Bila kampus ingin tetap relevan dan diminati, ia harus menjawab kebutuhan zaman, bukan sekadar memenuhi borang. Tanpa itu semua, akreditasi unggul akan tetap menjadi pencapaian yang sunyi: prestisius di atas kertas, tapi sepi peminat di dunia nyata.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun