Mohon tunggu...
septiana dewi rahmadani
septiana dewi rahmadani Mohon Tunggu... Mahasiswa

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Budaya Flexing dan Hedonisme di Kalangan Gen Z: Ancaman bagi Pendidikan Karakter

6 Oktober 2025   05:40 Diperbarui: 6 Oktober 2025   05:38 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Budaya Flexing dan Hedonisme di Kalangan Gen Z: Ancaman bagi Pendidikan Karakter

Sekarang ini, dunia anak muda memang sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi dan media sosial. Kalau kita lihat, ada satu hal yang cukup mencolok di kalangan Gen Z, yaitu budaya "flexing" dan "hedonisme". Kedua hal ini jadi semacam tren di kalangan remaja yang tak hanya memengaruhi cara mereka hidup, tapi juga nilai-nilai yang seharusnya mereka pelajari dalam pendidikan karakter. "Flexing---yang biasa terlihat di media sosial seperti Instagram atau TikTok---adalah kebiasaan memamerkan harta atau gaya hidup mewah. Sementara "hedonisme" lebih fokus pada pencarian kesenangan pribadi tanpa banyak memikirkan dampaknya.

Sebenarnya, kebiasaan flexing ini udah sangat umum di kalangan Gen Z. Mereka merasa perlu menunjukkan hidup mereka yang sempurna---dengan barang-barang branded, liburan ke tempat mewah, atau gaya hidup yang serba instan. Dari data Pew Research Center (2022), sekitar 95% remaja di Amerika Serikat menggunakan media sosial, dan lebih dari setengahnya merasa tertekan untuk terus memperlihatkan gaya hidup yang ideal dan sempurna. Di Indonesia, hal yang serupa juga terjadi, di mana media sosial seakan jadi tempat untuk pamer dan berlomba-lomba mencari pengakuan.

Nah, budaya seperti ini, ditambah dengan kecenderungan "hedonisme", bisa jadi masalah dalam dunia pendidikan. Sebab, saat Gen Z lebih tertarik untuk mencari kesenangan secepat mungkin, sering kali mereka lupa untuk belajar dengan tekun atau mengembangkan diri dengan cara yang benar. Alih-alih fokus pada hal-hal yang berbobot, seperti meningkatkan kemampuan atau memperbaiki karakter, mereka malah sibuk mengejar kepuasan sesaat. Ini yang bikin pendidikan karakter jadi terabaikan, padahal karakter itu penting banget buat membentuk kepribadian mereka ke depan.

Namun, di balik tren ini, ada "dampak positif" yang juga perlu dicatat. Salah satu dampak positif dari budaya flexing adalah bahwa itu bisa memotivasi sebagian orang untuk bekerja lebih keras demi mencapai gaya hidup yang mereka impikan. Ketika seseorang melihat orang lain memamerkan pencapaian atau gaya hidup mereka, mungkin mereka merasa terinspirasi untuk lebih fokus pada tujuan hidup mereka, misalnya dalam hal karir atau bisnis. Selain itu, budaya flexing juga bisa menjadi cara bagi beberapa orang untuk mengekspresikan diri dan merasa dihargai. Misalnya, seorang influencer atau content creator mungkin mendapat pengakuan karena kemampuan atau pencapaian tertentu yang mereka tampilkan di media sosial, dan ini bisa membuka peluang karir baru atau memberikan semangat untuk berkarya lebih banyak.

Namun, dampak negatif dari budaya flexing dan hedonisme jauh lebih besar, terutama dalam konteks pendidikan karakter. Ketika Gen Z terlalu fokus pada pameran materi dan pencapaian yang instan, mereka menjadi terjebak dalam pola pikir materialistik. Akibatnya, nilai-nilai seperti kejujuran, kerja keras, dan integritas jadi kurang dihargai. Siswa yang lebih terobsesi dengan pencapaian materi cenderung mengabaikan proses belajar yang sebenarnya lebih penting, dan ini berisiko mengurangi kemampuan mereka dalam berpikir kritis serta menumbuhkan karakter yang baik. Selain itu, tekanan untuk selalu tampil sempurna di media sosial juga bisa memicu stres dan kecemasan, yang berdampak buruk pada kesehatan mental remaja.

"Hedonisme" juga membawa dampak negatif yang tidak kalah besar. Keinginan untuk mencari kesenangan instan sering kali mengarah pada perilaku konsumtif dan kurangnya ketahanan mental. Gen Z, yang lebih sering terpapar pada kebiasaan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan secepat mungkin, mungkin akan mengalami kesulitan dalam menghadapi tantangan hidup yang memerlukan waktu dan usaha. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menghambat perkembangan kemampuan mereka untuk menghadapi kesulitan, mengelola waktu, dan mengatur prioritas. Alih-alih belajar untuk menjadi pribadi yang tangguh, mereka malah terjebak dalam pola hidup yang serba cepat dan instan.

Untuk menghadapi tantangan ini, sebenarnya ada banyak cara yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah dengan mengajarkan pada anak-anak atau siswa tentang pentingnya "mindfulness"---atau kesadaran diri---dalam menjalani hidup. Konsep ini mengajak mereka untuk lebih menghargai proses dan tidak terlalu terburu-buru mencari hasil yang instan. Dengan begitu, mereka bisa belajar mengendalikan keinginan mereka, serta memahami bahwa kebahagiaan sejati nggak hanya datang dari materi atau status sosial.

Selain itu, orang tua dan guru juga punya peran penting dalam membantu mereka membentuk karakter yang baik. Dalam hal ini, media sosial bisa dimanfaatkan sebagai alat untuk mengedukasi, bukan hanya untuk pamer. Jadi, alih-alih membiarkan remaja terjebak dalam pencarian status sosial, kita bisa menggunakan platform tersebut untuk menyebarkan pesan-pesan positif yang bisa membangun karakter mereka.

Pada akhirnya, kita semua---baik sekolah, orang tua, maupun masyarakat---harus bekerja sama untuk membentuk generasi muda yang tidak hanya pintar secara akademik, tetapi juga kuat secara karakter. Dunia memang berubah dengan cepat, tapi nilai-nilai seperti kerja keras, empati, dan tanggung jawab sosial tetap harus diajarkan. Jadi, meski zaman terus berubah, kita tetap bisa menjaga pendidikan karakter tetap relevan dan kuat di tengah-tengah pengaruh budaya yang berkembang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun