Mohon tunggu...
Septi RA Hayuu
Septi RA Hayuu Mohon Tunggu... Guru - Pendatang Baru

Hai, orang-orang yang beriman! Yang tidak beriman, tidak hai! :D

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Abahui

24 Januari 2020   18:52 Diperbarui: 24 Januari 2020   18:53 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Udara pada pagi menjelang siang ini masih segar, belum memberi banyak beban pada kami. Tak seperti saat siang hari, kala udara sudah kotor oleh kendaraan bermesin yang membuat kami semakin kewalahan. Dan mungkin keadaan akan diperparah sebentar lagi saat mulai terdengar derap manusia yang tampak membawa gergaji bermesin.

Salah seorang calon penebang mendekat dan berhenti di hadapan saya. Dipandangnya tubuh saya, hingga saya harus menahan napas. Dia sedang menilai, apakah saya sudah layak tebang atau belum. Juga memastikan kalau saya tidak mengalami cacat fisik yang berarti.

Saya ketar-ketir.

Apalagi saat tahu mereka tak kunjung memungkasi kecemasan saya dan para kawan saya. Karena meski bergerak, mereka hanya berpindah tempat. Berjalan dari pohon ke pohon, entah sampai kapan. Dan saya tidak tahu, hari ini mereka akan menumbangkan siapa.

Saya lirik Albasia berusia 4 tahun di seberang. Dari jarak yang cukup jauh dari tempat saya berdiri, ia nampak berusaha tetap tenang. Akan tetapi, bahasa tubuhnya tak bisa berbohong. Akar di bawah terasa menguat, memperkuat tegak dirinya. Ia terlalu khawatir kalau sebentar lagi salah satu saudaranya yang akan ambruk. Tepat dua minggu selepas leluhurnya tiada.

"Ini saja yang ditebang. Yang sudah besar dan mumpung belum dimakan terap." Dan benar, yang dimaksud adalah salah satu anggota keluarga Albasia.

Selang beberapa detik, salah seorang dari ketiga manusia itu memanjat tubuh pohon sudah berumur, yang menjadi sumber kesepakatan sebelumnya.

Meski membawa sebilah golok, orang tersebut dengan cekatan sudah sampai tujuan. Tanpa membuang banyak waktu, si Manusia Bergolok dengan ahlinya memotong satu per satu jari ayah Albasia yang berdaun.

Dan sekarang, seutas tali telah dijeratkan ke leher pohon itu.

Seseorang sudah menghidupkan mesin gergaji, lalu memanaskannya sebentar. Saya, Albasia, Beringin, serta para pohon lain menyaksikannya sambil menahan napas, saat deru mesin semakin terdengar keras dan penebang sudah bersiap pada posisinya. Dapat saya lihat, serat-serat tubuh ayah Albasia mulai berhamburan karena terkoyak gergaji mesin bersuara amat lantang itu.

Saya tidak bisa memprediksi ada berapa pertunjukan serupa pada tempo yang sama. Juga dalam waktu sedetik, semenit, sejam, sehari, seminggu, sebulan, setahun, sewindu, atau seabad kemudian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun