Mohon tunggu...
septa riansyah
septa riansyah Mohon Tunggu... Insiyur/Couching/Analis

Professional dengan beragam pengalaman organisasi, keterampilan, dan pekerjaan. Humble, Adaptable, Tekun, Manajerial, Auditor dan Analis, Fokus Target Achievement, Learner, dan Inisiator.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Summary Pemberdayaan Masyarakat 1

26 September 2025   18:00 Diperbarui: 28 September 2025   17:10 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memfasilitasi Validasi dan Entry Pemutakhiran Data SDGS Desa Rebo Kec. Sungailiat Kab. Bangka Prov. Bangka Belitung

Pembangunan selama ini dilakukan dengan menempatkan masyarakat sebagai obyek pembangunan yang menerima semua program dari pemerintah. Paradigma lama (pembangunan) yang lebih berorientasi pada negara dan modal berubah menjadi paradigma baru (pemberdayaan) lebih terfokus pada masyarakat dan institusi lokal yang dibangun secara partisipatif. Modal dalam paradigma pembangunan lama harus dipupuk terus meski harus ditopang dengan pengelolaan politik secara otoritarian dan sentralistik, sebaliknya pemberdayaan adalah pembangunan yang dibuat secara demokratis, desentralistik dan partisipatoris. Masyarakat menempati posisi utama yang memulai, mengelola dan menikmati pembangunan. Negara adalah fasilitator dan membuka ruang yang kondusif bagi tumbuhnya prakarsa, partisipasi dan institusi lokal. Dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa telah memberi ruang untuk dipraktikan pada paradigma baru dalam pembangunan desa di Indonesia. Untuk mewujudkannya diperlukan upaya agar desa mempunyai kemampuan sendiri dalam membangun desanya. Paradigma pembangunan yang dilakukan sendiri oleh Desa dikenal dengan istilah “Desa Membangun”. Paradigma Desa Membangun sudah dipraktikan oleh desa yang mempunyai agent of change (AC) terutama pada struktur pemerintah desa. Hal ini karena AC dapat langsung memberikan masukan ataupun arahan bagi pembangunan desanya. Berkaca dari hal tersebut diperlukan stakeholder lain yang dapat juga berfungsi sebagai AC. Oleh karena itu diperlukan upaya pengembangan masyarakat untuk memunculkan keberdayaan desa dalam usaha peningkatan kualitas hidup dan ekonomi masyarakatnya. Upaya pemberdayaan masyarakat yang dilakukan tidak hanya bertumpu pada pemerintah tetapi juga stakeholder lain seperti Non Government Organization (NGO), Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa dan masyarakat desa sendiri.

Pemberdayaan tidak mempunyai pengertian model tunggal. Pemberdayaan dipahami sangat berbeda menurut cara pandang orang maupun konteks kelembagaan, politik, dan sosialbudayanya. Ada yang memahami pemberdayaan sebagai proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan. Ada pihak lain yang menegaskan bahwa pemberdayaan adalah proses memfasilitasi warga
masyarakat secara bersama-sama pada sebuah kepentingan bersama atau urusan yang secara kolektif dapat mengidentifikasi sasaran, mengumpulkan sumber daya, mengerahkan suatu kampanye aksi dan oleh karena itu membantu menyusun kembali kekuatan dalam komunitas.

Jadi, pemberdayaan masyarakat desa dapat dipahami dengan beberapa cara pandang. 

Pertama,
pemberdayaan dimaknai dalam konteks menempatkan posisi berdiri masyarakat. Posisi masyarakat bukanlah obyek penerima manfaat (beneficiaries) yang tergantung pada pemberian dari pihak luar seperti pemerintah, melainkan dalam posisi sebagai subyek (agen atau partisipan yang bertindak) yang berbuat secara mandiri. Berbuat secara mandiri bukan berarti lepas dari tanggungjawab negara. Pemberian layanan publik (kesehatan, pendidikan, perumahan, transportasi dan seterusnya) kepada masyarakat tentu merupakan tugas (kewajiban) negara secara given. Masyarakat yang mandiri sebagai partisipan berarti terbukanya ruang dan kapasitas mengembangkan potensi-kreasi, mengontrol lingkungan dan sumberdayanya sendiri, menyelesaikan masalah secara mandiri, dan ikut menentukan proses politik di ranah negara. Masyarakat ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan dan pemerintahan.


Kedua,

titik pijak pemberdayaan adalah kekuasaan (power), sebagai jawaban atas ketidakberdayaan (powerless) masyarakat. Ilmu sosial tradisional menekankan bahwa kekuasaan berkaitan dengan pengaruh dan kontrol. Pengertian ini berasumsi bahwa kekuasaan sebagai suatu yang tidak berubah atau tidak dapat diubah. Kekuasaan sesungguhnya tidak terbatas pada pengertian diatas. Kekuasan tidak vakum dan terisolasi, kekuasaan senantiasa hadir dalam konteks relasi antar manusia. Kekuasaan tercipta dalam relasi sosial. Karena itu kekuasaan dan hubungan kekuasaan dapat berubah.

Ketiga,
pemberdayaan terbentang dari proses sampai visi ideal. Dari sisi proses, masyarakat sebagai subyek melakukan tindakan atau gerakan secara kolektif mengembangkan potensi-kreasi, memperkuat posisi tawar, dan meraih kedaulatan. Dari sisi visi ideal, proses tersebut hendak mencapai suatu kondisi dimana masyarakat mempunyai kemampuan dan kemandirian melakukan voice, akses dan kontrol terhadap lingkungan, komunitas, sumberdaya dan relasi sosial-politik dengan negara. Proses untuk mencapai visi ideal tersebut harus tumbuh dari bawah dan dari dalam masyarakat sendiri. Namun, masalahnya, dalam kondisi struktural yang timpang masyarakat sulit sekali membangun kekuatan dari dalam dan dari bawah, sehingga membutuhkan “intervensi” dari luar.
Hadirnya pihak luar (pemerintah, NGOs, organisasi masyarakat sipil, organisasi agama, perguruan tinggi, dan lain-lain) ke komunitas bukanlah mendikte, menggurui, atau menentukan, melainkan bertindak sebagai fasilitator (katalisator) yang memudahkan, menggerakkan, mengorganisir, menghubungkan, memberi ruang, mendorong, membangkitkan dan seterusnya. Hubungan antara komunitas dengan pihak luar itu bersifat setara, saling percaya, saling menghormati, terbuka, serta saling belajar untuk tumbuh berkembang secara bersama-sama.

Keempat,
pemberdayaan terbentang dari level psikologis-personal (anggota masyarakat) sampai ke level struktural masyarakat secara kolektif. Sasaran pemberdayaan adalah masyarakat, yang didalamnya mewadahi warga secara individual maupun komunitas secara kolektif. Pemberdayaan adalah upaya membangkitkan kekuatan dan potensi masyarakat yang bertumpu pada komunitas lokal melalui pendekatan partisipatif dan belajar bersama. Dari sisi strategi, pendekatan dan proses, pemberdayaan merupakan gerakan dan pendekatan berbasis masyarakat lokal maupun bertumpu pada kapasitas lokal, yang notabene bisa dimasukkan ke dalam kerangka pembaharuan menuju kemandirian masyarakat.

Pemberdayaan memang sebuah proses. Akan tetapi dari proses tersebut dapat dilihat dengan indikator-indikator yang menyertai proses pemberdayaan menuju sebuah keberhasilan. Untuk mengetahui pencapaian tujuan pemberdayaan secara operasional, maka perlu diketahui berbagai indikator keberdayaan yang dapat menunjukkan seseorang atau komunitas berdaya atau tidak.
Dengan cara ini kita dapat melihat ketika sebuah program pemberdayaan sosial diberikan, segenap upaya dapat dikonsentrasikan pada aspek-aspek apa saja dari sasaran perubahan (misalnya keluarga miskin) yang perlu dioptimalkan. Keberhasilan pemberdayan masyarakat dapat dilihat dari keberdayaan meraka yang menyangkut kemampuan ekonomi, kemampuan akses kesejahteraan, dan kemampuan kultur serta politis. Ketiga aspek tersebut dikaitkan dengan empat dimensi kekuasaan, yaitu: ‘kekuasaan di dalam’
(power within), ‘kekuasaan untuk’ (power to), ‘kekuasaan atas’ (power over) dan ‘kekuasaan dengan (power with). Dari beberapa dasar tersebut, berikut ini sejumlah indikator yang dapat dikaitkan dengan keberhasilan dari pemberdayaan:

  • Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk pergi ke luar rumah atau wilayah tempat tinggalnya, seperti ke pasar, fasilitas medis, bioskop, rumah ibadah, ke rumah tangga. Tingkat mobilitas ini dianggap tinggi jika individu mampu pergi sendirian.
  • Kemampuan membeli komoditas kecil: kemampuan individu untuk membeli barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari (beras, minyak goreng, bumbu); kebutuhan dirinya (minyak rambut, shampo, rokok, bedak). Individu dianggap mampu melakukan kegiatan ini terutama jika ia dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin orang lain termasuk pasangannya, terlebih jika ia dapat membeli barang-barang dengan menggunakan uangnya sendiri.
  • Kemampuan membeli komoditas besar: kemampuan individu untuk membeli barang-barang sekunder atau tersier, seperti lemari pakaian, TV, radio, koran, majalah, pakaian keluarga. Seperti halnya indikator diatas, point tinggi diberikan terhadap individu yang dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin dari orang lain, terlebih jika ia dapat membeli dengan uangnya sendiri.
  • Terlibat dalam membuat keputusan-keputusan rumah tangga: mampu membuat keputusan secara sendiri maupun bersama (suami/istri) mengenai keputusan keluarga, misalnya mengenai renovasi rumah, pembelian kambing untuk ternak, memperoleh kredit usaha.
  • Kebebasan relatif dari dominasi keluarga: responden ditanya mengenai apakah dalam satu tahun terakhir ada seseorang (suami, istri, anak, mertua) yang mengambil uang, tanah, perhiasan dari dia tanpa ijinnya, yang melarang mempunyai anak, atau melarang bekerja di luar rumah.
  • Kesadaran hukum dan politik: mengetahui nama salah seorang pegawai pemerintah desa/kelurahan, seorang anggota DPRD setempat, nama presiden, mengetahui pentingnya memiliki surat nikah dan hukum-hukum waris.
  • Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes seseorang dianggap ‘berdaya’ jika ia pernah terlibat dalam kampanye atau bersama orang lain melakukan protes, misalnya terhadap suami yang memukul isteri; isteri yang mengabaikan suami dan keluarganya; gaji yang tidak adil; penyalahgunaan bantuan sosial; atau penyalahgunaan kekuasaan polisi dan pegawai pemerintah.
  • Jaminan ekonomi dan kotribusi terhadap keluarga: memiliki rumah, tanah, aset produktif, tabungan. Seseorang dianggap memiliki poin tinggi jika ia memiliki aspek-aspek tersebut secara sendiri atau terpisah dari pasangannya (Edi Suharto, 2005).

Dalam upaya agar masyarakat berdaya maka memerlukan intervensi. Ada beberapa tahapan intervensi yang direncanakan agar tercapai keberhasilan pemberdayaan tersebut. Tahapan yang dilakukan lebih dekat sebagai upaya pengembangan masyarakat. Pengembangan masyarakat yang dilakukan diharapkan berujung pada terrealisasinya proses pemberdayaan masyarakat (Zubaedi, 2007). Menurut (Adi, 2013) tahapan dalam proses pengembangan masyarakat, yaitu:

  • Tahap persiapan (engagement)

Tahap persiapan dalam kegiatan pengembangan masyarakat terdiri dua hal, yaitu persiapan petugas dan persiapan lapangan. Persiapan petugas diperlukan untuk menyamakan persepsi antar anggota tim sebagai pelaku perubahan mengenai pendekatan apa yang akan dipilih dalam melakukan pengembangan masyarakat. Sedangkan persiapan lapangan dilakukan melalui studi kelayakan terhadap daerah yang akan dijadikan sasaran, baik dilakukan secara formal maupun informal. Bila sudah ditemukan daerah yang ingin dikembangkan, petugas harus mencoba menerobos jalur formal untuk mendapat perizinan dari pihak terkait. Di samping itu, petugas juga harus menjalin kontak dengan tokoh-tokoh informal agar hubungan dengan masyarakat dapat terjalin dengan baik.

  • Tahap pengkajian (assessment)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun