Mohon tunggu...
Seneng Utami
Seneng Utami Mohon Tunggu... lainnya -

an ordinary woman

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengenal Anak Hong Kong

11 April 2015   18:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:15 1119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_409394" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi warga Hongkong (KOMPAS.com/iskandarjet)"][/caption]

Namanya Ginny (4 tahun), dan  Polly (3 tahun), keduanya merupakan perempuan yang masih bocah. Anak dari pasangan seorang polisi dan seorang perawat di rumah sakit. Saya kebetulan terpilih sebagai pengganti dari pengasuh kedua bocah tersebut yang berasal dari Tulung Agung, Jawa Timur.

[caption id="attachment_409362" align="aligncenter" width="300" caption="my little princes/dokpri"]

1428751058793108519
1428751058793108519
[/caption]

Sebut saja Dora namanya, kenapa dipanggil Dora? Sebab sekilas memang potongan model rambutnya mirip dengan Dora yang ada di kartun TV. Pertama kali saya bertemu dengan keluarga tersebut tanggal 26 April, saya disambut ramah. Dari si Dora ini saya mulai belajar yang namanya memasak nasi di fan-po (magic jar), ka-soi (menambah air) di teko biasa dan teko untuk lemari es. Belajar cin-yi (goreng ikan), jao joi (menumis sayur), hingga so-tei, mat-tei dan lain-lain. Dora mengajari kedua anak itu untuk mau memanggil saya dengan panggilan “Happy Cece” dan bukan dengan nama asli saya. Kurang lebih dua minggu pertama berada di Hong Kong perasaan saya lumayan lega, mengingat ada Dora yang bisa dijadikan tempat bertanya kalau-kalau ada sesuatu yang perlu saya tanyakan. Rasa tanggung jawab besar menjaga dua anak yang dalam waktu singkat itu saya sudah pakem menilai  karakter anak tersebut bandel, walau pun begitu tetap saya punya rasa berkewajiban bertahan di tempat itu sebab tidak ada pilihan lain Saat itulah saya mulailah merasa sangat takut, pasrah, tetap harus kuat dan bersabar  ketika tanggal 9 Mei si Dora harus pulang ke kampungnya.

Sekalipun nakal, kedua bocah itu tetap berada dibawah pengawasan ortunya yang intens, malah ortunya bilang ke saya kalau salah satu anaknya ada yang nakal atau nggak sopan, saya disuruh ngelaporin ke ortunya. Pesan ortunya hanya demikian, senakal-nakalnya anak jangan dipukul atau dianiaya. Sebab menurutnya itu tak berarti. Antara saya dan kedua bocah itu sudah dikatakan sendiri oleh ortunya kalau saya bukanlah pembantu melainkan “best friend” anak-anaknya. Terlihat santun lah ini ortu kedua anak ini dalam mendidik anak rupanya!

Biasa saya bangun jam lima pagi, meyiapkan peralatan sekolah bocah-bocah. Menyiapkan sarapan anak, membangunkan anak dan harus bisa merayu. Namanya anak-anak kalau disuruh bangun tidur malah nangis nggak mau bangun. Susah banget, anak di sana setiap pagi hanya gosok gigi dan mengelap muka saja. Anak-anak di sana rajin gosok gigi! Hayooo kalau di Indonesia ada nggak ya yang malas gosok gigi seumuran anak ini?Dan yang masih suka ngompol, Cuma bantu nyebokin pantatnya saja sudah. Membangunkannya jam enam, nanti baru bangun beneran jam tujuh. Ada dua anak, ke kamar mandi mesti main hom pim pah dulu, karena keduanya paling males gosok gigi. Paling males dicebokin pantatnya.

Ginny yang besar pemikirannya sudah terlatih lebih cepat berkembang berkat keaktifannya berkomunikasi dengan ortunya, anak satu ini dalam usia  4 tahun sudah pandai melaporkan artunya untuk setiap apapun yang terjadi padanya. Jadi saya pun nggak bisa main sembarangan mem-bully dia. Beda banget sama si Polly yang kerjaannya suka menangis, mau makan menangis, mau gosok gigi menangis, bandel deh. Menangis itu senjata Polly, dibalik kenakalannya yang luar biasa. Anak ini super payah. Saya masih ingat, pertama tidur jadi satu kamar sama dia. Dia nggak mau sama saya, dan dia masih sukakan Dora. Saat dia bangun tengah malam, lalu saya gendong pun dia malah ketakutan sekali.

Jam delapan 08:00 pagi saya mengantar anak naik mobil sekolah. Anak terbiasa tepat waktu dalam melakukan apa saja. Lalu ke pasar tradisional, Pulang pergi waktunya sekitar setengah  hingga satu jam. Dengan begini, kesempatan saya untuk menghirup udara bebas di luar terasa sangat menyenagkan. Di Hong Kong sana, orang biasa memilih untuk berjalan kaki daripada naik sepeda motor. Keberadaan sepeda motor dibatasi, dan lebih suka naik MTR atau bus untuk berpergian. Oiya ke pasar, selain beli titipan dari emak kedua bocah tersebut, juga mesti ada beli sayur untuk dimasak siang dan malamnya, biasa kalau siang anak suka makan mie, entah mie-nya mau dimasak apa yang nggak boleh ketinggalan anak tetap harus makan sayur. Setelah dari pasar, saya akan bersih-bersih rumah. Menggantung baju, menyeltika, mengosek WC,   menyajikan hidangan untuk anak-anak. Jam dua belas mesti harus menjemput anak tepat waktu.

Nyaris dari pagi sampai sore menjelang malam di rumah hanya ada dan anak-anak. Dan kedua ortunya sibuk bekerja. Kalau lagi baik, keduanya memang baikan. Tapi, kalau ada yang kumat, saya bisa kumat juga sakit migrennya. Ada banyak majalah, hanya satu yang buat rebutan. Ada warna pensil lainnya, suka rebut-rebutan warna yang sama. Kedua anak itu paling anteng kalau pas lihat TV. Pada bengong, anteng, diam dan benar-benar fokus lihat TV. Maklum, anak-anak di sana punya batas waktu nonton TV. Minimal satu-dua jam perhari nonton TV. Itu pun mesti sudah buat PR dulu dan belajar sendiri setelah sepulang sekolah.

Sekitar jam dua, anak-anak saya giring masuk kamar buat tidur. Paling sebel nyuruh anak tidur. Dikasih camilan dulu baru mau tidur, sayangnya sering sekali kalau camilannya sudah habis mereka melek lagi matanya dan main-main. Memberikan makanan untuk anak dilarang sembarangan, tidak boleh sering-sering beri anak permen atau biscuit. Makanan untuk anak harus ortunya yang belikan, saya nggak boleh kasih makan mereka dari uang saya sendiri. Keduanya lebih aktif pada kegemaran membaca dan menggambar. Buku-buku yang dirak suka diobarak-abrik. Tak beda kalau mereka juga suka ngobrak-abrik mainan-mainannya rata di lantai. Akhirnya, saya sendiri yang stress…Tapi asyik juga kalau mereka pada tidur, jika kerjaan sudah kelar saya bisa leluasa baca buku.

Bangun tidur, anak-anak biasa saya mandikan jam empat sore. Kadang mandi sendiri-sendiri kadang juga bareng. Lambat laun saya bisa merasakan senangnya menjaga anak-anak tersebut. Selain lucu, mereka itu menggemaskan. Diluar kegiatan sekolah, Ortunya mengikutkan mereka les menari Ballet, menggambar, les Bahasa Inggris, berhitung dengan Sempoa, dan renang. Hampir kesehariannya tidak itu-itu melulu melainkan selalu dinamis. Terpikir, ternyata anak usia empat dan lima tahunan nggak strees juga mesti belajar banyak begitu. Buktinya mereka malah cerdas.

Di usianya keempat tahun menjelang lima tahun, Ginny sudah bisa membaca dan menulis angka dengan benar, semua tak lepas dari berkat ketekunan ayahnya. Si Polly suka bandel kalau diajari ayahnya makanya dia suka kena hukum disuruh berdiri sampai ngompol di lantai dan menangis keras bahkan sampai muntah-muntah!

Dan jika ortunya sudah pulang, maka yang akan saya kerjakan yaitu memasak. Sampai jam Sembilan malam biasa urusan dapur selesai dan saya baru bisa mandi. Setiap saya mandi dan membereskan apa yang perlu dibereskan, kedua anak tersebut selalu dapat gojlokan keras dari ortunya untuk belajar-belajar dan terus belajar.

Anak-anak siang kalau sudah tidur, biasa kalau malam susah tidur. Saya bisa tidur pulas kalau keduanya sudah tidur. Dan mereka hampir selalu benar-benar tidur kalau sudah menjelang jam sebelas malam sampai setengah dua belas. Dengan melewati lelahnya waktu seharian yang super sibuk itu. Saya mengusahakan untuk menulis apa yang mampu saya tulis. Adanya rasa bersikeras menulis ternyata berkat pengaruh kehidupan Hong Kong yang serba dinamis itu. Dimana kebanyakan mereka beranggapan waktu adalah uang. Bekerja itu sebuah kebiasaan/budaya dan bukan sebuah tuntunan apapun. Menulis disela-sela kesibukan selama di Hong Kong, membuat saya kurang tidur tapi saya menikmatinya!

Sedikit cerita ini semoga bisa melukiskan bagaimana sih kegiatan pada umumnya anak-anak di Hong Kong, dan menjawab pertanyaan kenapa anak Hong Kong lebih cerdas...

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun