Mohon tunggu...
Selviiii
Selviiii Mohon Tunggu... Mahasiswa aktif Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Naik gunung, lari, apapun yang berkaitan dengan alam

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika pendidikan kehilangan arah kemanusiaan

19 Oktober 2025   18:30 Diperbarui: 19 Oktober 2025   18:30 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di negara yang menjungjung tinggi pendidikan sebagai jalan untuk perubahan, pada kenyataannya yang sering hadir ialah ironi dalam ruangan kelas itu sendiri. Sekolah dan kampus, yang seharusnya menjadi tempat paling aman untuk tumbuh, belajar dan berpikir, justru malah menjadi salah satu tempat yang menorehkan luka, baik secara fisik atau batin, secara halus ataupun kasar.
Baru-baru ini publik di gegerkan oleh dua kisah yang berbeda, namun memiliki latar dan benang merah yang sama, rapuhnya sistem pendidikan kita. Di Lebak, Banten, seorang kepala sekolah menampar siswanya karena ketahuan merokok di lingkungan sekolah, sementara di Bali, seorang mahasiswa udayana memilih untuk mengakhiri hidupnya setelah diduga mengalami perundungan, peristiwa tersebut ialah dua cermin yang memperlihatkan sisi lain dari dunia pendidikan, antara disiplin yang kehilangan arah dan empati yang belum sempat tumbuh.
Kita tentu tidak bisa hanya menyalahkan satu pihak. Bukan guru, bukan siswa, bukan pula kampus ataupun pemerintah. Ada hal yang lebih mendasar dari pada itu, bukan hanya sekedar Tindakan individu, melainkan sebuah sistem dan budaya yang membentuk, menekan, dan pada akhirnya membiarkan. Ketika rasa empati mati di balik slogan "mendidik dangan tegas" dan aturan berjalan tanpa rasa, maka Pendidikan akan kehilangan maknanya sebagai ruang kemanusiaan.
Apakah Pendidikan kita benar-benar sedang mendidik, atau justru sedang mengulang pola kekuasaan yang membuat manusia kehilangan arah?
Dilihat dari dua peristiwa tersebut, yang lemah bukan hanya individunya saja, melainkan struktur yang ada di dalamnya juga. Sebuah sistem yang menuntut perubahan, tetapi tidak memberi ruang untuk manusia yang ada di dalamnya agar bisa  benar-benar tumbuh.
Kejadian di SMA Negeri 1 Cimarga di Lebak, Banten, mengundang pertanyaan besar mengenai batasan disiplin dan kekerasan. Seorang kepala sekolah, yang seharusnya menjadi panutan dan pelindung, kehilangan jabatannya setelah menampar seorang siswa yang tertangkap merokok di lingkungan sekolah. Namun, tindakan siswa tersebut juga tidak dapat dibenarkan, namun cara meresponnya seharusnya tetap berlandaskan pada prinsip pendidikan, bukan hukuman fisik. Merokok di sekolah jelas melanggar aturan dan menunjukkan kurangnya tanggung jawab pribadi.
Namun, isu yang sebenarnya bukan sekadar tentang siapa yang benar atau salah melainkan tentang bagaimana struktur pendidikan merespons insiden tersebut. Dalam waktu yang singkat, kepala sekolah dipecat, seolah-olah seluruh kesalahan jatuh padanya semata. Tidak ada ruang untuk berdialog, tidak ada evaluasi sistematis, dan tidak ada refleksi yang tulus mengenai bagaimana komunikasi di dalam sekolah telah memburuk hingga mencapai titik konfrontasi fisik.
Kondisi ini mencerminkan betapa rapuhnya keseimbangan antara struktur dan agen manusia dalam sistem pendidikan kita. Para guru, sebagai pelaksana, sering kali terjebak antara regulasi yang kaku dan harapan yang tidak realistis, sedangkan sistem yang mengatur mereka memberikan sedikit dukungan moral atau emosional. Ketika pendidikan menuntut ketaatan namun tidak memberikan ruang untuk memahami, tindakan seperti menampar bisa muncul  bukan karena kebengisan, tetapi karena frustrasi terhadap sistem yang tidak lagi mendengarkan.
Di sisi lain, tragedi di Universitas Udayana Bali menggambarkan luka lain dalam lanskap pendidikan Indonesia. Seorang mahasiswa, yang diduga dibuli oleh teman-temannya, memutuskan untuk mengakhiri hidupnya ini menimbulkan pertanyaan yang lebih dalam, bagaimana sebuah institusi yang mengajarkan kemanusiaan gagal menciptakan lingkungan yang manusiawi?

Perundungan di lingkungan akademis tidak muncul begitu saja. Itu lahir dari budaya hierarki dan tekanan sosial yang terinstitusi dalam sistem itu sendiri. Senioritas, persaingan, dan harapan yang berlebihan sering kali berubah menjadi bentuk-bentuk dominasi yang halus. Ketika sistem ini tetap tidak berubah, mereka yang merasa tak berdaya atau terasing dibiarkan tanpa ruang aman untuk bernafas.
Dalam konteks ini, siswa bukan sekadar korban, begitu juga para pelaku perundungan bukan hanya "pelanggar. " Mereka semua merupakan bagian dari struktur sosial yang terulang yang menormalkan ketidakseimbangan kekuasaan dan pengabaian emosional.
Kedua kejadian Cimarga dan Udayana mengungkapkan bahwa krisis dalam pendidikan Indonesia bukan hanya bersifat moral, tetapi juga struktural. Ini adalah sebuah sistem yang menuntut perubahan perilaku tanpa mengubah lingkungan yang membentuk perilaku tersebut. Di sekolah, disiplin diterapkan tanpa empati. Di universitas, kebebasan berpikir dibungkam oleh hierarki sosial. Akibatnya, mereka yang berada dalam sistem tidak benar-benar berkembang, mereka hanya bertahan hidup dalam siklus kekuasaan yang terus berulang.  
Seharusnya pendidikan bukan hanya menjadi tempat untuk menegakkan aturan, tetapi juga untuk menumbuhkan kesadaran. Tidak cukup hanya menciptakan individu yang patuh, tetapi juga individu yang mengetahui alasan di balik kepatuhan tersebut. Ketika pendidikan berhenti pada angka, prestasi, dan kepatuhan semata, yang hilang bukan hanya nilai kemanusiaan, tetapi juga tujuan utama dari pendidikan itu sendiri.
Dua kejadian di Cimarga dan Udayana seharusnya menjadi cermin bagi kita semua. Di balik seragam, kurikulum, dan birokrasi pendidikan yang terlihat teratur, terdapat masalah yang lebih dalam, hilangnya empati dalam sistem pendidikan kita. Guru, siswa, dosen, dan mahasiswa hanyalah individu yang dibentuk oleh sistem. Jika sistem tersebut tidak menyediakan ruang bagi kehangatan, komunikasi, dan dukungan emosional, maka luka demi luka akan terus muncul dalam berbagai bentuk.
Sudah waktunya kita berhenti menyalahkan individu dan mulai memperbaiki sistem yang membentuk mereka. Pendidikan tidak akan pernah benar-benar menjadi jalan menuju peradaban selama masih mengabaikan rasa kemanusiaan dalam proses belajar.
Sebagai catatan, pendidikan seharusnya menjadi perjalanan untuk menjadi manusia bukan hanya sekadar bagian dari sistem yang tidak peduli. Ia harus kembali menjadi ruang yang aman, di mana setiap orang merasa didengar, dihargai, dan diberi kesempatan untuk berkembang. hanya dengan cara itu, pendidikan dapat kembali padajiwa yang seharusnya, jiwa sejati pendidikan sebagai ruang kemanusiaan, bukan sekedar sistem yang mencetak manusia tanpa rasa.

Daftar Pustaka:
1.Giddens, Anthony. (1984). The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration. University of California Press.
2.Freire, Paulo. (2005). Pendidikan Kaum Tertindas (terj. Tim Redaksi). Jakarta: LP3ES.
3.Pratama, D. A., & Suryadi, R. (2023). Students' Bullying Experiences at University Level. Psikopedagogia Journal of Guidance and Counseling, 12(1), 45--55.
4.Borualogo, I. S., & Casas, J. A. (2022). Understanding Bullying Cases in Indonesia. ResearchGate.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun