Mohon tunggu...
Selvi Diana Meilinda
Selvi Diana Meilinda Mohon Tunggu... Policy Analist

Suka dengan urusan kebijakan publik, politik, sosbud, dan dapur. Berkicau di @Malikahilmi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Ranah Privat Perempuan Dibayar Pemerintah

28 November 2011   05:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:06 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_146219" align="aligncenter" width="650" caption="ilustrasi by: indijeh.blogspot.com"][/caption]

Anda pernah mendengar program keluarga harapan (PKH)? Ya memang program ini tidak se familiar BLT (bantuan langsung tunai), tapi program ini mirip-mirip dengan BLT karena memang adopsi dari program CCT (conditional cash transfers) dari negara-negara  Amerika Latin dan Karibia.

Program yang telah dimulai sejak tahun 2007 dan terus berkesinambungan diimplementasikan sampai 2015 ini memberikan bantuan tunai kepada rumah tangga sangat miskin (RTSM), jika mereka mampu memenuhi persyaratan yang terkait dengan upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia, yaitu pendidikan dan kesehatan. Pada awalnya, PKH diujicobakan pada 7 Propinsi yakni Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur dibawah naungan Kemensos.

Rata-rata jumlah uang yang akan diterima masyarakat adalah 1.390.000,-  pertahun, sementara jika ada anggota keluarga anak usia dibawah 6 tahun, ibu hamil/menyusui, anak usa SD, anak usia SMP maka bantuan maksimalnya adalah 2.200.000,- per keluarga. Dengan catatan bahwa bantuan terkait kesehatan berlaku bagi RTSM dengan anak di bawah 6 tahun atau ibu hamil/nifas. Besar bantuan ini tidak dihitung berdasarkan jumlah anak. Besar bantuan adalah 16% rata-rata pendapatan RTSM per tahun. Batas minimum dan maksimum adalah antara 15-25% pendapatan rata-rata RTSM per tahun.

Jadi, tidak semua rumah tangga miskin memperoleh bantuan ini, hanya rumah tangga sangat miskin  yang memiliki anggota keluarga yang terdiri dari anak usia 0-15 tahun atau ibu hamil/nifas serta berada pada lokasi terpilih. Penerima bantuan adalah lbu atau wanita dewasa yang mengurus anak pada rumah tangga yang bersangkutan (jika tidak ada lbu maka: nenek, tante/ bibi, atau kakak perempuan dapat menjadi penerima bantuan). Jadi, pada kartu kepesertaan PKH pun akan tercantum nama ibu/perempuan yang mengurus anak, bukan kepala rumah tangga. Untuk itu, orang yang harus dan berhak mengambil pembayaran adalah orang yang namanya tercantum di Kartu PKH.

Wah.. bagus dong ada penghargaan untuk kaum perempuan dan anak, ditambah lagi dananya bisa jadi penghasilan tambahan bagi keluarga. Ya, memang baik, pemerintah memberikan jasa sosial yang selama ini dilakukan oleh perempuan di ranah privat, hal ini sesuai dengan konsep gender and development (GAD) serta berusaha memenuhi practical gender needs (PGN) karena implementasi PKH berkaitan dengan peran-peran gender yang diterima dalam masyarakat. Misalnya, Ibu yang melahirkan, ke posyandu, memberikan gizi yang baik sampai pada menghadiri sosialisasi terkait pendidikan anak-anaknya. Dalam masyarakat, peran semacam itu telah menjadi budaya yang melekat untuk setiap perempuan.

Disamping itu, PKH juga merespon kebutuhan-kebutuhan dasar yang mendesak dan kebutuhan yang memungkinkan mereka (anggota keluarga baik istri, suami, anak-anak) untuk menjalankan perannya. Misalnya kemudahan memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai bagi ibu hamil, persalinan, bayi dan balita. Terganggunya kesehatan bagi suami atau istri akan berdampak pada pengurangan penghasilan keluarga, misalnya karena hilangnya penghasilan akibat sakit. Jika kesehatan dan pendidikan terganggu maka mengakibatkan juga terganggunya pendapatan rumahtangga sehingga mereka bisa menjadi miskin. Ya, ini menarik!

Namun,tunggu sebentar teman, tidakkah kalian melihat bahwa PKH ini menjadikan perempuan sebagai instrument atau alat untuk mencapai tujuan tertentu layaknya program Keluarga berencana (KB) yang pada sejak awal lebih diskriminasi pada kaum perempuan daripada laki-laki. Tujuan utama PKH dalam hal ini adalah untuk mengurangi angka dan memutus rantai kemiskinan, meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, serta merubah perilaku rumah tangga sangat miskin yang relatif kurang mendukung peningkatan kesejahteraan. Tujuan tersebut sekaligus sebagai upaya mempercepat pencapaian targetMillennium Development Goals (MDGs). Artinya, tujuan yang sesungguhnya bukan untuk kesejahteraan perempuan secara individu, namun perempuan hanya sebagai agen sekaligus alat perubahan.

Ada indikasi bahwa ibu hamil merupakan instrument utama sukses tidaknya PKH ini, indikator keberhasilan program akan tampak ketika nantinya ibu hamil mengikuti daftar kewajiban yang harus dipenuhi, misalnya memeriksakan kehamilan secara rutin, melahirkan dengan bantuan tenaga medis yang berpengalaman, rutin menimbang anak, mendapat suplemen, mengontrol tumbuh kembang anak sampai sang anak berusia 5-6 tahun.

Artinya memang, perempuan menjadi objek yang harus mendapat perlakuan khusus, khususnya mengenai reproduksi untuk mencetak generasi sumber daya manusia yang berdaya saing, dengan kata lain untuk menuju ke sana maka harus menggunakan instrumen yang bernama Perempuan. Itulah mengapa perempuan dalam PKH ini masih menjadi alat untuk mengurangi angka dan memutus rantai kemiskinan.

Salam.

*sekedar catatan siang

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun