Mohon tunggu...
Sellyna Putri Sabila
Sellyna Putri Sabila Mohon Tunggu... Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah di Unniversitas Negeri Semarang

Penulis memiliki minat tinggi terhadap sejarah dan menyukai kucing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Melampaui Batas Waktu: Dekontruksi Narasi historis dan Akar Kosmopolitan di Kompleks Makam Kyai Kamal, Sekayu

15 Oktober 2025   19:21 Diperbarui: 15 Oktober 2025   19:59 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makam Kyai Kamal & Keturunannya

Dalam dialektika ruang kota Semarang yang kontemporer, di mana logika kapitalistik merepresentasikan dirinya melalui fasade mal dan pusat perdagangan, terdapat suatu enclave yang dengan gigih menolak untuk terserap sepenuhnya ke dalam narasi modernitas yang homogen. Kampung Sekayu bukan sekadar sisa-sisa masa lalu; ia adalah suatu heterotopia, sebuah ruang lain yang hidup dengan aturan, temporalitas, dan logikanya sendiri, sebagaimana dikonseptualisasikan oleh Michel Foucault. Perjalanan personal saya ke dalam ruang ini bukanlah ziarah naif, melainkan sebuah upaya arkeologis untuk membongkar lapisan-lapisan makna yang terpendam di balik nisan-nisan di kompleks Makam Kyai Kamal, yang terletak di balik Masjid Sekayu 1413.

Akses menuju Sekayu adalah sebuah transisi yang bersifat spasio-temporal. Keluar dari hiruk-pikuk Jalan Thamrin sebuah koridor kapitalisme global, saya menyusuri gang sempit yang menjadi semacam liminal space, sebuah ambang batas. Perubahan ini terasa secara sensoris: dari gemerlap neon ke bayangan lembab di antara dinding-dinding rumah yang berhimpitan. Sebuah penelitian dari Universitas Diponegoro secara gamblang mendokumentasikan bagaimana kehadiran Mal Paragon menciptakan tekanan sosio-spasial yang mendistorsi struktur demografi dan morfologi kampung ini. RT 1 yang hilang, berubah menjadi lahan parkir, adalah metafora yang kuat dari penggusuran memori oleh kepentingan ekonomi. Dalam konteks ini, Kompleks Makam Kyai Kamal muncul bukan hanya sebagai situs sejarah, melainkan sebuah pernyataan politik tentang kebertahanan.

Siapa sebenarnya Kyai Kamal (atau Mbah Kamal)? Ia bukanlah figur yang terisolasi. Nama Kyai Kamal muncul sebagai salah satu arsitek yang diutus Kesultanan Cirebon dalam upaya pembangunan Masjid Demak yang kita kenal sekarang. Ini adalah petunjuk krusial yang menempatkannya dalam jaringan intelektual dan spiritual yang lebih luas yang oleh sejarawan seperti Denys Lombard digambarkan sebagai "silang budaya" Nusantara.

Kedatangannya dari Cirebon, sebuah kesultanan yang memiliki hubungan erat dengan Tiongkok melalui ekspedisi Cheng Ho dan komunitas Muslim Tionghoa, menempatkan Kyai Kamal sebagai aktor dalam proses islamisasi yang bersifat kosmopolitan. Arsitektur Masjid Sekayu sendiri, sebagaimana diuraikan dalam jurnal Tsaqofah, menunjukkan kemungkinan adanya pengaruh Sino-Javanese, dengan konstruksi atap tumpang dan detail ornamentasi yang merupakan hasil akulturasi. Kyai Kamal, dengan demikian, adalah seorang agen dalam jaringan yang menghubungkan Cirebon, Demak, Semarang, dan bahkan jejaring kultural yang membentang hingga ke Tiongkok Selatan. Ia adalah bagian dari "Arus Cina-Islam-Jawa" yang dikemukakan Sumanto Al Qurtuby. Makamnya dan keturunannya di Sekayu adalah bukti fisik dari diaspora intelektual dan penyebaran mazhab Hanafi yang kala itu berkembang di komunitas Muslim Cina.

Masuk ke dalam kompleks makam terasa seperti memasuki ruang yang terheningkan dari deru zaman. Nisan-nisan tua di sini, dengan bentuk dan pahatan khasnya, adalah "teks" yang membisu, menunggu untuk dibaca. Mereka tidak hanya menandai lokasi jasad, tetapi juga merepresentasikan suatu sistem simbol, kepercayaan, dan struktur sosial.

Tata letak makam, dengan Kyai Kamal sebagai titik fokal yang bersebelahan dengan keturunannya, merefleksikan suatu struktur genealogis dan spiritual yang khas masyarakat Jawa-Muslim. Ini adalah sebuah landscape of memory, sebuah lanskap yang dengan sengaja dibentuk untuk mengukuhkan narasi tentang asal-usul, otoritas keagamaan, dan kesinambungan komunitas. Dalam keheningannya, kompleks ini justru bersuara lantang, bercerita tentang sebuah keluarga yang menjadi tulang punggung komunitas Muslim awal di Semarang, yang bertahan melintasi zaman kolonial hingga era modern.

Rancangan Kampung Tematik oleh pemerintah kota Semarang adalah sebuah langkah visioner. Namun, untuk benar-benar berkelanjutan, pengembangannya harus melampaui perbaikan infrastruktur fisik. Ia harus masuk ke dalam ranah reinterpretasi narasi.

Kompleks Makam Kyai Kamal jangan sampai hanya menjadi "pelengkap" dari Masjid Sekayu. Ia harus menjadi narasi utama yang saling terhubung. Pengunjung perlu dipandu untuk memahami bahwa perjalanan mereka adalah menyusuri suatu cultural route, dari Cirebon (Sunan Gunung Jati) ke Semarang (Kyai Kamal), dan bagaimana jaringan ini merupakan bagian dari mozaik yang lebih besar tentang Islamisasi Nusantara yang plural dan inklusif.

Konsep keberlanjutan di sini juga berarti kemampuan untuk membaca masa lalu secara kritis dan kompleks, lalu mempresentasikannya bukan sebagai dongeng yang beku, melainkan sebagai sebuah proses sejarah yang dinamis, penuh silang budaya, dan relevan dengan identitas Semarang sebagai kota maritim yang kosmopolitan.

Pada akhirnya, Kampung Sekayu dan Kompleks Makam Kyai Kamal adalah sebuah palimpsest. Seperti lembaran kuno yang ditulisi berulang kali, di mana tulisan lama masih bisa dibaca di balik tulisan yang baru, lapisan-lapisan sejarahnya masih terbaca: lapisan pra-Islam, lapisan era kesultanan Islam dengan jaringan Cina-nya, lapisan kolonial Indis, dan lapisan modern dengan mal-nya.

Perjalanan saya ini adalah upaya membaca palimpsest tersebut. Kyai Kamal bukan lagi sekadar nama di nisan, melainkan sebuah simpul dalam jaringan kosmopolitan yang membentuk Nusantara. Makamnya adalah monumen dari suatu Semarang yang telah lama menjadi titik pertemuan (a meeting point) dari berbagai arus budaya, agama, dan perdagangan. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi, situs-situs seperti ini mengajarkan kita pelajaran berharga tentang kompleksitas, akulturasi, dan ketahanan, yang semuanya adalah fondasi dari identitas Indonesia yang sesungguhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun