Mohon tunggu...
Sehabuddin Abdul Aziz
Sehabuddin Abdul Aziz Mohon Tunggu... wiraswasta -

Blogger buku dan founder booktiin.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Militansi Demokrat Kalah Jauh Dibanding Golkar dan PKS

18 Juli 2011   08:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:35 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1310977810130621660

[caption id="attachment_119959" align="aligncenter" width="448" caption="Berbagai kasus yang didera Partai Demokrat, Partai Golkar, dan PKS menunjukan militansi kader dan fungsionaris Demokrat masih jauh lebih baik dibandingkan Golkar dan PKS (http://www.rimanews.com)"][/caption] TIGA partai besar seperti Partai Demokrat, Partai Golkar dan PKS, menjadi menarik untuk dikaji. Ketiganya, pernah mengalami cobaan besar yang membuat seluruh fungsionaris dan kader partai 'menjerit'. Disini, penulis membahas bagaimana militansi kader partai dalam mengelola konflik. Bagaimana membangun pencitraan partai dengan bijaksana. Lalu, bagaimana partai tidak terspektrum oleh figur seseorang, seperti Demokrat yang terjebak penyakit SBY-centris. Kita tahu, partai Demokrat sejak dipimpin Anas Urbaningrum banyak masalah. Dari mulai kasus Nazaruddin, dugaan korupsi berjamaah ketua umum dan fungsionaris partai menerima uang dalam kasus pembangunan Wisma Atlet, Palembang, sampai dugaan isteri Anas yang terlibat proyek. Partai Golkar memiliki masalah yang tak kalah pedas. Buloggate II di era Akbar Tanjung, yang saat itu, menjabat Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar. Akbar diduga menyelewengkan dana non-bujeter Bulog sebanyak Rp40 milyar. Bahkan, dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan berjamaah itu, diterima oleh sejumlah petinggi partai Golkar. Kasus lainnya, Century-gate, yang mencuatkan nama Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar yang diduga terlibat pidana pajak. Lalu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pernah mengalami hal serupa. Kasus letter of credit (LC) yang melibatkan salah satu kadernya, Misbakun, dan kasus video porno yang melibatkan Arifinto. Belum lagi, kasus Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq yang diduga mendapatkan 94 persen dana dari timur tengah untuk kepentingan pemilu 1999. Sekjen PKS Anis Matta diduga mendapat Rp 34 miliar dari mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Pemilihan Presiden 2004. Dan menggelapkan uang dana pemilukada DKI Jakarta sebesar Rp 10 miliar dari total Rp 40 miliar milik dana kampanye Adang Daradjatun. Perbedaan Demokrat, Golkar dan PKS mengelola Konflik Kita melihat dengan seksama, ada perbedaan mendasar bagaimana ketiga partai mengelola konflik. Dalam kasus Nazaruddin, Demokrat amat sangat terlambat. Munculnya keengganan dari ketua umum dan fungsionaris partai bersikap tegas, karena mereka takut dibongkar kasusnya oleh Nazaruddin. Akhirnya, kasus itu pun ibarat bara dalam sekam. Merembet kemana-mana. Bahkan, ujung-ujungnya terlihat jelas bagaimana Demokrat belum siap menjadi partai penguasa. Itu kelihatan sekali dengan post power syndrom yang ada ditubuh Demokrat. Sementara, Partai Golkar memiliki militansi kader yang mapan. Nah, militansi kader partai ini, menguntungkan. Berbagai kasus yang dialami Partai Golkar, justru sebuah kebangkitan. Kita tahu, hancur leburnya Golkar, justru menjadi pemenang pemilu saat di pimpin oleh Akbar Tanjung. Bahkan, berbagai kasus yang menimpa Partai Golkar, mampu melahirkan identitas partai; bagaimana golkar menempatkan kekuasaan sebagai sasaran antara, dan bagaimana melakukan pencitraan kembali dalam merebut kekuasaan. PKS malah lebih cepat. Dari kesadaran penuh-karena partai ini menganut fanatisme islam perkotaan-maka berbagai kasus yang menimpa diselesaikan dengan kesadaran dari kader partai yang didera kasus untuk mengundurkan diri sebagai kader dan anggota DPR. Disamping itu, PKS proaktif dengan aparat penegak hukum. Bahkan, secara terbuka MEMINTA MAAF kepada masyarakat yang telah memilih PKS. Demokrat justru sebaliknya. Nazaruddin malah kucing-kucingan dengan aparat penegak hukum. Naifnya lagi, Nazar, tebar pesona kasus dirinya melalui dunia maya lewat blackberry messanger. Padahal, dalam etika politik pantang sebuah kasus diproklamirkan secara terbuka, terkecuali dalam mekanisme yang sudah ditentukan di forum wakil rakyat. Disini, penulis melihat, militansi kader Partai Demokrat masih jauh dibandingkan dengan Partai Golkar dan PKS. Ini mungkin terjadi, karena fungsionaris Demokrat, kebanyakan dari pensiunan aparat, selebritis, dan sebagian aktivis partai yang belum begitu teruji diranah politik. Akhirnya, kasus Demokrat tak kunjung selesai dan berakhir dengan pemecatan serta evaluasi besar-besaran. Penutup Dari berbagai penjelasan diatas, penulis memiliki keyakinan, Partai Demokrat, dengan berbagai kasus yang terjadi, akan sulit lagi sebagai pemenang Pemilu 2014. Apalagi, kefiguran SBY akan tutup buku, alias tidak akan mencalonkan diri lagi. Mau tak mau, apabila Demokrat ingin menjagokan kadernya sebagai Presiden, tidak bisa sendirian. Setidaknya membutuhkan 'tangan diatas' atau dukungan partai lain. Sementara, Golkar dan PKS akan lebih berani bersikap. Meskipun figur Aburizal Bakrie dan Presiden PKS belum sepenuhnya bisa diterima oleh rakyat, namun keduanya bisa koalisi untuk menyerang Demokrat. Dan, bisa dipastikan, tahun 2014, kedua partai ini tidak mungkin lagi berkoalisi dengan Demokrat. Ini jelas merugikan keduanya dan sudah dibuktikan dengan format koalisi pascapemilu 2009 dan masih berjalan sampai sekarang, semakin hari kian tereduksi oleh kasus Demokrat. Wallahua'lam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun