Sejak dahulu perilaku berbohong telah dilakukan manusia, bahkan sejak usia anak-anak. Victoria Talwar & dkk. melakukan sebuah penelitian eksperimental mengenai perilaku berbohong pada anak, dan hasilnya menunjukkan bahwa perilaku berbohong telah ditampilkan anak pada usia sangat dini.
Dalam penelitian tersebut anak diminta tidak mengintip mainan atau tidak diperbolehkan bermain dengan mainan yang tersedia ketika ditinggalkan sendirian.
Karena kesulitan menahan rasa ingin tahunya, sebagian besar anak tidak mematuhi instruksi tersebut dan tetap mengintip atau mencoba bermain dengan mainan yang ada. Lalu, ketika ditanya apakah mereka mengintip atau bermain dengan mainan tersebut, mereka berbohong atau tidak mengakui tindakannya.
Perilaku berbohong atau tidak mengatakan yang sebenarnya ada dalam rentang yang sederhana sampai kebohongan yang besar.
Kebohongan yang sederhana, contohnya "Maaf saya telat karena macet" (padahal karena terlambat bangun), "Ooh saya baik-baik saja" (padahal kondisi tidak sebaik yang dikatakan), "Gak ada signal disini" (padahal memang tidak mau menelpon).
Dalam 10 kali percakapan rata-rata 60% individu minimal 1 kali melakukan kebohongan. Jadi, ada sekitar 3 kebohongan dalam waktu 10 menit percakapan.
Orang yang berbohong biasanya memiliki ciri-ciri antara lain cemas, tegang atau stres, merasa bersalah dan ingin segera meredakan ketegangan, adanya perubahan suara, tidak sanggup mempertahankan kontak mata (di mana pada kondisi normal ia sanggup mempertahankan kontak mata).
Namun, ciri-ciri tersebut bisa saja tidak muncul kepada orang-orang yang tidak memiliki rasa bersalah atau minim empati.
Kebohongan yang dilakukan sesekali oleh hampir setiap orang mungkin adalah hal yang wajar atau masih bisa dimaklumi, namun akan menjadi bahaya jika orang yang melakukan kebohongan secara terus menerus (compulsive lying) hampir di setiap perkataannya dan aspek hidupnya.
Penyebab berbohong
Mellissa Grace, M.Psi., Psikolog menjelaskan beberapa penyebab seseorang berbohong (compulsive lying) antara lain: