Mohon tunggu...
Rahman Seblat
Rahman Seblat Mohon Tunggu... wiraswasta -

seorang pekerja lepas, dengan latar belakang pendidikan seni rupa. selain menjadi tukang ndesain lepas, kadang2 ngelukis dan ngeblog. bersama beberapa teman membuat komunitas RTJ (Rumah Tanpa Jendela) Komunitas pendampingan berbasis seni dan kreativitas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kesadaran Roh, Apakah Itu?

17 November 2012   10:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:10 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13531494631172852412

Ini cerita tentang bapak saya. Tiga hari sebelum meninggal, beliau bercerita kepada saya, katanya beliau bertemu dengan teman-temannya yang sudah meninggal dunia. Waktu itu ada salah satu teman beliau meninggal, dan saya mengantar melayat. Saat sedang melayat itulah, bapak merasa bertemu teman-temannya.  Anehnya, yg ia temui adalah temannya yang sudah meninggal.

Saat saya mendengar cerita bapak soal pertemuannya dengan teman-teman yang sudah almarhum tersebut, saya menyelanya, “hayahh. hayalan bapak itu!" kata saya. saya tak pernah berpikir bahwa itu adalah firasat yang diberikan bapak, sebelum beliau meninggal. Saya belum bisa menangkap maksud bapak waktu itu. Cerita akan berbeda misalnya kejadian itu sekarang. Sedikit banyak sudah ada kesadaran yang saya yakini, bahwa apa yang dilihat bapak itu adalah kesadaran roh. Ya, manusia sebagai pemilik tiga unsur: wadag, nyawa dan roh, pada masing-masing masanya akan eksis di masing-masing unsur itu. Saat wadag eksis, nyawa berperan penting menghidupinya. Nyawa adalah energi hidup, semacam baterai kehidupan yang mengaktifkan wadag, sehingga semua fungsinya bekerja. Mulai dari otak, sampai  syaraf-syaraf lembut di sekujur tubuh dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Selama yang eksis wadag, kesadaran sebagian manusia lebih fokus pada kesadaran wadag. Mengupayakan apapun untuk menghidupi wadag. Bekerja keras mengupayakan kehidupan. Meniti karir, mengumpulkan harta, semua untuk kepentingan wadag beserta nafsu yang mengikutinya. Rasa haus dan lapar fisik, yang kemudian menciptakan banyak kreasi makanan dan hiburan yang tujuannya ya untuk demi kebutuhan wadag.

Lalu urusan roh yang sebenarnya juga sudah eksis di tubuh manusia, bagaimana? Terciptanya agama sebenarnya bertujuan untuk itu. Agama apapun, tujuannya selalu sama. Menciptakan kebaikan. Kebaikan nir pamrih. Itu yang kemudian menjadi makanan roh. Tetapi apakah manusia sadar itu? Bahwa segala yang dia lakukan terkait perbuatan baik adalah demi untuk asupan roh? Banyak yang menangkap, bahwa ketika itu terkait agama, urusannya adalah mengumpulkan amal soleh demi agar selamat hidup di akhirat, lalu masuk surga, dengan membuat pemahaman bahwa kebutuhan surga pun tak jauh beda  kebutuhan ragawi di dunia. Gambaran surga yang sangat duniawi, dengan sungai yang mengalir semanis madu. Buah-buahan yang ranum, serta makanan-makanan yang sekejab akan muncul saat baru ada di pikiran, juga bidadari-bidadari yang akan memenuhi kebutuhan nafsu birahi adalah logika kebutuhan duniawi yang kemudian mengaburkan esensi pemahaman rohani.

Dalam pemahaman saya sekarang, gambaran surga harusnya dijauhkan dari apa saja yang terkait kebutuhan jasmani , karena yang eksis saat kita sudah meninggalkan raga/ dunia kasat  mata, ya roh.  Kebutuhan dan eksistensi roh tentu beda dengan kebutuhan eksistensi yang wadag/ kasat. Makanan buat rohpun berbeda dengan jasad. Salah satu yang saya yakini, makanan roh adalah kebaikan yang harus bebas dari pamrih. Kebaikan yang tak tercemar bakteri-makteri nafsu duniawi. Kebaikan yang diujungnya berunsur pujian. Kebaikan atas nama "nama baik" di duniapun, menurut saya adalah bakteri yang menurunkan nilai baik yang menjadi asupan bergizi roh.

Nah, di tahun baru hijriah ini. Saya sebagai pribadi ingin hijrah dari pemahaman lama tentang nilai kebaikan yang hanya menjadi kebutuhan jasmani, menjadi nilai kebaikan untuk kebutuhan rohani. Selain itu penting juga memaknai bulan muharram sebagai bulan dimana kesadaran jasmani yang selama ini dominan menjadi kesadaran sehari-hari, di hijrahkan pada kesadaran rohani beserta hal-hal yang menjadi kebutuhannya.

Kalau tahun baru masehi, selama ini dirayakan sebagai tahun baru suka cita fisik, dengan pesta-pesta yang mengiringinya. Dengan segala lampiasan nafsu duniawinya. Tahun baru hijriyah, atau tahun baru jawa/suro ini semoga bisa(saya) maknai sebagai tahun dimana rohani di senangkan. Untuk itu diperlukan kesadaran roh untuk merayakannya. Roh dengan segala nilai yang menyertainya. Bukan pesta hura-hura laiknya menyenangkan raga, tetapi sebuah pesta sepi. perayaan sunyi dengan lebih melihat ke dalam diri. Melakukan banyak kebaikan nir pamrih.

Tradisi jawa sebenarnya sudah melakukan itu. Di jogjakarta ada ritual jalan bisu keliling beteng keraton. Berjalan tanpa suara. Menekur ke dalam diri. berkaca bathin, dengan kesadaran, yang berjalan tetaplah fisik, tetapi kesadaran yang dibangun adalah kesadaran rohani. Itu yang kan menimbulkan keseimbangan laiknya ying dan yang. Bahwa manusia ideal adalah yang seimbang antara jasad dan roh. Dengan munculnya kesadaran rohani, bisa  jadi sangat akan membantu saat kita sampai di ujung batas eksistensi wadag. Saat kemudian wadag akan kehilangan fungsinya, karena energi kehidupan fisik(nyawa) sudah tak mendukung eksistensi wadag lagi. Yang kemudian disebut sebagai kematian. Kematian yang lalu karena keterbatasan pengetahuan selalu digambarkan sebagai sesuatu yang menakutkan. Padahal matinya wadag itu adalah kepastian. Saat itu, tibalah manusia eksis di dunia roh. Dunia roh yang konon lebih kekal daripada wadag.

Kembali ke cerita di atas tentang bapak saya. Kesadaran roh bapak muncul secara otomatis sebagai tanda-tanda, bahwa raganya akan segera tidak berfungsi. Meski bapak waktu itu terkesan bingung dengan apa yang di candranya. Termasuk juga saya yang belum sepenuhnya tersentuh kesadaran roh, sehingga tidak bisa minimal mengingatkan beliau, atau justru berusaha semaksimal mungkin menikmati sisa waktu eksistensi wadag yang dimiliki bapak, lalu kami bisa sepenuhnya  menikmati hubungan duniawi kami. Dengan kesadaran roh pula, harusnya kita tidak perlu berduka dengan kematian. Mati hanyalah terbukanya pintu eksistensi roh yang sudah pasti datangnya. Cepat atau lambat. Tinggal kita yang menyiapkan diri, agar saat mati (raga sudah selesai tugasnya) siap menghadapi alam roh. Memiliki kesadaran roh dengan kondisi rohani yang kuat karena rajin kita asup kebaikan selama hidup.

Jadi, mungkin awal tahun hijriah ini bisa jadi awal untuk mulai berhijrah, berpindah dari hanya menyadari eksistensi wadag, menjadi lebih tahu tentang kesadaran rohani. Lalu Menyiapkan banyak rencana kebaikan tanpa pamrih, untuk mengasup roh agar kuat dan sehat saat masanya masuk ke alamnya, yang lebih abadi.

Selamat Tahun Baru 1 Suro Selamat Merayakan Tahun Baru Rohani

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun