Mohon tunggu...
Sayyidati Hajar
Sayyidati Hajar Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan Timor

Perempuan Timor | Traveller Kampung | Teater | Short Story | Short Movie | Suka Budaya NTT | pos-el: sayyidati.hajar@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan yang Menyimpan Surga di Kepala

16 Oktober 2018   04:07 Diperbarui: 16 Oktober 2018   09:11 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Kepada kembang hujan,  yang wanginya terhirup bersama aroma tehku sore itu.  Aku berterima kasih,  atas derasnya kenangan yang hadir setiap hujan datang lagi.  Tak ada yang mesti kuceritakan, sesungguhnya aku sanggup diam.  

Namun kepada kembang hujan yang wanginya terhirup lekat dari jaket tebal lelakiku itu.  Aku tak sanggup sembunyi.  Aku akan bercerita sesanggup lidahku bergerak.  Bila kelu datang menyerang. Aku tak akan memaksa.

Setidaknya aku menghargai hujan yang mengirim kembangnya,  mengharumkan hidungku dari aroma remeh temeh tukang parkir di sudut jalan,  atau aroma jahil teman kantorku,  juga batuk penuh isyarat bosku dari ruang kerjanya. Aku tak suka sorot mata mereka. 

Tapi apa daya.  Mengatur bola mata orang untuk mangkir dari tubuhku tak masuk dalam undang-undangan negara manapun. Sebuah kebebasan melihat,  memandang,  bahkan lebih sering memplototi tubuhku adalah kebebasan mereka.

Aku benci  ciutan mereka di pagi hari. Juga sapaan mereka di siang hari. Semua kepura-puraan itu. Seperti lorong duka baru yang selalu mengintaiku sepanjang waktu.

Apa kurang duka yang kini kupikul? Tanyaku sembunyi-sembunyi pada diriku sendiri. Sebab nyawa yang kupikul tak boleh mendengar desah resahku.

"Sayang,  bersabarlah. Selain kembang hujan yang mendatangkan  wangi.  Tak ada lagi yang benar-benar bebas kita nikmati," bisikku setiap hujan datang dan aku merasa merdeka menghibur diri.

Setelah dunia terasa asing dan sempit,  rumah adalah satu-satunya tempat mamanen bahagia.  Tak ada mata birahi para lelaki yang sanggup menembus pagarku. Tak terdengar desahan tertahan di ujung-ujung napas.  Semua terkendali. 

Hanya saja, gunjingan perempuan-perempuan kurang kerjaan di sudut rumah masih dapat kudengar jelas. Ada nada khawatir setiap mereka menggunjing namaku pagi dan petang.  Rutin.

Tapi aku tak ingin peduli.  Aku hanya butuh hujan datang.  Membasahi kegersanganku akan aroma kembang hujan. Menghirup lebih dalam lalu menyimpannya dalam jaket tebal lelakiku. Mengumpulkan sebanyak-banyaknya aroma yang pernah kami hirup bersama. Sebab ketika hujan berhenti dan tanah kembali mengering.  Aku tak punya jembatan untuk menganggapnya tetap ada.

Aku masih butuh lelakiku ada.  Setidaknya ada dalam surga di kepalaku. Bukankah perempuan harus punya surga di kepalanya?  Tempat segala desain kehidupan disimpan. Akulah surga bagi lelakiku,  juga surga bagi anakku.  Setidaknya setelah ia lahir,  aku akan memberinya surga yang tak sempat kubagi pada bapaknya.  Lelakiku,  yang kini tak dapat kutemui lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun