Kepada kembang hujan, Â yang wanginya terhirup bersama aroma tehku sore itu. Â Aku berterima kasih, Â atas derasnya kenangan yang hadir setiap hujan datang lagi. Â Tak ada yang mesti kuceritakan, sesungguhnya aku sanggup diam. Â
Namun kepada kembang hujan yang wanginya terhirup lekat dari jaket tebal lelakiku itu. Â Aku tak sanggup sembunyi. Â Aku akan bercerita sesanggup lidahku bergerak. Â Bila kelu datang menyerang. Aku tak akan memaksa.
Setidaknya aku menghargai hujan yang mengirim kembangnya, Â mengharumkan hidungku dari aroma remeh temeh tukang parkir di sudut jalan, Â atau aroma jahil teman kantorku, Â juga batuk penuh isyarat bosku dari ruang kerjanya. Aku tak suka sorot mata mereka.Â
Tapi apa daya. Â Mengatur bola mata orang untuk mangkir dari tubuhku tak masuk dalam undang-undangan negara manapun. Sebuah kebebasan melihat, Â memandang, Â bahkan lebih sering memplototi tubuhku adalah kebebasan mereka.
Aku benci  ciutan mereka di pagi hari. Juga sapaan mereka di siang hari. Semua kepura-puraan itu. Seperti lorong duka baru yang selalu mengintaiku sepanjang waktu.
Apa kurang duka yang kini kupikul? Tanyaku sembunyi-sembunyi pada diriku sendiri. Sebab nyawa yang kupikul tak boleh mendengar desah resahku.
"Sayang,  bersabarlah. Selain kembang hujan yang mendatangkan  wangi.  Tak ada lagi yang benar-benar bebas kita nikmati," bisikku setiap hujan datang dan aku merasa merdeka menghibur diri.
Setelah dunia terasa asing dan sempit, Â rumah adalah satu-satunya tempat mamanen bahagia. Â Tak ada mata birahi para lelaki yang sanggup menembus pagarku. Tak terdengar desahan tertahan di ujung-ujung napas. Â Semua terkendali.Â
Hanya saja, gunjingan perempuan-perempuan kurang kerjaan di sudut rumah masih dapat kudengar jelas. Ada nada khawatir setiap mereka menggunjing namaku pagi dan petang. Â Rutin.
Tapi aku tak ingin peduli. Â Aku hanya butuh hujan datang. Â Membasahi kegersanganku akan aroma kembang hujan. Menghirup lebih dalam lalu menyimpannya dalam jaket tebal lelakiku. Mengumpulkan sebanyak-banyaknya aroma yang pernah kami hirup bersama. Sebab ketika hujan berhenti dan tanah kembali mengering. Â Aku tak punya jembatan untuk menganggapnya tetap ada.
Aku masih butuh lelakiku ada. Â Setidaknya ada dalam surga di kepalaku. Bukankah perempuan harus punya surga di kepalanya? Â Tempat segala desain kehidupan disimpan. Akulah surga bagi lelakiku, Â juga surga bagi anakku. Â Setidaknya setelah ia lahir, Â aku akan memberinya surga yang tak sempat kubagi pada bapaknya. Â Lelakiku, Â yang kini tak dapat kutemui lagi.