Kalimantan Timur merupakan salah satu wilayah dengan cadangan energi fosil terbesar di Indonesia, terutama batubara. Berdasarkan data AEER (Action Ecology and Emancipation of the People) dan laporan Kompas tahun 2023, provinsi ini menyimpan sekitar 38% dari total cadangan batubara nasional, dengan produksi mencapai 339 juta ton per tahun. Eksploitasi besar-besaran tersebut memang memberi kontribusi besar terhadap ekonomi nasional, tetapi di sisi lain meninggalkan luka mendalam pada lingkungan dan sistem geologi wilayah ini. Dari perspektif geologi lingkungan, aktivitas tambang terbuka yang dominan di Kalimantan Timur telah mengubah morfologi lahan, merusak lapisan tanah atas, dan memicu ketidakstabilan lereng akibat hilangnya tutupan vegetasi.
  Banyak area pertambangan beroperasi di kawasan hutan, di mana sekitar 29% wilayah izin usaha tambang (WIUP) tumpang tindih dengan hutan primer dan hutan lindung. Kondisi ini menyebabkan deforestasi masif yang berdampak pada terganggunya siklus hidrologi, meningkatnya erosi, serta sedimentasi di daerah aliran sungai seperti Mahakam dan Karang Mumus. Selain itu, pembukaan lahan dalam skala besar menambah emisi karbon dioksida, memperburuk perubahan iklim lokal, dan mengganggu kestabilan geosfer yang sebelumnya seimbang.
  Dari segi ekonomi, batubara memang menjadi tulang punggung pendapatan daerah dan nasional. Pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor tambang menyumbang triliunan rupiah setiap tahun. Namun, ketergantungan ekonomi terhadap sumber daya fosil menciptakan paradoks: di satu sisi memberi kesejahteraan jangka pendek, namun di sisi lain menimbulkan kemiskinan ekologis dan sosial di tingkat lokal. Banyak masyarakat kehilangan lahan pertanian, sumber air bersih, serta mata pencaharian tradisional. Sementara dari sisi kebijakan, pemerintah pusat terus mendorong transisi energi menuju net-zero emissions pada 2060, tetapi implementasi di lapangan masih menghadapi tantangan besar. Banyak izin tambang diperpanjang, reklamasi tidak tuntas, dan pengawasan lingkungan masih lemah. Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun wacana energi terbarukan terus digaungkan, kebijakan energi Indonesia masih berpihak kuat pada sektor fosil karena alasan ekonomi dan politik. Padahal, potensi energi nonkonvensional seperti panas bumi, biomassa, dan energi surya di Kalimantan Timur cukup besar jika dikelola dengan pendekatan geologi yang tepat.
  Secara keseluruhan, eksploitasi energi fosil di Kalimantan Timur menggambarkan konflik klasik antara kebutuhan energi nasional dan keberlanjutan lingkungan geologi. Energi batubara masih menjadi raja dalam bauran energi Indonesia karena dinilai murah dan mudah diakses, padahal dampak ekologinya sangat besar. Jika Indonesia serius ingin bertransisi menuju energi bersih, maka kebijakan energi perlu disinergikan dengan pengetahuan geologi lingkungan, agar eksplorasi dan pemanfaatan sumber daya alam tidak lagi meninggalkan luka pada bumi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI