Mohon tunggu...
Widia paramita
Widia paramita Mohon Tunggu... Guru - Ada

Menulis lalu menulis lagi...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bukan tentang Hari Kemarin

13 Februari 2020   10:12 Diperbarui: 13 Februari 2020   10:23 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memiliki keluarga lengkap adalah impian bagi seorang anak. Dan itu tidak terjadi pada azkia. Dia seperti dalam sebuah kutukan. Rumah hanya topeng belaka, terlihat ada tetapi nyaris perasaannya tak merasakan organisasi pemerintahan di dalam rumah. Ayah nya bersama keluarga baru, otomatis dia  bukan prioritasnya, ibu nya pergi jauh sangat jauh tak ada kabar tersampaikan. 

Dia sendiri...... bersama kakek dan nenek, mereka tak bisa menggantikan posisi sebagai orang tua nya. Di sekelilingi saudara, mereka tak pernah memperdulikannya. Di  sudut kamar dengan pintu terkunci sudah menjadi biasa, buliran air mata membasahi pelipis wajah azkia.

Sudut senja berpamitan kepada malam, lampu-lampu terlihat muram. Di depan rumah azkia kebetulan terdapat sungai, biasanya pemuda-pemuda begadang di benteng sungai. Kongkow bareng ditemani gitar dan arak, masa muda mereka seperti sosok yang sangat bahagia, tak ada beban yang nampak. Menjadikan mereka seperti jagoan. 

Potret kegiatan itu bisa terjadi setiap hari. Di daerah nya mayoritas dan bisa di pastikan seratus persen semua islam. Tetapi banyak yang hanya sekedar islam KTP. Islam karena di islamkan oleh kedua orang tua nya saat lahir. Tetapi nilai-nilai dan kewajiban islam tidak menjadi pedoman.

Kehidupannya semakin tertekan, selalu salah dalam melangkah, tak ada pundak untuk bersandar bagai hati tak bertuan. Mencoba bertahan walau tertatih. Hidup di kampung sendiri seperti hidup di kampung setan. Orang-orang berubah seperti monster yang sangat menyeramkan. 

Saling hasut kesana kemari. Ingin maju tak mampu, mundur pun ragu. Anak gadis pulang malam, sudah seperti hal yang lumrah.  menumbuhkan benih janin di luar pernikahan, tak ada rasa penyesalan. Berat memang mempertahankan prinsip hidup dengan seorang diri.

melihat satu keluarga bertengkar di depan anaknya, menarik tangan kanan kiri merebutkan siapa yang pantas untuk mengasuhnya. Sikap orang tua yang meremehkan anak nya. rasa sakit itu tak terbanding dengan perlakuan pemuda yang hampir merebut keperawanan azkia. orang tuanya melihat, harapan besar  dia memarahi lelaki itu, tapi........ Miris sekali kehidupannya. 

Tak ada ekspresi kesal sedikitpun. Ia hanya terdiam,dengan sedikit senyum sungging. Aaaaaaarrrrgggghhhhhhh benci. Terkadang ia benci juga kepada tuhan, mengapa ia terlahir di sebuah kenyataan yang tak di impikan. Tapi diri sadar itu salah. Mengarungi bahtera kehidupan seperti ini, ingin rasa menapaki jalan-jalan kebahagiaan sampai ia bisa bilang " Tuhan aku ingin hidup abadi...". Celotehnya.

Anak yang terlalu banyak luka batin pada orang tuanya berkemungkinan tumbuh menjadi orang yang negative thinking. Ada sugesti di alam bawah sadarnya. "papa mamaku saja menyakitiku kok... apalagi orang-orang lain di dunia ini... pasti akan menyakitiku juga". Prasangka seorang anak pada dunianya sangat di tentukan oleh perasaanya pada orang tuanya. sulit untuk berbaik sangka pada hidup ini, bila sudah berburuk sangka pada orang tua." Menurut Dedy susanto, Dosen fakultas batin dalem. 

Dan rasanya itu terjadi kepada azkia. Kadang dia berfikir semua yang telah terjadi itu karena sugesti bawah sadarnya. Sehingga semuanya menjadi kenyataan. Sulit sekali beranggapan positif terhadap seseorang. Kadang orang tak paham dengan kondisinya. " lagi-lagi harus ku nikmati seorang diri. Dan masih bertahan dalam berlandaskan prinsip yang ia pegang. semoga Allah selalu memeberkati dan menopang segala permasalahan dari seorang hambanya yang lemah." kalimat penutup dari semua unek- unek batinnya.

Sinar mentari akan ia buat tak sama lagi seperti semula. Sepenggal kasur di balur selimut berwarna biru akan ia titipkan pada ranjang besi. Baju-baju di bilik lemari sudah berpindah di tas ransel berwarna hitam. Panas tepat di ubun kepala, menunggu bus tujuan Cirebon - Bandung dengan membawa uang ala kadarnya. Tak surutkan niatnya untuk pergi dari rumah. "Dengan tekad bismillah, semuanya akan baik-baik saja." Gumamnya dalam hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun