Mohon tunggu...
Saverio Ratu
Saverio Ratu Mohon Tunggu... -

(baca: sebagai pemula) Berusaha belajar menulis, ingin berbagi dan belajar bersama Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kasih dalam "Mekanisme Pasar"

25 Januari 2011   02:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:13 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1295922812535022954

Sarapan di hari minggu pagi merupakan hal yang cukup jarang aku lakukan, mengingat biasanya harus beribadah di gereja pukul 09.00 WITA, sehingga sarapan pagi seringkali merger dengan makan siang yang tentu berdampak  efisiensi kantong, ^^ Suatu kali karena aku bertugas menjadi pemusik di hari minggu sore adalah suatu kesempatan yang baik untuk sarapan pagi di hari minggu. Jalanan di seputaran Renon terutama Tukad Yeh Aya dan sekitarnya cukup padat karena blokir jalan raya puputan yang memang setiap minggu rutin dilaksanakan. Akhirnya aku memutuskan sarapan di warung Blitar di jalan Pakerisan awal dekat pertigaan Watu Renggong. Menu yang  terpilih untuk mengisi perutku saat itu adalah jangan asem, tahu, dan kreco (sejenis keong sawah berbentuk kecil-kecil dan gurih). Pagi itu jalanan ramai dijejali orang bersepatu kets lengkap dengan pakaian olahraganya. Lantas sesungguhnya pagi itu tidak ada sesuatu yang berbeda atau aneh/ menarik bagiku. Sampai datang Ibu-ibu penjual jamu tampak menggendong jamunya yang cukup berat ditambah lagi beliau membawa beberapa kresek yang isinya aku juga kurang tahu. Sebenarnya kehadiran Ibu itu kembali membuat aku bernostalgia dengan sisi kemanusiaanku yang jarang hadir ketika disibukkan dengan pekerjaan, kuliah dan hal lain. Tiba-tiba saja pikiran-pikiran “itu”muncul lagi dan mengusik kenyamananku menikmati sarapan. Lantas pertanyaannya pikiran-pikiran itu sebenarnya apa? Mungkin kita semua adalah manusia yang “sebenarnya” sangat mengasihi sesama, tapi entah kenapa realitas dan wujud kasih itu begitu sulit ditemui seolah dia memudar bahkan punah ditelan sandiwara dan kosmetika zaman. Untuk beberapa saat sarapanku terasa hambar. . . Saat itu di dompetku ada uang sekitar Rp 90,000 yang semisal aku berikan Rp 80,000 kepada si Ibu tadi maka aku tetap akan bisa membayar sarapan pagiku dengan cukup. Tapi ternyata aku tidak bisa memberikan uang Rp 80,000 kepada Ibu itu karena berbagai “alasan” yang membuatku merasa bahwa kasih itu tidak perlu langsung/frontal dan juga alasan “mekanisme pasar” maksudnya setiap orang harus berusaha sendiri untuk mendapat apa yang diinginkannya termasuk Ibu itu, dan akhirnya aku menyerahkan mekanisme kasih kepada “pasar” Dulu ketika masih menjadi mahasiswa dengan uang bulanan Rp 500,000 aku bisa hidup bahkan masih ada sisa sedikit untuk kutabung. Aku juga berpikir ternyata memiliki lebih sedikit uang membuat kita lebih “mudah” sadar dan peka tentang kesesamaan manusia yang esensial. Sekarang dengan jumlah uang yang sama habis dipakai bayar kos 1 bulan. Dan rasanya makin banyak uang aku makin pelit, karena kasih yang terus digembar gemborkan tiap minggu di gereja hanya berakhir pada alasan dunia dan alasan kasih itu cukup lewat “perpuluhan”, “persembahan” dan “hidup yang baik”. Tidak ada yang salah dengan alasan kasih model seperti itu, tapi rasanya agak aneh, ketika di tabungan kita misalnya kita punya Rp 3,000,000 tapi banyak orang dijalanan kelaparan dan masih banyak masalah lain yang seharusnya bisa dibantu dengan transfer pendapatan atau harta kita. Aku juga belum terlalu ngeh dengan pikiran-pikiran semacam ini, yang bagiku cukup menakutkan. Sepertinya kita hidup dengan lingkaran tersendiri yang nyaman dan tidak ada sangkut pautnya dengan lingkaran hidup orang miskin dan kesusahan diluar sana, padahal Tuhan menyediakan bumi sebagai satu rumah dimana kita bisa tinggal bersama untuk berbagi kasih, tanpa memandang siapa kita semua. Semoga saja aku berubah. . .

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun