Mohon tunggu...
Satya Kesumawardani
Satya Kesumawardani Mohon Tunggu... -

I'm a student

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kehidupan Pemulung

11 Oktober 2012   01:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:57 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kehidupan Pemulung

Terdapat perumahan kumuh di belakang gedung-gedung mewah Jakarta, hanya sebagian kecil orang mengetahui ada banyaknya keluarga tinggal di rumah yang hanya berbahan beberapa kayu untuk tetap memperkokoh rumahnya dan selebihnya adalah kardus. Semua yang tinggal disana adalah pemulung, bahan-bahan untuk membuat rumah, mereka dapatkan dari hasil memulung.

Memulung barang-barang bekas adalah satu-satunya pekerjaan yang bisa mereka lakukan untuk mendapatkan sesuap nasi, supaya mereka dapat bertahan hidup. Mereka hanya berpikir untuk makan hari ini, hari esok dan hari-hari berikutnya. Hanya itu yang mereka inginkan, karena memikirkan keinginan-keinginan lain yang memang mereka inginkan, tapi itu hanya sia-sia dan impian semata. Impian yang tidak pernah terkabul, seperti mereka ingin mempunyai sebuah rumah yang berbahan dasar semen dan batu bata yang sangat kokoh, sehingga mereka tidak akan mengalami kebocoran ketika hujan dan tidak merasakan terik matahari masuk ke celah-celah rumah seperti layaknya rumah kardus mereka.

Menjadi seorang pemulung telah mereka lakukan +20 tahun, sungguh miris mendengar telah berpuluh-puluh tahun mereka menjadi seorang pemulung. Pemulung tak layak dikatakan sebagai pekerjaan atau profesi, tetapi nyatanya di Indonesia, khususnya di ibukota Jakarta, banyak penduduk di Jakarta adalah pemulung. Mereka jauhkan gengsi mereka untuk mengambil botol-botol bekas diantara orang-orang sedang makan, mereka rela mencari kardus, plastik, dan barang-barang bekas lainnya di tong sampah yang sangat menyengat baunya. Apakah itu layak disebut pekerjaan? Tentu saja tak layak, tetapi apa mau dikata itu yang mereka lakukan demi melepaskan dahaga dan kelaparan . Daripada sebagai pengemis yang hanya duduk-duduk meminta, tidak melakukan sesuatu hal atau seorang preman memalak pengamen-pengamen jalanan.

Awalnya mereka merasakan letih yang tak kunjung berhenti menjadi seorang pemulung dan sempat putus asa susahnya hidup di Jakarta. Tetapi perasaan itu sirna, karena memikirkan anak-anak mereka yang membutuhkan makan untuk bertahan hidup. Itulah rasa kebersamaan yang mereka miliki, perasaan sayang terhadap keluarga menghancurkan segala keputusasaan mereka dan memberikan semangat tersendiri terhadap mereka untuk tetap membahagiakan keluarganya. Terharu mendengar keluarga pemulung yang hidup tak layak tetapi rasa kekeluargaan yang mereka miliki sangatlah besar.

Kita patut mengambil pelajaran berharga dari pemulung, semangat, kasih sayang dan kesabaran yang mereka miliki. Bersyukurlah dengan apa yang kita miliki sekarang, hidup di dunia janganlah hanya berfoya-foya, menghabiskan uang, tetapi lihatlah orang-orang kecil di sekitar kita yang sangat susah untuk mendapatkan makan apalagi uang dan tempat tinggal yang layak seperti halnya keluarga-keluarga lain. Jangan pernah mengeluh dengan apa yang dimiliki sekarang, jalani dengan rasa ikhlas, selalu berdoa kepada Tuhan YME dan yakinlah Tuhan akan memberikan yang terbaik buat kita. Sayangilah orangtua seperti orang tua menyayangi kita di waktu kecil, karena tanpa merekalah kita tidak bisa hidup seperti saat ini, merasakan hidup di dunia dengan kenikmatan yang Tuhan berikan.

Nama     : Nyi Rd Desi Mulyanti

Fakutas : Psikologi Yarsi 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun