Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ngomongin SARA, Yuk

21 Februari 2017   10:01 Diperbarui: 21 Februari 2017   11:07 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | sumber gambar: thecripplegate.com

Belakangan ini orang-orang memang makin mudah ngomongin agama dalam konteks SARA. Tapi sayangnya yang dibicarakan kok justru mengenai sarkasme, sikap ketidaksukaan dlsbnya ya? Jujur saya ingin katakan bahwa saya selalu ingin bicara soal agama, terutama tentang toleransi. Kalau perbincangan mengenai agama selama ini terkesan tidak mengenakkan, anggaplah obrolan tentang keagamaan ini sebagaimana layaknya obrolan tentang keyakinan ada atau tidak adanya hantu. Semua boleh menjelaskan tentang agama, asalkan tentu ada batasan yang tidak boleh dilanggar. Dan kalaupun ada semacam komparasi maupun kritik, pastinya yang menjadi point utamanya adalah (sikap) manusianya. Saya tidak ingin membahas soal keyakinan seseorang. Itu menjadi parameter. Dan nyatanya, sikap mempermasalahkan benar tidaknya keyakinan seseorang tersebutlah yang membuat umat beragama sering   bersikap antipati terhadap umat beragama lainnya. Akhirnya kita bisa lihat bagaimana kasus-kasus pembakar rumah ibadah, larangan beribadah, atau pembakaran kitab suci pernah terjadi dalam beberapa waktu. Sekali lagi yang saya ingin tekankan adalah, perbincangan tentang agama tidak boleh sampai pada soal keyakinan. Kecuali, kalau memang ada orang yang mau benar-benar berjuang perang argumen dalam meyakinkan kebenaran agamanya dan mengajak orang lain meyakini keyakinannya, mau sampai mulutnya berbusa pun silahkan-silahkan saja.

Manusia dengan berbagai keyakinan dan agama memang punya berbagai sikap dan watak disebabkan implikasi agamanya tersebut. Ada yang anti terhadap filsafat, ilmu pengetahuan dan sains, ada juga yang asyik dalam kontemplasinya sampai menyepi ke tempat-tempat tertentu. Pokoknya macam-macamlah perilaku orang-orang beragama ini. Tapi saya yakin, satu hal yang tak kalah penting adalah, bahwa agama menjadi salah satu jalan dalam memperoleh ilmu kebijaksanaan. Apakah agama itu agama samawi atau tidak, hal ini tak jadi suatu permasalahan. Dari hal itu akhirnya saya merasa heran, karena, kalau arti filsafat itu sendiri adalah cinta kebijaksanaan, lha kok ada orang-orang beragama yang anti berfilsafat? Padahal di dalam agama (yang saya temukan pada keyakinan saya) juga bukannya tak ada unsur-unsur filsafat.

Di lain hal, saya mungkin tak terlalu paham secara mendalam tentang bagaimana substansi-substansi teologis agama-agama lain. Paling cuma apa yang diketahui umum saja; tentang apa yang disembah dan apa yang diajarkan dari agama tersebut, termasuk dari sikap orang-orang beragama tadi dalam menyikapi berbagai persoalan profan, dimana hal itu secara tidak langsung menjadi studi komparasi dengan agama yang saya yakini.

Mungkin sebagian penganut agama saya pun ada orang-orang yang berperilaku demikian. Anehnya, sepanjang saya mendalami Kitab Suci dan hadist yang merupakan fundamen agama saya, saya malah tak menemukan suatu ayat yang bisa dijadikan dasar dalam bersikap anti terhadap aspek-aspek profan maupun sekuler tersebut. Ini jadi semacam kritik. Dari situ saya justru semakin meyakini bahwa agama saya juga mencakup ritual-ritual agama lain. Pada agama saya juga ada ritual semacam kontemplasi seperti halnya agama Buddha. Pada agama saya juga terdapat sistem egaliter dimana semua penganutnya itu bersaudara tanpa memandang ras, suku, warna kulit, bangsa, status sosial dlsbnya. Dan yang paling utama, saya mungkin harus mengatakan ini, bahwa agama saya justru menjadi semacam anti-tesis dalam menyikapi sikap anti intelektual, anti filsafat, anti ilmu pengetahuan seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Bukannya tak ada ayat-ayat yang menjelaskan tentang metode-metode berpikir dengan memahami hukum kausal (sebab akibat). Juga, ternyata begitu banyak ayat-ayat yang menyebut orang-orang yang berakal sehat atau orang-orang yang memahami/berpikir. Inilah kenyataan-kenyataan yang saya temukan terkait dengan fenomena-fenomena keagamaan.

Di lain hal, agama saya juga menekankan perihal kepatuhan terhadap Sang Pencipta. Jadi bisa dikatakan persoalan agama bukannya sama sekali terlepas dari relasi ketuhanan dan sekulertias; dalam arti bukan "agama ya agama, duniawi ya duniawi". Apa yang ada pada Kitab Suci dan hadits mestilah dipahami, dipatuhi. Lagian, suatu persepsi yang salah kalau agama harus dipisahkan dari persoalan-persoalan sekuler atau duniawi seperti tadi. Karena ketika seseorang semakin mendekat kepada Tuhannya, di sisi lain dia akan semakin gelisah dan ingin berkontribusi dalam usaha memperbaiki konstelasi dunia yang rancu dan semrawut ini. Jadi bukannya seorang beragama itu asyik sendiri dengan Tuhannya dan terpisah dari masyarakat. Lihat saja kisah nabi-nabi dalam sepanjang sejarah, apa mereka mengasingkan diri di dalam rumah ibadah atau gua-gua? Tidak. Mereka justru terjun ke tengah-tengah masyarakat dan tidak mau ambil pusing terhadap segala cemooh, ejekan, bahkan tindak pembunuhan. Itu biasa, dan sikap-sikap penentangan pasti tak terelakkan, terutama bagi masyarakat yang setia pada tradisi sehingga mereka tak mau diubah, tak mau diajak pada jalan yang benar; jalan ketakwaan, jalan kepatuhan terhadap Tuhan.

Dari situ juga kemudian saya berestimasi bahwa beragama itu ternyata mengasyikkan. Kalau selama ini orang lain menilai bahwa agama itu konservatif, kolot, tidak modern, bertentangan dengan ilmu-ilmu saat ini, saya yakin persepsi-persepsi demikian datang dari orang-orang yang tak mendalami agama (terutama stigma-stigma maupun persepsi terhadap agama saya). Persoalan ilmu pengetahuan, sains, pikir berpikir, ekonomi, maupun segala pertanyaan-pertanyaan filsafat, bahkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan orang-orang kepada motivator yang jago ngomong itu, semua sudah terangkum pada agama. Buktinya, silahkan cek sendiri kehidupan para filsuf maupun para ilmuwan Islam dimana mereka begitu dekat dengan pemahaman agama. Tidak ada yang melepaskan keimanan mereka terhadap agama yang mereka dan saya yakini. Al Ghazali saja yang paham dengan bidang filsafat (ada sebuah buku karyanya berjudul "Tahafut Al Falasifah" yang mengomentari filsuf-filsuf Islam) maupun teologi, malah semakin mendalami laku tasawuf atau yang disebut juga jalan ketakwaan/kepatuhan terhadap Allah swt. Kenapa mereka malah semakin mendekati Sang Pencipta? Karena agama adalah muara dari segala arus-arus sungai kehidupan yang bercabang-cabang. Cuma orang yang tak tahu dan berpikiran dangkal saja yang memandang rendah agama dan Tuhan. Mereka merasa tinggi, padahal mereka tidak menyadari bahwa sikap mereka itu sudah merendahkan diri mereka sendiri, atau dengan kata lain, mereka telah menzalimi diri sendiri.

Bukannya apa, saya bisa mengatakan itu karena pada awalnya saya juga berpersepsi demikian, sampai akhirnya, secara tidak disadari, Tuhan bagaikan membawa saya pada tingkat-tingkat pemahaman yang menjomplangkan persepsi awal tadi. Apalagi kalau ada orang yang merendahkan orang beriman, saya justru diam-diam tertawa melihatnya. Mereka jelas tak tahu kalau iman itu di atas persoalan rasionalitas dan tidak kontradiktif dengan akal manusia. Nyatanya, coba saya perhatikan kenapa banyak orang pintar seperti Stephen Hawking, Sartre, Nietzsche dlsbnya yang melepaskan iman mereka. Jangan salah lho, Stephen Hawking itu termasuk orang yang dikarunia ilmu untuk mengetahui kemisteriusan "cara kerja" Tuhan menciptakan alam semesta. Tapi asumsi saya, keputusan mereka untuk melepaskan keimanannya mungkin karena apa yang mereka yakini sebelumnya tidak sejalan dengan rasio pemahamannya. "Ah, nggak cocok nih, aku malas ah beragama," kan kira-kira begitu? Nyatanya, saya pun tidak menemukan kontradiksi yang seperti itu. Kalaupun ada ketidakpahaman dan kekeliruan sikap, tentu itu berasal dari penganutnya, manusianya. Manusia, siapapun dia, orang beragama atau tidak, kan tentu bisa salah dan punya salah. Apalagi kalau sudah berada pada pencapaian ilmu, materi dsbnya; Tuhan pun bisa direndahkan, ditiadakan.

Lagian, masak agama yang semestinya diturunkan untuk mengatur segala aspek kehidupan cuma kita maknai hanya sebatas persoalan rohani, batiniah dan kejiwaan belaka? Nyatanya, dalam hadits juga banyak kok substansi-substansi yang mengajarkan etika dan norma dalam soal perkawinan, jual-beli, perang, dan persoalan-persoalan sekuler lainnya. Ditambah lagi, beliau Rasulullah saw. juga senantiasa menjelaskan perihal konsekuensi dan tanggungjawab di hadapan Tuhan dan sesama manusia. Mungkin kiranya ini juga yang tidak begitu kita pahami, bahkan oleh penganut agama. Apa agama hanya dipahami sebagai larangan atau batasan? Wah, coba dipikirkan dululah kalau begitu. Coba dipahami secara lebih mendalam lagilah supaya kita bisa menemukan hikmah dan hakikat-hakikat yang tersembunyi pada substansi-substansi keagamaan. Bahwa ternyata, agama yang selama ini dipandang rendah justru berada di atas segala aspek kehidupan, bahkan bisa dikatakan, menaungi persoalan-persoalan demikian.

Katakanlah tulisan ini menjadi semacam promosi saya dalam mengenalkan kembali agama saya yang selama ini telah tertutupi oleh persoalan-persoalan yang sebenarnya tidak berbau agama. Masak cuma karena identitas belaka lantas kita mengaitkannya dengan persoalan agama? Wah, jangan sampai tertipulah. Lagian agama ini kan agama rahmatan lilalamin; agama kasih sayang Allah kepada segala makhlukNya, termasuk seluruh manusia. Lantas, apa kemudian akan kita "nikmati" dan "konsumsi" sendiri? Kan tidak begitu. Jangan egois, dong.

Kritik terhadap siapapun, bahkan terhadap saudara seiman tentu mesti dilakukan. Masak cuma karena saudara seiman berbuat sewenang-wenang, terus saya harus membenarkan? Sebuah kritik harus terus dilakukan. Dan orang-orang beragama juga harus bisa menerima saran maupun kritik tadi, dong... Jangan merasa benar sendiri-lah. Kan cuma Tuhan sendiri yang benar? 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun