Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menganut Doktrin Dogmatis di Zaman Saiki?

19 Januari 2018   22:10 Diperbarui: 19 Januari 2018   22:16 941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: www.absolutearts.com

Doktrin dogmatis bagi orang-orang yang tak menggunakan nalar logikanya, menjadi suatu kelucuan dalam hidup --apalagi kalau itu sudah menjadi tradisi dalam keluarga.

Padahal, seandainya saja kita mau berpikir, sebagai makhluk yang berakal, bukannya mustahil kalau kita bisa menilai benar-salahnya doktrin dogmatis semacam itu.

Apa kita masih berpenilaian buta bahwa agama yang dianut mau tak mau harus diyakini kebenarannya tanpa boleh merasionalisasikannya? Saya yakin, Tuhan menganugerahkan akal kenapa kita, tak lain adalah --salah satunya gunanya-- supaya kita bisa menilai benar-salahnya sesuatu, sebagaimana sudah disebutkan, yaitu dalam konteks ini adalah keyakinan kita.

Apalagi di zaman yang seperti ini, mestinya kita harus bisa lebih merdeka dalam berpikir, karena berpikir adalah urusan personal. Bagaimana bisa di zaman yang begini kita masih mematuhi secara buta doktrin-doktrin tradisi keluarga? Kalau pada saat kita masih kecil, boleh-boleh saja hal itu kita patuhi dan percayai. Tapi kalau sudah dewasa dan sudah bisa berpikir, rasanya menjadi suatu kelucuan kalau hal demikian masih sekedar dipercaya.

Sudah tak lagi zamannya kalau agama tak boleh disentuh (bukan dicampuri) nalar logika. Sudah tak lagi zamannya kalau doktrin-doktrin agama tak dipahami  secara rasional dan disikapi dengan iman buta atau taklid. Apa iya agama cuma sekedar norma-norma absurd tanpa manusia boleh memahami hakikat norma-norma yang ada di dalamnya? Ini makhluk zaman apa kok masih ada penganut keyakinan yang sekedar memercayai dan membenarkan keyakinannya semata? Apa kita tak punya hati? Padahal agama adalah ajaran yang harus dipahami secara rasional dan logis sehingga kemudian penganutnya bisa menyakini dengan hati. Tapi kalau tanpa penggunaan nalar logika, bagaimana kita bisa meyakini dengan hati?

Perbandingan Agama, Mencari Kebenaran

Memang ada perlunya mempelajari agama lain --setidaknya pokok-pokok atau esensi agamanya saja. Itu bisa membantu kita untuk meyakini apakah agama yang kita anut tersebut benar atau tidak.  Makanya kalau seseorang mau menjustifikasi kegalatan pada agama lain, seharusnya dia tidak secara apriori menilai "salah" tanpa mengetahui dimana letak kegalatan agama tersebut.

Dengan mempelajari agama lain jugalah kita bisa belajar bertoleransi. Maksudnya, di situlah kita bisa menghargai  apa yang diyakini penganutnya. Saya tentu boleh saja mengatakan kalau saya tidak bisa menerima agama lain, dan saya tak bisa mentolerir adanya paham-paham tertentu dalam "menggambarkan" Sang Pencipta --sebagaimana memang satu agama dan agama lainnya mempunyai pandangan yang berbeda-beda dalam memahami satu subjek, yaitu Sang Pencipta. Tapi yang saya tolerir memang bukanlah agamanya, melainkan keyakinan penganutnya. Karena, suatu keyakinan, suatu anutan, adalah  hak asasi setiap orang. Contohnya: kalau misalnya ada orang yang tak percaya hantu, saya tak bisa memaksa dia untuk mempercayai hantu. Buat apa pula kita memaksakan keyakinan kita pada orang lain? Itu hak tiap orang. Tak seharusnya juga kita menimbulkan pertengkaran karena perbedaan seperti itu. Kecuali, kalau kedua pihak yang berbeda keyakinan tadi mau untuk sama-sama mencapekkan mulut dan pikirannya untuk saling membuka diri dalam menilai perbedaan keyakinan tersebut.

Ajaran tentang kebenaran mana yang tak dicari, tak dipahami dan sekedar ditelan bulat-bulat? Bagaimana bisa ada orang-orang yang sekedar menerima hal itu? Apa tak pernah ada sikap skeptis di pikirannya? Apa tak pernah ada keraguan dalam meyakini sesuatu?

Sikap skeptis itu ada kalanya perlu, lantaran disebabkan keraguan jugalah seorang manusia kemudian berusaha memahami kembali apa yang diragukannya sehingga dia kemudian naik ke satu anak tangga keyakinannya. Maksudnya, dengan perasaan skeptis tadilah seseorang kemudian semakin yakin, walaupun di sisi lain perasaan semacam itu juga bisa membuat seorang penganut agama berpaling dari keyakinannya karena merasa tak cocok dengan prinsip berpikirnya.

Makanya saya lucu dengan perkataan "kita harus mengimani hal ini" seolah-olah agama adalah keharusan mempercayai. Apa iya agama adalah keharusan mempercayai dan hanya mempercayai saja? Apa iya agama adalah ajaran dogmatis yang memendam akal dan mengekang manusia?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun