Mohon tunggu...
Satrio Dwi Haryono
Satrio Dwi Haryono Mohon Tunggu... Lainnya - Buruh

Penikmat kajian, Gender, Filsafat, dan Keislaman

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fatima Mernissi, Sosiolog Perempuan, Kritikus Hadits Misogini

2 Mei 2024   13:47 Diperbarui: 2 Mei 2024   13:50 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Jika  hak-hak wanita  merupakan  masalah  bagi  kaum  lelaki muslim  modern,  hal  itu  bukanlah  karena al-Qur`an atau pun  Nabi, bukan pula karena tradisi Islam,  melainkan  semata-mata  karena hak-hak tersebut bertentangan dengan kepentingan kaum elit lelaki" tegas Mernissi dalam pendahuluan manuskripnya Women and Islam: An Historical and Theological   Enquiry.

Seorang sosiolog perempuan sekaligus pemikir Islam, serta hasrat hidup berkeadilan yang tinggi membuat Mernissi sering dijadikan sumur pengetahuan, khusunya perihal keperempuanan.

Lahir di tanah Magribi atau Maroko, tepatnya pada tahun 1940. Mernissi kecil dibekali pendidikan keislaman dari keluarga dan gurunya secara mendalam, khususnya pada bidang al-Qur`an.

Pengalaman masa kecil di lingkungan harem menjadi bekal intelektual tersendiri bagi Mernissi. Pasalnya, bukan menerima kehidupan yang tertutup di lingkungan harem, Mernissi menolak secara penuh kehidupan di lingkungan harem. Hal tersebut ditanamkan oleh Ibunya yang sering menolak dan melontarkan protes terkait kehidupan yang tertutup tersebut. Penolakan Ibunya inilah yang menjadikan pelajaran pada Mernisi perihal kebebasan dan kemerdekaan perempuan.

Ketika masih berada di sekolah menengah Mernissi kecil memiliki tingkat kekritisan yang luar biasa dibanding kawan sebayanya. Suatu ketika, di sekolahan Sang guru mengajarkan kitab al-Bukhari yang didalamnya  menyebutkan bahwa "Anjing,  Keledai  dan  Wanita  akan membatalkan shalat seseorang apabila melintas  di  depan  mereka,  menyela  antara orang yang shalat dengan kiblat". Hadis tersebut membuat Mernissi terguncang dan bergumam "Bagaimana mungkin Rasululllah  mengatakan  hadis  itu,  yang demikian melukai  hati  saya  ?" (Mernissi, 1991: 81).

Di cerita lain, ketika menginjak dewasa, terdengar hal serupa yang membuat Mernissi gelisah.   Diawali dengan bertanya pada seorang pedagang sayur: "Bisakah jika seorang perempuan    menjadi pemimpin kaum Muslim? " Dia (pedagang sayur) tersebut kemudian  berseru: " Na'udzu  billh min dzlik" dengan penuh rasa kaget Mernissi berdiam diri.

Kemudian seorang guru yang belum dikenali menyeru dengan mengatakan "suatu kaum yang menyerahakan urusan mereka   kepada seorang wanita tidak akan memperoleh  kemakmuran". Mernissi diam membisu lalu meninggalkan toko. Selepas itu, Mernissi merasakan kebutuhan yang mendesak untuk mencari informasi mengenai hadis tersebut dan mencari nash-nash yang disebutkan untuk dapat dicari benang merahnya.

Kedua cerita di atas merupakan gambaran kecil pengalaman hidup Mernissi yang nantinya akan memberi bekal pada pengembaraan intelektualnya. Mernissi muda memutuskan untuk mendalami Ilmu Politik di Universitas Muhammad V, Rabath, lalu melanjutkan studi di Universitas Sorbone dan Universitas Brandies dan memeroleh gelar profesor di bidang Sosiologi.

Walaupun tidak memelajari Islam secara akademik, hanya memelajari secara personal melalui pengalaman hidupnya, tidak mengurangi esensinya sebagai pemikir Islam. Justru hal tersebut menjadikan karakteristik tersendiri bagi Mernissi. Mengingat pengalaman emosional dan keagamaan Mernissi yang begitu otentik.

Dalam karyanya, yang ditulis dengan koleganya, yakni Riffat Hassan yang berjudul Equal Before Allah, ia menegaskan bahwa agama harus dipahami secara progresif untuk memahami realitas    sosial dan kekuatan-kekuatannya, karena agama telah dijadikan sebagai pembenaran bagi tindak kekerasan (Mernissi & Hassan, 2000: 123). Namun, agama yang dimaksud disini bukan teks secara murni, namun tafsiran atau pun pemahaman atas teks tersebut.

Ditambah, ungkapan Mernissi yang mengatakan bahwa al-Qur`an memang benar seutuhnya, Hadis pun demikian, namun Hadis yang telah sampai pada ulama lah yang perlu digali otentisitasnya. Mengingat ulama atau para perawi hadis juga termasuk manusia, tidak seutuhnya lepas dari rasa salah dan lupa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun