Fenomena bernegara ini menunjukkan bahwa setiap polemik yang menimbulkan keresahan di masyarakat seringkali diselesaikan melalui pembentukan norma hukum. Contoh aktual dapat kita lihat dalam kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur bersama kepolisian dan TNI mengenai pembatasan penggunaan sound system, serta fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengenai sound horeg. Dalam hal ini, regulasi dikeluarkan sebagai respon terhadap keresahan masyarakat mengenai kebisingan, potensi kerusakan, dan pelanggaran norma agama serta kesusilaan.
Menurut saya, langkah negara melalui pembentukan norma hukum ini merupakan wujud nyata dari prinsip demokrasi. Demokrasi bukan hanya sebatas pemilu atau kebebasan berbicara, tetapi juga mencakup bagaimana aspirasi masyarakat difasilitasi dalam proses pengambilan kebijakan. Fenomena sound horeg menimbulkan pro dan kontra yang berpotensi mengarah pada konflik. Negara kemudian hadir untuk menengahi dengan membentuk aturan hukum yang mengikat semua pihak. Hal ini menunjukkan bahwa negara berfungsi sebagai penjamin ketertiban umum sekaligus pelindung hak-hak masyarakat secara kolektif. Surat edaran dari kepolisian dan fatwa MUI tersebut menyatukan tiga norma, yaitu norma agama, norma kesusilaan, dan norma hukum. Norma agama tercermin dari pelarangan praktik yang bertentangan dengan syariat, seperti percampuran bebas laki-laki dan perempuan, atau kegiatan berlebihan yang seringkali dikaitkan dengan penggunaan sound system berlebihan. Norma kesusilaan tampak dalam upaya menjaga etika sosial, serta penghormatan kepada orang lain yang sedang beribadah, belajar, atau sakit. Sedangkan norma hukum hadir sebagai alat untuk memberikan kepastian, batasan yang jelas, serta sanksi bagi pelanggar. Dipertimbangkan dari teori hukum, pembentukan norma hukum ini sejalan dengan mengedepankan kemanfaatan. Negara mengedepankan kepentingan umum di atas kebebasan individu untuk menggunakan sound system dengan kebisingan tinggi. Di sisi lain, norma ini juga selaras dengan asas perlindungan hak asasi manusia sebagaimana termuat dalam Pasal 28H UUD 1945, yang berisikan hak setiap orang untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat. Dengan demikian, norma hukum yang lahir bukanlah represif, melainkan preventif dan protektif terhadap potensi kerugian sosial maupun kesehatan masyarakat. Dalam kerangka demokrasi, setiap kebijakan publik idealnya melalui proses partisipatif. Berdasarkan fatwa MUI dan surat edaran tersebut, tampak bahwa pembentukan norma hukum dipengaruhi masukan masyarakat, ahli kesehatan, aparat keamanan, serta tokoh agama. Hal ini menunjukkan adanya deliberasi publik sebelum lahirnya norma, yang merupakan ciri khas demokrasi substantif. Artinya, demokrasi di sini tidak berhenti pada prosedur formal, tetapi diwujudkan dalam mekanisme penyelesaian polemik dengan melibatkan berbagai stakeholder. Saya menilai bahwa pembentukan norma hukum terkait penggunaan sound system di Jawa Timur merupakan bagian dari praktik demokrasi. Negara hadir menampung aspirasi masyarakat, menimbang aspek agama, kesusilaan, dan hukum, kemudian melahirkan aturan yang memberi kepastian dan perlindungan. Kebijakan ini bukan sekadar larangan, tetapi bentuk pengelolaan kebebasan agar tidak merugikan pihak lain. Dengan demikian, pembentukan norma hukum dalam kasus ini mencerminkan fungsi demokrasi substantif, yakni menjaga harmoni sosial, melindungi kepentingan umum, dan menjamin keseimbangan antara kebebasan serta keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI