Mohon tunggu...
Alfian Arbi
Alfian Arbi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aquaqulture Engineer

Aquaqulture Engineer I Narablog

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Penghapusan UN, Sebuah Refleksi Kualitas para Guru?

12 Desember 2019   16:00 Diperbarui: 6 Maret 2020   07:22 2321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah murid melaksanakan UNBK (Ujian Nasional Berbasis Komputer) di SMK Negeri 3 Kota Tangerang, Banten, Senin ( 3/4/2017). Ujian nasional berbasis online tingkat SMK ini akan berlangsung hingga Kamis 6 April mendatang.(KOMPAS.com/ANDREAS LUKAS ALTOBELI)

Setiap tahun menjelang Ujian Nasional (UN) dan setelahnya, Pemerintah selalu saja panen kecaman dari penyelenggarannya yang tidak sempurna, yang terjadi di beberapa penjuru tempat di Indonesia. Dugaan soal dan kunci jawaban yang bocor, menjadi penyakit menahun yang sulit dihentikan.

Belum lagi, bobot soal UN yang tidak merata dirasakan siswa kota dan pelosok desa. Siswa kota dengan segala fasilitas pendidikannya dianggap mampu melahap bobot soal yang dibuat merata untuk para siswa se-Indonesia --tapi ada juga yang tidak- Sedangkan siswa pelosok desa menganggap susah mengerjakannya.

Alasannya klasik, jangan disamakan dong siswa kota dan siswa di pelosok kota. Dari fasilitas, tenaga pendidiknya serta kualitas siswanya pun berasa beda.

Dan sepertinya, Pemerintah belum bisa membuktikan jika alasan tadi itu tidak benar! Ya berarti memang benar, pembangunan pendidikan di Indonesaia memang masih memang belum merata kan? Baik Infratruktur dan kualitas pengajarannya?

Belum lagi soal, pasca UN, dimana perebutan kursi sekolah dengan sistem Zonasi diberlakukan. Siswa yang susah payah belajar untuk mencetak angka terbaik di UN, rela berdesakan di sekolah favorit mereka, dan akhirnya ada yang tersisih. Sedangkan siswa dengan angka pas-pasan bisa saja melenggang santai, dengan alasan rumah mereka dekat dekat sekolah itu.

Adil kadang beda interpretasi kan? Merasa adil bagi mereka yang diuntungkan, gak adil bagi meraka yang merasa tidak diuntungkan. Keadilan lalu bergema di ruang maya. Setiap Tahun Pemerintah selalu saja dikejar soal UN harusnya dihapus saja, karena sejalan dengan sistem Zonasi tadi.

Lalu, keputusanya UN akan segera dihapus dengan harapan siswa bisa lebih maju dalam hal lain bukan melulu soal akademis! Dan diharapkan sekolahan dimanapun itu ya sama saja baiknya. Sederhana kan?

Yakin mau dihapus Pak Nadiem?
Ujian Nasional akan dihapus? Hal itu sudah dipastikan Oleh Menteri Pendikaan Nadiem Makarim, dimana ujian Nasioaal dihapus mulai 2021 nanti. Tapi, ingat kebijakan ini hanya berlaku untuk  pelajar  kelas 4 SD, 2 SMP dan 2 SMA saja ya! Pertanyaannya buat saya lantas mengapa harus menunggu 2021?

Padahal tuntutan untuk menghapus UN sudah berdengung lama, dan kok baru kali ini Mendikbud-nya berani berwacana untuk mengesekusi hal ini? Saya kira, ini bisa saja sebagai ajang coba-coba, untuk membunuh rasan penasaran agar UN segera dihapus.

Ya sapa tahu hal tadi bisa membuktikan, jika kebijakan penghapusan UN bisa menggerakkan mutu pendidikan kita lebih baik lagi.

Tapi caranya pun kita masih belum tahu kan bagaimana mengeksekusinya  nanti dari pengganti UN? Namun ada bayangan sedikit sih tentang hal tadi, dimana katanya ujian penggantinya akan terdiri dari penilainan kompetensi minimun dan survei karakter, dan pastinya bukan berupa penilaian dari ujian.

Ada dua poin yang dituju oleh Pak menteri dari kebijakan ini untuk para siswa yakni bisa menajamkan kemampuan literasi, yakni menganalisis bacaan dan jua kemampuan Nemurasi yakni menganalisis angka-angka.

Jika dilihat sepintas idenya sih keren, tapi soal eksekusinya masih belum bisa diraba, efektif apa tidak ya? Gerak maju mundur cantik kebijakan Ujian Nasional ini tentu akan mungkin bisa terjadi. Dihapus saat ini lalu diterapkan kembali - jika nanti dirasa gagal- Bisa jadi! Yakin bukan Politis?

UN Dihapus, parameter kualitas apa sih yang akan dipakai?
Mantan Wakil Presiden, Bapak Jusuf Kalla pun berkomentar, jika dengan penghapusan UN akan membuat semangat belajar siswa berkurang dan akan menjadi lembek.

Ilustrasi: rmolbanten.com
Ilustrasi: rmolbanten.com
Kita bisa sependapat dengan hal ini, dimana tidak semua siswa saat ini yang juga senang dengan kebijakan ini. Banyak juga siswa yang masih gemar belajar dan hasilnya terekam dalam nilai ujian yang bagus. Dan akhirnya bisa menghantarkan mereka ke bangku pendidikan yang lebih baik, terlepas dari konteks setelah lulusnya terjaring dalam dunia kerja apa tidak.

Dalam hal tadi, bisa saja kita anggap jika nilai ujian menjadi cermin dari efektivitas proses belajar yang tengah kita lewati. Meskipun ada saja yang mengatakan, nilai ujian bukan segalanya. Di kepala saya masih tertanam, tanpa angka, bagaimana kita bisa meraba hasil belajar yang sedang kita lakukan saat ini?

Kita lekas mengingat masa kecil kita dulu ketika menjadi siswa kan, senang sekali rasa hati ketika kita mendapat nilai ujian yang sempurna, sepuluh misalnya, dari hasil belajar kita. Namun sedih durjana, jua pasti kita rasakan ketika mendapat nilai jelak.

Tapi misterinya lantas, ketika kita sudah berjuang belajar siang malam terus masih saja mendapat nilai jelek dan tidak lulus-lulus, apakah ini bisa dikatakan takdir? Takdir untuk mengulang kelas?  Kurang berdoa? Ini mungkin tips terakhirnya.

Tentu ini akan menjadi misteri kan? Nah tentu jika hal ini terjadi, akan menjadi tanda tanya besar, apakah kita memang sunguh-sungguh belajarnya ya? Apa ada yang salah dari sistem belajar dan pendidiknya?

Untuk menjadi fear dan memperbaiki sistem pembelajaran tadi, bisa saja dua-goal  yang ingin dicapai yakni soal penilaian literasi dan juga numerasi menjadi super-shaft kedua bagi siswa untuk bisa ditonjolkan untuk mengganti kegagalan soal nilai ujian.

Dengan begitu, jika berhasil siswa akan lebih kreatif dalam menojolkan kemampuannya kan, selain akademik. Dan tetap, di akhir kelasnya nanti, UN akan menguji proses belajarnnya dalam sebuah angka lagi yang bisa membantu dalam seleksi pendidikan di tingkat selanjutnya.

UN dan cermin kualitas pendidik
Saya kok yakin sekali, diberlakukannya penghapusan UN di tengah jenjang ini, akan menjadi cermin bagi perbaikan guru dan sekolahnya. Namun pertanyaan bisa saja menjadi apakah ada proses upgrade bagi guru untuk melakukan pengajaran dan juga penilaian pengganti UN tadi? Iya assesmen soal literasi dan numerasi yang menjadi goal kebijakan ini?

Jika belum, apakah waktu yang tersisa menjelang 2021, bisa menyiapkan para pendidiknya mengesekusi kebijakan ini? Ini akan menjadi penting, karena saya pikir, dari dahulu kita terus saja mengoreksi sistem apa yang baik buat siswa terlebih menyalahkan siswanya, namun kadang lupa jangan-jangan sistem pengajaran dan kualitas gurunya yang timpang!

Pasti kita semua sepakat ya, dengan lahirnya, kulitas guru yang baik seharusnya lahir pula kulitas siswa yang baik. Artinya, ya Pemerintah harusnya memberikan kebijakan yang super ketat pula pada perbaikan guru di masa mendatang kan? Bukan hanya bagi peserta anak didiknya!

Belajar dari Cina?
Cina dan Indonesia memiliki tantangan yang sama dalam konteks pembangunan pendidikan. Keduanya memiliki jumlah siswa yang besar untuk dididik. 

Namun pembedanya, saat ini adalah Cina berada di peringkat pertama dalam Programme For International Student Assesment (PISA) dalam 3 tahun saja, semenjak 2015 lalu tidak berada dalam 5 besar.

Saya masih menilai, perbedaan kita dengan Cina karena penilaian sikap, masih belum menjadi penilaian dalam tolak ukur kemajuan belajar siswa. Menyeimbangkan keduanya, yakni nilai ujian dan nilai sikap tentu akan menjadi ramuan mujarab dalam mengejar ketertinggalan pendidikan kita.

Nah tentu saja, saya yakin akan banyak sekali pekerjaan rumah Pemerintah untuk terus mengup-grade para pendidiknya untuk menerapkan strategi dalam pengajarannya serta asesmen siswa untuk menghasilkan output siswa yang berkualitas, baik nilai dan juga sikap tadi.

Dan untuk mengerjakannya saya kira keseimbangan atara kualitas pendidik dan juga gaji yang diberikan harus juga diperhatikan. Sehingga ada proses kompetisi para guru untuk memperebutkan haknya setelah melaksanakan kewajibannya.

Yang pada akhirnya bisa menghasilkan kualitas bagi para pendidik sendiri  dan segera dieksekusi pada anak didik mereka.

Memang sih membuktikan pameo, Guru adalah pahlwan tanpa tanda jasa itu berat. Karena saat ini semua komponen guru yang--maaf--berkualitas atau tidak pun memang sama-sama memerlukan gaji yang layak dan minta diperhatikan.

Apalagi di tengah euforia Demokrasi, ekploitasi politik dari massa pendidik di musin Pemilu, terutama soal masalah gaji dan penghidupannya yang setinggi-tingginya, bisa saja menghadirkan rasa 'malas' untuk mengerjakan tantangan pendidikan yang sesungguhnya.

Toh mereka bisa saja merasa termanja oleh rayuan janji politisi yang hadir setiap mau Pemilu tadi. Rajin apa tidak, yang pasti para guru terus saja termanja dengan fasilitasnya.

Nah, mengulang kata pak Nadiem, semuanya marilah terus belajar untuk menghasilkan sesuatu terbaik. Termasuk, belajar sampai ke negeri Cina dan mengorek semua rahasia pembangunan pendidikannya di sana.

Sampai pada semangat itu, tapi apa berani Pemerintah belajar jauh ke negeri Cina? Dengan sentimen anti-Cina yang terus membanjiri provokasi Politisi dalam masa Pemilu.

Artinya, projek memajukan pendidikan bukan perkara Kemndikbud saja, isu pendidikan menjadi tanggung jawab semua, meskipun isu pendidikan menjadi isu seksi dalam setiap kampenye Pemilu. 

Tuh kan, gegera hal Politis inilah kadang yang membuat semua ide kita berjalan di tempat dalam memajukan Pendidikan Indonesia. Jadi hapus UN-nya, pak Nadiem?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun