Mohon tunggu...
Sastrokechu
Sastrokechu Mohon Tunggu... Lainnya - Buruh Laju// Penyintas Kehidupan Urban// Peminat Program Swanirwana

#Tan Hana Dharma Mangrwa #Yungalaaahhh Gusti, menawi kulo salah dalan jenengan shareloc mawon

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menyelisik Penjara dari Balik Teh Botol Sosro

23 April 2021   19:10 Diperbarui: 23 April 2021   19:23 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Apapun Makanannya, Minumnya Teh Botol Sosro”

Adalah tag line dari iklan produk minuman kemasan yang sangat melekat dalam benak masyarakat. Sebetulnya pesannya sangat simple,  hanya men-stressing pada kemampuan sebuah minuman kemasan untuk menyelesaikan berbagai kondisi setelah makan. Namun efeknya luar biasa, pesan tersebut sukses menggiring opini pasar, dan bahkan saking suksesnya iklan tersebut mampu mempengaruhi trend advertising yang muncul pada masa berikutnya. 

Kemudian diskusinya menjadi meluas, pertama; apakah memang sebenarnya suksesnya iklan tersebut disebabkan oleh metode dan cara yang dipilih sangat efektif untuk mengagitasai pasar. Kedua; atau memang sebenarnya secara sosio-kultural masyarakat Indonesia adalah masyarakat praktis yang sangat dekat dengan diksi “serba guna” sehingga dalam kondisi apapun akan tergerak untuk menemukan sebuah solusi guna menyelesaikan berbagai permasalahan.

Ini mungkin juga adalah sebuah semiotika. Jika membaca gejala dan wacana yang ada, maka tag line iklan tersebut memang sangat mewakili perasaan masyarakat Indonesia yang enggan untuk ribet. Dan celakanya ini terjadi bukan hanya untuk masalah minuman, hampir di semua permasalahan menggunakan pendekatan yang sama, termasuk dalam penanggulangan kejahatan. Realitas membuktikan bahwa apapun kejahatannya maka penjara hukumannya. 

Penjara, dalam perspektif khalayak umum, adalah sebuah alat “serba guna” yang mampu menyelesaikan berbagai permasalahan kejahatan. Penjara diibaratkan seperti mesin cuci, dimana segala macam pakaian kotor dapat diselesaikan dengan sekali pencetan tombol. Padahal setiap kejahatan memiliki faktor kriminogen yang berbeda-beda. 

Sebagai contoh, didalam penjara saat ini terdapat narapidana yang mencuri karena desakan ekonomi dan ada juga narapidana yang mencuri karena kleptomaniac. Atau mungkin ada pejabat publik yang tersangkut kasus tindak pidana korupsi karena mal-administrasi atau karena memang menjadi bagian mafia yang tersistematis. Keduanya seharusnya terdapat perbedaan dalam penjatuhan pidananya, pun dalam pemberian pembinaannya di dalam penjara.

Celakanya, penjara terlanjur tercemari dengan pandangan pragmatis “serba guna” yang ada di masyarakat luas. Sehingga tidak heran jika peran penjara pun ikut-ikutan men-generalisasi perlakuan dalam menangani macam-macam pelaku tindak pidana. Umumnya program yang diberikan di dalam penjara adalah seragam. Harapannya, bentuk program perlakuan yang diberikan mampu menciptakan suatu standar output/keluaran. Dalam istilah lain, Penjara sebagai pranata sosial diharapkan mampu membangun kapasitas diri para narapidana sehingga sesuai dengan minimum requirement yang dimiliki masyarakat.

Sebenarnya akan sangat mudah untuk mencapai standar output yang  sama ketika bahan bakunya juga sama. Namun, otoritas penjara lupa bahwa bahan masuk yang akan mereka proses memiliki spesifikasi yang berbeda-beda. Setiap narapidana yang masuk kedalam penjara memiliki motif yang sangat beragam. Faktor kriminogen yang mendorong mereka melakukan kejahatan pun akan sangat personal. Dalam kacamata psiko-sosial, kejahatan akan sangat dipengaruhi oleh personalitas dan identitas seseorang. 

Personalitas dapat dikatakan sebagai sebuah kondisi yang diterima oleh manusia tanpa ada posisi tawar sedikitpun kepada Tuhannya. “Gawan bayi” kalau kita menyebutnya dalam idiom jawa. Sedangkan identitas adalah sebuah kondisi yang prosesnya kita serap atau kita asup dari lingkungan sekitar. Maka dari itu, personalitas dan identitas setiap individu sangat mendasari dalam menentukan arah program pembinaan.

Dengan mendasarkan pada personalitas dan identitas, pembinaan narapidana seharusnya dapat menyasar ke arah yang lebih individual sehingga mampu menggali potensi terbaik yang dimiliki oleh setiap mereka. Setiap individu pasti memiliki potensi terbaiknya, ini sesuatu yang khas, pastinya berbeda antara satu dengan yang lain. 

Jadi sangatlah naif ketika kemudian kita tetap memaksakan mendidik ikan, gajah, dan jerapah dengan kurikulum monyet dan tes akhirnya adalah memanjat pohon kelapa. Tentu saja ikan, gajah, dan jerapah akan mengalami depresi yang hebat karena menganggap tidak mampu melewati uji kompetensi, padahal jelas itu bukan kompetensi yang tepat untuk mereka. Dan lagi-lagi, melalui sistem dan manajemen penjara yang exisiting, republik ini hanya akan memperluas dampak dari siklus pemenjaraan (depresi-kriminal-penjara).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun