Ketika bicara tentang tambang galian C, kita dihadapkan pada satu fakta getir: kerusakan lingkungan tidak memilih pelakunya. Baik tambang yang mengantongi izin resmi maupun yang beroperasi secara liar, keduanya menyisakan jejak yang sama: kehancuran ekosistem, penderitaan masyarakat, dan degradasi kualitas hidup generasi mendatang.
Tambang galian C yang mencakup pengambilan material seperti pasir, batu, dan tanah semula dimaksudkan untuk mendukung pembangunan. Namun di lapangan, pembangunan satu sisi justru berarti kehancuran sisi lain. Dengan dalih pertumbuhan ekonomi, banyak wilayah dikorbankan. Bukit-bukit diratakan, sungai-sungai dicemari, lahan-lahan produktif hancur, dan kehidupan masyarakat sekitar terganggu parah seperti yang saat ini terjadi di Deda Kedungwinong, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Legal tapi Merusak
Ada anggapan keliru yang seolah menjadi narasi resmi: selama berizin, tambang dianggap sah dan tidak boleh diganggu. Padahal, legalitas bukanlah jaminan kelestarian. Banyak tambang legal justru melakukan eksploitasi secara brutal melebihi kapasitas izin, merambah wilayah terlarang, dan menunda-nunda reklamasi. Legalitas hanya sebatas dokumen; implementasinya jauh dari etika lingkungan.
Apalagi dalam konteks Indonesia, kita tahu betapa korupnya proses perizinan bisa terjadi. Izin bisa diperoleh dengan sogokan, negosiasi politik, atau permainan kepentingan antara pemilik modal dan penguasa lokal. Maka jangan heran jika banyak tambang legal justru lebih "berani" dalam menghancurkan karena mereka merasa dilindungi.
Ilegal yang Dibiarkan
Lalu bagaimana dengan tambang ilegal? Lebih tragis lagi. Mereka beroperasi di bawah radar, tapi tidak pernah benar-benar dihentikan. Aparat tahu, pejabat tahu, masyarakat tahu, tapi semua seolah tutup mata. Ada yang takut, ada yang sudah dibeli, dan ada yang terlalu lelah berharap pada negara.
Tambang ilegal tumbuh subur karena sistem dibiarkan longgar. Penegakan hukum lemah, dan di banyak kasus, justru aparat terlibat dalam pembiaran. Mereka hanya bergerak saat tekanan publik menguat dan itu pun sering kali hanya bersifat seremonial: segel sementara, operasi simbolik, lalu hilang kembali.
Korban Ekologis dan Sosial
Di tengah kerusakan ini, yang menjadi korban bukanlah para pelaku tambang, melainkan masyarakat sekitar. Warga yang tadinya hidup dari pertanian atau perikanan, kehilangan sumber penghidupan. Sungai yang dulu jernih jadi keruh berlumpur. Sumur-sumur mengering. Udara penuh debu. Anak-anak mereka tumbuh di tengah bisingnya alat berat dan ancaman longsor.
Bencana demi bencana muncul sebagai konsekuensi logis dari pembiaran ini. Longsor, banjir, kekeringan, pencemaran air, gagal panen semuanya adalah hasil dari sistem yang mengabaikan keseimbangan ekologis demi keuntungan sesaat.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Pertanyaannya: siapa yang harus bertanggung jawab? Jawabannya bukan hanya para pelaku tambang, tapi juga pemerintah yang lalai, penegak hukum yang diam, dan masyarakat luas yang terlalu diam. Kita semua punya andil dalam membiarkan bumi dieksploitasi tanpa kendali.
Pemerintah harus berhenti menjadikan legalitas sebagai tameng. Izin bukanlah tiket bebas eksploitasi. Harus ada peninjauan ulang terhadap semua tambang legal apakah benar-benar memenuhi syarat lingkungan? Apakah sudah melakukan reklamasi? Apakah kontribusinya sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan?
Dan untuk tambang ilegal, cukup sudah pembiaran. Jangan hanya menunggu bencana untuk bertindak. Jangan tunggu korban berjatuhan untuk bergerak.
Penutup: Hentikan Komedi Izin
Sudah saatnya kita akui: tambang galian C, legal atau ilegal, adalah luka yang terus digaruk. Kita tidak butuh tambang yang hanya menguntungkan segelintir, tapi menyengsarakan banyak. Kita tidak butuh izin yang hanya formalitas. Kita butuh keberanian untuk mengatakan tidak pada eksploitasi yang tidak beretika, dan untuk berdiri bersama alam sebelum semuanya terlambat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
