Tahun lalu saya sempat melihat sebuah video menarik yang dikirim oleh seorang kawan. Video itu berkisah tentang perjalanan seorang remaja putri dalam mengejar beasiswa. Karena kegigihannya, dia bisa lolos melewati berbagai tahapan seleksi. Sayangnya, dia gagal dalam wawancara terakhir.
Apa penyebab kegagalannya? Rupanya sebelum memutuskan untuk menerima gadis tersebut, si pewawancara mengecek akun sosial medianya dan menemukan ada banyak hal tidak baik yang diunggah maupun diucapkan oleh si gadis calon penerima beasiswa. Oleh pewawancara, hal tersebut dianggap sebagai kesalahan fatal dan membuatnya tidak meloloskan gadis tersebut.
Video tersebut rupanya dibuat sebagai kampanye terhadap remaja agar berhati-hati dalam mengunggah apa pun di sosial media. Sebab hal-hal yang sepertinya sepele bisa berdampak besar di kemudian hari.
Seseorang bisa saja terkena masalah akibat unggahan di sosial medianya. Meski cuitan atau status tersebut telah dihapus, rekam jejak digital tetaplah ada.
Dalam diskusi tersebut Ivan Lanin sempat berkata bahwa dia selalu melihat akun sosial media orang-orang yang mendaftar kerja di kantornya. Baginya, isi soasial media seseorang menjadi poin penting yang menentukan apakah orang tersebut layak bekerja di tempatnya atau tidak. Oleh karena itu, keterampilan berkomunikasi di era digital menjadi hal yang harus dipelajari dan dimiliki oleh orang-orang di masa kini.
Lebih lanjut dia pun menjelaskan 10 keterampilan komunikasi di era digital yang sebaiknya dipelajari oleh warganet.
- Mengenali kebutuhan informasi dan menggunakannya untuk mencari
- Mengatur informasi dan ide secara logis dan lengkap
- Menyampaikan ide secara koheren dan persuasif
- Menyimak secara aktif
- Berkomunikasi dengan berbagai kalangan orang
- Memakai teknologi informasi secara efektif dan efisien
- Menggunakan bahasa berstandar tinggi
- Bersikan santun dan etis
- Mengelola waktu dan sumber daya secara efisien
- Berpikir kritis untuk evaluasi dan simpulan
Keterampilan berkomunikasi di dunia maya merupakan bagian dari literasi digital. Menurut penulis buku Digital Literacy, Paul Gister, literasi digital adalah kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi yang diakses dengan piranti komputer. Informasi tersebut bisa muncul dalam berbagai bentuk dan berasal dari sumber yang sangat luas.
Literasi digital menjadi isu yang sangat penting sebab dengan kemudahan akses informasi di dunia maya, mereka terkadang tidak bisa membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan mana yang hoax.
Saat individu sudah paham literasi digital, dia mampu memilah dan mengolah informasi dengan baik serta berkomunikasi secara efektif dengan orang lain. Individu tersebut juga akan memiliki kesadaran dan mampu berpikir kritis tentang dampak positif atau negatif akibat penggunaan teknologi. Hasilnya tak akan ada lagi kasus orang-orang yang sembrono berucap di dunia maya.
Sebenarnya masih banyak lagi informasi menarik yang disampaikan oleh pria yang akrab dipanggil Uda Ivan ini. Sayangnya saat itu saya datang terlambat dan harus membagi perhatian dengan Renjana yang lari kesana-kemari sehingga saya tidak bisa mendengarkan semua materi yang disampaikan dengan seksama.
Obrolan Patjar ini merupakan bagian dari rangkaian acara Patjar Merah yang diselenggarakan sejak tanggal 2-10 Maret 2019. Dikutip dari press release yang saya terima, Patjar Merah merupakan festival kecil literasi dan pasar buku.
Acara yang digawangi oleh Irwan Bajang (CEO IndieBookCorner) dan Windy Ariestanty (penulis dan editor) berusaha menghadirkan buku-buku bermutu dengan harga murah serta  obrolan dan lokakarya yang berhubungan dengan literasi. Dalam akun IGnya mereka menuliskan bio "sebab akses baca yang merata adalah keadilan sosial bagi Indonesia".
Berlangsung selama sepekan, acara ini mampu menggaet ribuan pengunjung yang datang dari berbagai tempat. Menurut saya yang menjadi pembeda acara ini dengan pameran buku pada umumnya adalah adanya diskusi dan lokakarya yang menghadirkan para pegiat literasi.
Nama-nama populer seperti Joko Pinurbo, Jenny Jusuf, Trinity Traveler, Adimas Imanuel, Alexander Thian, Ivan Lanin, Ria Pappermoon, Agus Mulyani, dan banyak lainnya menjadi pembicara yang ditunggu-tunggu.
Pengunjung yang datang ke acara ini tidak hanya dimanjakan dengan buku-buku murah, namun otaknya juga mendapatkan asupan diskusi yang berbobot. Apalagi tema diskusi juga sangat beragam, mulai dari puisi, dongeng, buku, film, hingga fotografi. Pengunjung bisa memilih tema apa yang mereka sukai.
Saat itu saya sebenarnya ingin mengikuti Obrolan Patjar dengan Trinity Traveler. Sayangnya Renjana yang sudah menemani saya sedari pagi sudah mulai rewel. Begitu sesi diskusi dengan Ivan Lanin selesai, saya pun bergegas pulang setelah sebelumnya memborong aneka buku. Mulai dari buku anak, novel roman, hingga buku tentang pendakian ke puncak-puncak tertinggi di bumi.
Sambil berjalan pulang dalam hati saya berdoa semoga acara sekeren ini bisa rutin diselenggarakan setiap tahunnya. Tidak hanya di Jogja, tapi juga bisa menyambangi kota-kota kecil yang selama ini kesulitan mendapatkan akses buku-buku. Semoga!