Mohon tunggu...
Sarkoro Doso Budiatmoko
Sarkoro Doso Budiatmoko Mohon Tunggu... Dosen - Penikmat bacaan

Bersyukur selalu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan Sampai Ada PPKM (Gawat) Darurat

20 Juli 2021   22:08 Diperbarui: 20 Juli 2021   22:22 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari Selasa 20 Juli 2021, adalah hari terakhir pemberlakuan PPKM Darurat untuk Jawa dan Bali.. Kebijakan penting ini berlaku mulai 3 Juli 2021 dan diputuskan oleh Presiden beberapa waktu yang lalu. Kbijakan diambil sebagai upaya memutus rantai penyebaran virus corona yang terus meningkat belakangan ini. 

Disebut darurat karena kondisi pandemi lebih gawat, pengawasan lebih ketat dan tindakan lebih tegas dari sebelumnya. Harapannya upaya ini akan berjalan lebih efektif dan tujuan segera tercapai lebih cepat. 

Evaluasi atas efektifitas pemberlakuan ketentuan ini pasti ada. Tulisan ini tidak membahas itu, tapi menyoroti beberapa fenomena menarik dari pemberakukan PPKM Darurat kali ini. 

Efek penerapan pembatasan ini langsung terasa. Beberapa di antaranya bisa disebut di sini seperti jalan raya, jalan besar dan tempat keramaian menjadi tidak sepadat biasanya, frekswensi lalu lintas orang dan kendaraan menurun, kerumunan dan potensi penyebaran juga tampak berkurang. 

Itu akibat dari penyekatan dan penutupan akses ke jalan-jalan tertentu dan pembatasan jam buka warung, toko dan mall diterapkan dengan tegas. Bahkan pada waktu yang sama, dalam skala lebih besar, di Jawa Tengah-Jawa dan Jawa Timur, diberitakan menutup 26 pintu masuk jalan toll. Ketegasan yang tidak bisa dianggap sepele. 

Namun di sisi lain, ternyata berkurangnya keramaian, turunnya frekwensi lalu-lintas dan kerumunan tampaknya tidak terjadi secara merata. Di area penyekatan dan penutupan jalan memang terasa sepi. Tidak ada orang berkendara dan berlalu lintas membongkar pembatas jalan dan memaksa masuk. 

Tapi, ibarat pepatah, selalu ada jalan lain menuju Roma. Sebagian orang tetap saja berusaha memenuhi hajat hidupnya dan berjuang menemukan jalannya menuju sasaran yang berada di areal tertutup. Maka kemudian gang, lorong, jalan setapak menjadi jalan tikus. 

Kita tentu paham, "jalan tikus" ini sudah ada jauh sebelum dibangun jalan besar, jalan raya dan pusat keramaian. Dari jalan "rahasia' inilah orang tetap bisa masuk area terbatas. 

Karena "rahasia", maka bagi yang tidak biasa lewat, memang tidak gampang menapaki jalan tikus. Orang terus berusaha dan sangat tertolong oleh sifat masyarakat yang umumnya mudah jatuh kasihan dan suka membantu. 

Dengan suka rela dan ramah, mereka membantu ketika ada kendaraan masuk gang dan kebingungan mencari arah. Saking baiknya, bahkan kemudian dibuatkan rambu petunjuk arah di sudut-sudut gang. Rambu-rambu petunjuk arah sederhana dan seadanya. Rupanya karena bersifat darurat juga. 

Tidak disadari bahwa bantuan penuh keramahan seperti itu sebenarnya sama dengan memberi peluang terjadinya perpindahan pergerakan orang dari jalan besar ke jalan-jalan kecil, gang di pinggir-pinggir jalan. Dengan kata lain membuka peluang penyebaran sumber pandemi lebih merata ke pelosok dan pinggiran. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun