Mohon tunggu...
Sari Oktafiana
Sari Oktafiana Mohon Tunggu... Guru - A mother of five kids who loves learning

Living in the earth with reason, vision, and missions...but I can't make everybody happy.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membaca (lagi) Perjuangan Liberasi Roro Jonggrang

23 Februari 2020   03:31 Diperbarui: 23 Februari 2020   03:53 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam tradisi lisan yang dituturkan oleh ibu saya sebagai cerita pengantar tidur, salah satunya adalah kisah Roro Jonggrang yang diceritakan sebagai pemicu dari berdirinya Candi Prambanan, sebuah candi Hindu yang begitu megah. 

Diceritakan pula, kisah Bandung Bondowoso yang berperang melawan keluarga Roro Jonggrang hingga menghabisi keluarga Roro Jonggrang. Terpikat dengan kecantikan Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso pun hendak memperistri dia.

Lalu untuk menunda upaya Bandung Bondowoso memperistri Roro Jonggrang, maka si cantik yang malang itu mengajukan syarat, bahwa dia mau dinikahi oleh Bandung Bondowoso, apabila dia berhasil membuatkan dua sumur dan seribu candi hanya dengan waktu semalam yang dikenal sebagai Candi Sewu. 

Dengan menggunakan pasukan lelembut dan kesaktiannya maka Bandung Bondowoso berusaha untuk membuat seribu candi secepat kilat. Resah dengan dengan upaya Bandung Bondowoso maka Roro Jonggrang bersiasat, bahwa pagi harus direkayasa. Maka sebelum fajar menyingsing Roro Jonggrang berhasil menggagalkan upaya pembangunan candi yang dilakukan oleh Bandung Bondowoso, ayam jantan dibuat berkokok untuk menandakan kedatangan pagi. 

Marah dengan "penghianatan" Roro Jonggrang maka Bandung Bondowoso naik pitam mengutuk si cantik sebagai penggenap dari kekurangan satu candi sehingga lengkap berjumlah seribu sesuai dengan janji Bandung Bondowoso. Kurang lebih narasi Roro Jonggrang adalah penghianat dan berasal dari keluarga yang digambarkan sebagai raksasa yang tamak.

Kisah demikian selalu direproduksi dalam tradisi lisan kita juga dalam buku cerita rakyat. Kuasa laki-laki atas perempuan sebagai korban dan tahanan perang tidak pernah bahkan nyaris belum saya dengar. Bahkan suatu ketika sebuah lomba story telling pun, reproduksi kisah Roro Jonggrang tetap dianggap sebagai sebuah kisah penghianatan belaka. Roro Jonggrang terdakwa sebagai perempuan pendosa, penghianat yang tidak menepati janji dan perjanjian.

Apabila saya, pada posisi Roro Jonggrang, mungkin saya akan melakukan hal yang sama pula, bahwa saya akan memperjuangkan hak saya, untuk menjaga keluarga, orang tua, dan tidak akan sudi untuk dinikahi oleh algojo yang telah menghabisi keluarga saya. Roro Jonggrang, hanya memperjuangkan liberasinya untuk lebih baik mati menjaga kehormatan dari pada tubuhnya dijamah oleh algojo. Perempuan dalam hal ini dianggap sebagai pendosa tanpa melihat konteks. Kebanyakan orang lebih melihat penghianatannya daripada melihat perjuangannya melawan penindasan atas dirinya yang telah tak berdaya. Membayangkan bagaimana posisi tawarnya yang jelas tidak seimbang dengan Bandung Bondowoso yang sakti maka dia mesti bersiasat. Tetapi malangnya, citranya tidak dilihat demikian. Dia selalu dijadikan sebagai symbol atas penghianatan bukan sebagai symbol atas perjuangannya melawan penindasan.  Seorang laki-laki yang mencintai dengan baik, tidak akan mudah naik pitam bahkan mengutuk atas ulah dari perempuan yang dicintainya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun