Mohon tunggu...
Indra Sarathan
Indra Sarathan Mohon Tunggu... -

Guru bahasa Indonesia yang baik dan bener.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Tentang Perjalanan

1 Maret 2013   22:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:28 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Kenapa kita melakukan perjalanan (traveling)?

Atau dalam bahasa Indonesia bisa lebih tepat diwakili dengan kata berpelesir yang bersinonim dengan berdarmawisata, berekreasi, berpesiar, bertamasya, berwisata, dolan (Jw), jalan-jalan, melancong, piknik, tur; berkeliling; bergelandangan, berkelana, berkeliaran, berkeluyuran, dan menjelajah (lihat Tesaurus Bahasa Indonesia untuk padanan yang lebih lengkap).

"Terlalu banyak alasan."

Memang. Namun yang pasti kegiatan di atas memerlukan biaya. Maka, tren maraknya generasi muda Indonesia melakukan perjalanan bisa menjadi indikasi ekonomi yang relatif membaik (tren serupa pernah terjadi di tahun 70-an ketika anak-anak muda pada masa itu berlomba-lomba berpergian ke luar negeri di tengah stabilnya kondisi ekonomi Indonesia masa Orde Baru--lihat pengakuan Ramadhan KH). Ini adalah ikhtiar pertama untuk menjawab pertanyaan di atas.

Kemudian, menarik untuk menelusuri dari mana datangnya keinginan untuk berkelana? Yang pasti ini berkaitan dengan melek informasi--baik yang ditawarkan oleh iklan maupun penelusuran informasi atau bacaan yang menginspirasi--yang semakin mudah didapat sekarang ini. Inilah yang melahirkan tren--sebagian memang termakan iklan agar sekadar tidak ketinggalan tren melakukan perjalanan. Namun tidak sedikit yang sengaja mencari-cari informasi untuk menaklukan keinginan diri yang lahir dari bacaan yang menginspirasi (saya mengamini manusia sebagai korban wacana--lihat Foucault).

Lalu bagaimana wacana mendorong orang-orang bepergian? Sepertinya hal ini telah lama terjadi di Eropa abad pertengahan yang kemudian mengubah wajah dunia--termasuk Indonesia. Pada akhirnya akan selalu melibatkan untung dan rugi--meski tidak perlu melulu materi. Pengelanaan orang-orang Eropa telah melahirkan penjajahan seantero dunia--dunia yang dikonstruksi Eropa--penjajahan di Afrika, Asia, juga mencipta Amerika dan Australia. Bahkan kesukuan di Indonesia pun konon terbentuk oleh konstruksi wacana Eropa (etnisitas buah dari strukturalisme Eropa--lihat Daniel Perret dan Jeffrey Hadler).

Namun, peradaban telah berubah. Kolonialisasi telah mencair. Dan, dunia sudah selesai dikonstruksi. Tapi harapan tetap harus dijaga. Semoga kini giliran kita menyumbang konstruksi pemahaman dunia. Mencipta dialog. Pemahaman timbal balik yang lepas dari konstruksi Eropa sentris. Kita bisa melihat sendiri dengan menjelajah dunia. Oya, "penjajahan" dalam bahasa Indonesia pun berakar kata "jelajah" 'eksplorasi' > "jajah"; "penjelajahan" > "penjajahan".

Tidak hanya timpang pasif dipahami--dikonstruksi barat (dengan orientalisme-nya)--tapi mulai memahami--mengonstruksi barat (dengan mengembangkan ocidentalisme). Guna pemahaman baru yang seimbang. Saatnya kita menyatakan pendapat tentang barat-timur-utara-selatan. Sepenjuru mata angin, sejauh yang bisa dicapai.

Selamat bertualang!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun