Mohon tunggu...
Adi Pujakesuma
Adi Pujakesuma Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

KEBENARAN HANYA MAMPU DILIHAT MELALUI MATA KEMATIAN

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Ternyata! Bos WhatsApp “Benci” Sekolah dan Iklan

15 Oktober 2016   09:47 Diperbarui: 17 Oktober 2016   07:25 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber gambar: http://en.softonic.com/)


Pasti sebelumnya sudah bejubel postingan mengenai jejaring sosial. Setidaknya saya meminta ma’af dulu kepada orang-orang yang berkompeten dibidang IT dan dikoreksi atau dikomentari kalau terdapat ulasan yang kurang berkenan untuk saya perbaiki, silahkan dikomentari, jika komentar tersebut merupakan referensi akan disisipkan ke dalam ulasan ini, sebliknya komentar menyesatkan berbau provokatif, SARA, dengan berat hati akan saya HAPUS.

Perkembangan teknologi informasi sangat memanjakan penggunanya atau user. Khusunya jejaring sosial seperti Telegram, Path, Line, Cacao Talk, Bee Talk, WhatsApp. Kita dimanjakan akan informasi apa saja yang dibutuhkan tanpa persetujuan Presiden sekalipun. Bahkan dunia kerja/bisnis sangat ketergantungan tingkat dewa terhadap jejaring sosial ini, sehingga melampaui sistem pemerintah/swasta itu sendiri.

Tidak munafik saya juga cukup terbantu atas kehadiran WA, akan tetapi jika kita tidak mampu memeneg kemudahan tersebut, bukan mempermudah justru memperbudak kebiasaan-kebiasaan sebagai makhluk sosial akan tergadai menjadi perilaku autisme, asyik dengan dirinya sendiri, tidak peduli sekelilingnya alias acuh. Apa-apa sendiri mirip orang gila, tertawa, senyum, menangis, mengetik sendiri, berkomunikasi sendiri seolah-olah dunia dalam genggaman tanpa harus bertatap muka. Cukup mengaktifkan jaringan aplikasi jejaring sosial melalui sarana seluler pintar segala urusan lancar. Jika kenyataan demikian, kepintaran manusia seperti dikebiri ya, WOW KEREN!!!

Kehadiran aplikasi WhatsApp sangat membantu masyarakat seantero jagat menjalin komunikasi tanpa harus bertatap muka. Melalui jejaring sosial kita bisa menjelma sebagai siapa saja semaunya tanpa ada larangan mau jadi Guru, Manajer, Kepala, Kepala Bagian/Seksi, Teman, Pacar, Hatteers, Lovers, Sengkuni, menyatu menjalin komunikasi tanpa tahu apa maksud sesungguhnya dari percakapan tersebut.

Sekarang WA terbanyak digunakan sebagai sarana komunikasi secara vrtual selain Facebook. Indonesia tergolong paling digandrungi masyarakat dunia. Di kawasan Asia Tenggara Indonesia salah satu user terbesar. WhatsApp merupakan aplikasi instant messaging untuk android, ios, Windows Phone, Blackberry, Symbian, dan sistem operasi lain yang memungkinkan pengguna berkomunikasi melalui teks, suara, gambar melalui wifi atau jaringan data seluler.

Sebagai user ada baiknya mengetahui sejarah lahirnya aplikasi jejaring sosial dan jangan kaget siapa dan bagaimana karakteristik BOSS pemilik WA. Belum afdol rasanya sebelum mengetahui pemilik apliksi, tapi juga harus tahu sedikit bahwa perjuangan mendirikan perusahaan WA tidak semudah membalik telapak tangan, berawal dari nol, kini jerihnya membuahkan sukses luar biasa.

Biografi Singkat Boss WhatsApp

jan-koum-whatsup-580419ddf092739013b55361.jpg
jan-koum-whatsup-580419ddf092739013b55361.jpg
 (sumber: http://mastermarketingla.com/)

Koum yang saat ini berusia 38 tahun, lahir dan dibesarkan di sebuah desa di Ukraina, sebuah negara di Eropa Timur yang saat ini dilanda prahara politik. Ayahnya seorang manajer konstruksi dan ibunya tidak bekerja. Saat itu, Ukraina juga dilanda gejolak politik cukup parah. Hidup tidaklah mudah bagi keluarga Koum, terlebih mereka adalah keturunan Yahudi. Orang tua Koum jarang menggunakan telepon karena takut disadap dan bisa berakibat buruk. Tidak banyak yang bisa dilakukan saat itu. Fasilitas di desa juga seadanya. Gejolak politik dan gerakan anti Yahudi di Ukraina begitu dahsyat. Pada tahun 1990 Koum dan ibunya berimigrasi ke Mountain View, Amerika Serikat. Ayahnya meninggal dunia di tahun 1997.

Di Amerika Serikat, keadaan Koum dan ibunya tidak serta merta membaik. Mereka hidup kekurangan. Ibunya bekerja sebagai pengasuh bayi dan Koum kadang menyapu toko untuk mendapat upah. Begitu miskinnya mereka sehingga harus hidup dengan makanan subsidi pemerintah. Mereka tinggal di apartemen dengan dua kamar tidur yang juga dibiayai pemerintah AS. Cobaan kembali menghampiri Koum, Sang ibu meninggal dunia di tahun 2000 setelah didiagnosa menderita kanker.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun