Â
Pokok Permasalahan
Agama melekat dengan realitas historis. Dari sudut pandang antropologi, agama terbentuk dari fenomena sosial yang dilembagakan. Paham, nilai, keyakinan, dan perilaku adalah produk lingkungan. Disamping itu, agama sering kali mengklaim kebenaran dalam dirinya. Apakah agama itu hanya "sekedar" realitas sosial belaka?
Pembahasan
Kaum Positivisme menolak klaim agama tentang kebenaran. Sesuatu dinyatakan benar jika dapat dibuktikan dalam sains. Hal senada juga diungkankan oleh kaum rasionalis. Kebenaran tidak dapat dipastikan hanya berdasarkan pada keyakinan agama. Wahyu terkait dengan keyakinan pribadi dan tidak dapat divalidasi.
Bukti-bukti yang diungkapkan agama atas klaim yang dibuatnya tidak dapat diterima. Hal itu sejalan dengan pemikiran Aufklerung (masa pencerahan). Ilmu pengetahuan tidak dapat sampai pada kebenaran wahyu dan realitas transenden seperti yang diajarkan dalam agama. Dalam rangka membuktikan imannya, agama tidak boleh mendasarkannya pada asumsi belaka.
 Menurut Dress, agama sepenuhnya berasal dari dunia. Tuhan tidak interfensi dengan munculnya agama. Ketundukan pada doktrin seperti yang diungkapkan dalam agama bertentangan dengan semangat ilmu pengetahuan/sains.
Ketika agama dilepaskan dari wahyu dan daya supernatural, agama hanya menjadi konstruksi budaya. Sifat transendental dari agama itu hanya dapat diakui dalam ranah ideologi kehidupan beragama saja.
Otonomi Agama
Studi historis/empiris tentang agama dan tradisi akan masuk akal jika adanya otonomi agama. Agama adalah sebuah fenomena yang dapat dipahami dalam istilahnya sendiri. Agama melekat pada konteks zaman diaman ia hidup. Memahami suatu agama tidak dapat dilepaskan dari kontes itu. Jika agama hanya direduksi pada tatanan fisik, studi agama akan kehilangan kekhasannya. Agama hanya dapat dijadikan sebagai ilmu jika ia memiliki otonomi sendiri.