Mohon tunggu...
Eko Saputro
Eko Saputro Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer Ngetik

Lelaki tua pemalas. Jarang mandi. Tidak soleh. Tidak wangi. Hobi ngopi. Suka makan apa aja asal nggak ada yang nyelip-nyelip di gigi. Kerjaan sehari-hari nunggu order ketikan. Tarif mahal. Koreksian kena cas dua kali. Jadi, jangan coba-coba order deh.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Terpuruk di Usia Emas, Balada Kaum Tua Tapi Tanggung

4 Juli 2023   05:10 Diperbarui: 4 Juli 2023   06:30 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau bicara angka, usia 50 punya sebutan keren, Golden Age. Usia Emas. Itu kalau bicara angka. Soal nasib gimana? Apakah semengkilap emas? Nggak lah. Pasti, rupa-rupa warnanya. Ada yang semengkilap emas. Ada yang lebih berkilau bahkan. Tapi, yang sekusam sendal jepit kejeblok comberan juga banyak. Yang lebih kuning dari tai bahkan lebih banyak lagi. Kok tau? Ya, tau lah karena saya kan bagian dari generasi yang lahir tahun 70-an itu. Jadi, di samping kiri-kanan, depan-belakang, padat dikerumuni oleh kaum Golden Ager ini. Tapi, pertanyaannya kan bukan soal tau apa nggak toh?! Tapi, lebih kepada; kenapa pada begitu nasibnya? Hayo, kenapa itu coba?

Hasil obral-obrol sama kaum Golden Ager ini, cerita mereka itu rata-rata begini nih:

1. Pada masa-masa selepas sekolah menengah atas, kira-kira tahun 90-an, bergegas mencari kerja, lalu buru-buru berkeluarga. Ehh, ini relevan nggak ya ama nasib? Mbuh lah. Tapi, data juga tho?! 

2. Sesegera mungkin punya anak di tahun awal pernikahan. Itu masih di tahun 90-an. 

3. Tiba-tiba di tengah kebahagiaan memiliki anak-anak imut, terjadi badai politik dahsyat. Paruh kedua tahun 90-an, krisis moneter yang memicu peningkatan suhu politik akhirnya mencapai puncak pada tahun '98 yang membuat api menyala dimana-mana kota besar di negara ini. Waduh, ini relevan nggak ya? 

4. Menjelang akhir 90-an, rezim berganti. Orde Baru ganti baju menjadi Era (Orde) Reformasi. Presiden lama berhenti, Presiden baru naik tahta. Krisis moneternya lanjut. 

5. Krisis moneter jadi dalil buat perusahaan-perusahaan besar kecil sedang, buat menjiret pinggang para karyawannya. Gaji dikurang-kurangin. Tunjangan diilang-ilangin. Kerja ditambah-tambahin. Mau syukur nggak mau ya keluar aja. Tapi, siapa yang mau keluar juga? Cari kerja susah. Lagian kalo keluar kan ngundurin diri ga dapet pesangon. Jadi kerja aja deh. Males-malesan aja ga usah full power. Kan gajinya juga nggak full. Nah lho?!

6. Akhirnya berlarut-larut. Gaji kecil. Kerja males-malesan. Pengusaha nginjek kaki penguasa bikin aturan-aturan inilah itulah. Intinya nyusahin pekerja. 

7. Keluarga kecil yang bahagia mulai kelimpungan. Anak sudah mulai besar. Sudah mulai masuk sekolah. Si ayah mulai cari sambilan. Si ibu nyari uang juga. Ikut-ikutan kerja.

8. Alhasil, tanpa terasa kegetolan mencari uang sedikit demi sedikit mulai menampakkan hasil. Ekonomi keluarga membaik. Si kecil pun dapat bersekolah seperti anak-anak tetangga. 

9. Entah kenapa, ehh, tau-tau jadi orang kaya. Mobil punya. Rumah punya. Motor banyak. Punya warung juga. Ini, kata kaum Golden Ager itu, kejadiannya di usia antara 30-40 an. Mereka di puncak dunia saat itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun