Â
Indonesia sedang berada di persimpangan penting dalam perjalanan transformasi digital nasional. Bayangkan di satu sisi, sinyal internet menguat hingga ke sudut kota besar yang ramai, laptop dan ponsel pintar menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, dan layanan digital terus bermunculan untuk memudahkan akses masyarakat. Namun, di sisi lain, jutaan warga di daerah terpencil masih bergelut dengan keterbatasan akses, berbagi satu perangkat dengan keluarga besar, atau bahkan belum pernah merasakan manfaat layanan digital tersebut secara langsung. Situasi ini menghadirkan paradoks serius: kemajuan teknologi di satu tangan, namun kesenjangan digital yang menganga di tangan lain.
Di tahun 2025, ketika pemerintah mengusung transformasi digital sebagai fondasi utama kebijakan publik, penting sekali untuk membuka mata dan hati terhadap kenyataan bahwa akses dan kemampuan digital tidak merata. Kesenjangan ini bukan sekadar angka statistik, tetapi sebuah tantangan substantif yang menghambat terwujudnya pemerintahan inklusif dan layanan publik yang adil. Opini ini hadir untuk menggugat ketidakseimbangan tersebut sekaligus menawarkan pijakan pemikiran konstruktif agar jurang digital yang ada dapat diperkecil, mewujudkan Indonesia digital yang benar-benar dirasakan seluruh lapisan masyarakat.
Kesenjangan Digital: Antara Infrastruktur dan Kapabilitas
Pemerintah Indonesia telah menanamkan investasi besar melalui proyek infrastruktur digital seperti Palapa Ring yang menjangkau 34 provinsi dan program pembangunan Base Transceiver Station di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Inisiatif ini tampaknya menjadi tonggak penting dalam membuka akses internet, yang secara teori seharusnya mengikis ketimpangan digital. Namun, kenyataannya peningkatan akses tersebut belum berbanding lurus dengan kesiapan kapabilitas digital masyarakat yang menjadi pengguna utama.
Masalah utama muncul dari disparitas kapabilitas digital kemampuan menggunakan teknologi secara produktif dan efektif. Banyak masyarakat yang belum memiliki motivasi dan keterampilan untuk menggunakan internet sebagai alat produktif, mencari informasi relevan, atau mengikuti pelatihan digital. Terlebih lagi, banyak kelompok rentan seperti penduduk usia lanjut, masyarakat di sektor informal, dan penduduk di daerah sangat terpencil yang belum merasakan manfaat transformasi digital secara optimal. Ironi digitalisasi ini justru membuka bentuk eksklusi sosial baru yang lebih kompleks dibanding tantangan fisik akses jaringan.
Kebijakan Publik Digital yang Inklusif dan Berkelanjutan
Mengatasi kesenjangan digital membutuhkan kebijakan publik yang tidak hanya fokus pada aspek teknis penyediaan infrastruktur, tetapi juga pada pengembangan kapabilitas dan inklusivitas. Pemerintah telah memulai berbagai program pelatihan skill digital melalui Kartu Prakerja dan peningkatan kurikulum berbasis STEAM di pendidikan formal, serta dukungan regulasi seperti RUU Perlindungan Data Pribadi. Namun, langkah-langkah ini perlu diseimbangkan dengan pendekatan layanan hybrid yang mengkombinasikan digitalisasi dengan pendampingan komunitas.
Model layanan hybrid memungkinkan masyarakat yang masih belum siap atau terbatas akses digitalnya untuk tetap mendapatkan layanan publik melalui pendampingan tokoh masyarakat, relawan digital, dan petugas lokal seperti kader desa atau puskesmas. Pendekatan bottom-up seperti Klinik Pemerintah Digital juga penting untuk menjembatani gap antara kebijakan pusat dengan kondisi daerah, dengan bantuan pendampingan intensif untuk daerah-daerah 3T.
Lebih jauh, kebijakan digital harus mengintegrasikan prinsip inklusi sosial untuk melengkapi upaya pemerataan layanan. Hal ini mencakup perhatian khusus pada kelompok rentan yang berisiko terdampak eksklusi baru akibat transformasi digital. Penguatan literasi digital, penyediaan infrastruktur yang terjangkau dan andal, serta kontinuitas pelatihan menjadi kunci utama keberhasilan digitalisasi kebijakan publik. Tanpa itu, jurang kesenjangan digital akan terus menganga, menghambat visi Indonesia Emas 2045 yang mengedepankan pemerataan kesejahteraan dan kemajuan teknologi.
Kesenjangan digital adalah tantangan fundamental yang harus menjadi fokus analisis kebijakan publik dalam era transformasi digital Indonesia 2025. Pemerintah perlu menyusun kebijakan yang tidak hanya membangun infrastruktur teknologi, tetapi juga memberdayakan masyarakat dengan kapabilitas digital yang mumpuni dan inklusif. Dengan pendekatan layanan hybrid dan program pendampingan yang berkelanjutan, kesenjangan digital dapat diperkecil. Hal ini akan memastikan bahwa kemajuan digitalisasi benar-benar dirasakan seluruh lapisan masyarakat dan menjadi faktor pendorong pemerataan pembangunan nasional.